Mohon tunggu...
Siti Khoirnafiya
Siti Khoirnafiya Mohon Tunggu... Lainnya - Pamong budaya

Antropolog, menyukai kajian tentang bidang kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kajian Antropologi dalam Memahami Negara, Kekuasaan, dan Nasionalisme

12 Juli 2024   13:44 Diperbarui: 12 Juli 2024   13:48 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bagaimana perspektif antropologi tentang negara tersebut berkonsekuensi memandang kekuasaan dan nasionalisme?

Dari literatur, nampaknya antropologi mendekati kajian negara dengan melihat dalam praktik lapangan etnografi. Negara adalah kelembagaan cair/blur dari suatu proses praktik keseharian yang efeknya memberikan konsekuensi lintas batas dan dipengaruhi oleh subjek dalam lintas batas tersebut atau bersifat concrete-histories. Lalu apakah perspektif antropologi tentang negara tersebut berkonsekuensi memandang kekuasaan dan nasionalisme?

Dengan antropologi mengkaji negara, kita akan dapat memahami konsepsi nasionalisme dari Kottak (1977), Anderson (1999), dan Kelly-Kaplan (2001). Kottak (1977) dengan penelitiannya di Madagaskar mencoba mengambil perspektif yang berbeda dari pandangan tentang ideal negara bukan sebagai organisasi sosio-politik terpusat dengan fungsi kontrol dan terdapat stratifikasi. Bentuk negara bukan suprastruktur (terpusat, multilevel dan rumit) dalam skema sinkronis komparatif tetapi sisi diakronis dengan mencoba mengintegrasikan data arkeologi, historis, etnohistoris dalam sebuah etnografi. Kottak melihat bahwa bentuk negara terkait dengan ekologinya, berasal dari ekosistem etnisitas yang meluas ke ekosistem regional. Negara berasal dari “bawah” yaitu populasi kinship. Adanya proses transformasi sosio politik karena adanya kebutuhan dan kemungkinan perubahan ekologis. Namun, pembentukan negara, bagaimanapun, bukanlah proses "maju dan naik" yang tak terelakkan, tapi itu tunduk pada kemunduran sesekali atau lebih pasti. Kottak nampaknya memandang kuasa dari negara terletak dari bawah, imajinasi etnisitas menjadi penting sehingga nasionalisme masih berada dalam definisi bahwa nasionalisme terbentuk dari ikatan etnisitas (bahkan ras).

Sementara itu, Benedict Anderson (1991), memandang negara sebagai kritik pembentukan negara Eropa karyanya imagined community adalah gagasan baru tentang nasionalisme. Industri baru mesin cetak (print) memberikan peran dalam menyebarkan ide/gagasan. Asumsinya bahwa negara modern dimungkinkan berkomunikasi atau dihubungkan secara jejaring bukan fisik, tetapi ide, misalnya melalui buku-buku yang dicetak dengan bahasa umum (yang dipahami dari terjemahaan dari bahasa lokal/latin Roma). Benedict Anderson melihat nasionalisme sebagai sebuah ide komunitas yang dibayangkan (imagined communities). Nasionalisme berakar dari sistem budaya suatu kelompok masyarakat yang tidak saling mengenal satu sama lain. Komunitas bukan berasal dari satu etnik tetapi creole (campuran) bukan kinship. Kuasa bagi Anderson adalah konstruksi gagasan/komunitas melalui imajinasi komunitas—dalam pengkritiknya terjebak pada kapitalisme dan kolonialisme bentuk baru dengan adanya ide-ide modern.

Jika pandangan keduanya melihat dari etnisitas dan komunitas, Kelly-Kaplan (2001) mengetengahkan teori antropologi tentang bangsa dan dekolonisasi, menuju antropologi baru nasionalisme. Kritiknya terhadap Anderson, karena ia memperhatikan keberadaan negara-negara berkembang yang sebelumnya mengalami penjajahan. Kelly-Kaplan memperhatikan betul analisis Marxis dalam mengetengahkan peranan Amerika (bukan Eropa) dalam proses dekolonialisasi. Peran Amerika dalam PBB dan IMF menunjukkan kuasa dan pandangan negara sebagai arah menuju peradaban. Poskolonial sebagai proses tahap dari kolonialisme membentuk perspektif baru tentang nasionalisme.

Selain ketiga tokoh tersebut, perspektif negara dan kuasanya dibahas cukup detail dari beberapa tokoh. Hansen-Nustad dan Joseph-Nugent memberikan ruang budaya (popular) dalam proses pembentukan negara dalam pendekatan keseharian (day to day) menunjukkan adanya ruang penting masyarakat dalam negara. Bentuk negara bersifat temporer yang berada dalam dinamisasi dalam masyarakat, terkait dengan keyakinan, agama dan etnik. Gagasan tersebut sebenarnya kritik terhadap Anderson yang seolah menghilangkan perbedaan-perbedaan kelas dan gender, subjek tidaklah equal. Sebagai pertanyaan apakah ide gagasan dengan begitu saja tersebar?apakah prosesnya hanya melalui industrialisasi dan print? Adakah ruang popular politic?

Pemikiran tentang diskusi masyarakat dalam negara dibawa Migdall dalam diskusi formasi negara. Dalam buku State in Society, Migdal pun mengkritik otorisasi negara dengan peran masyarakat dalam sebuah transformasi sosial. Negara tidak otonom, itu artinya kuasa negara terkait dengan kelompok/organisasi lain di luar negara yaitu masyarakat. Migdall, melihat paradoks dari Negara, dalam tataran ideal dan praktiknya. Migdal, melihat masyarakat bisa saja memiliki kuasa yang lebih besar di mana masyarakat adalah bentuk dinamis sebagai akibat dari perjuangan konteks sosial. Dengan pandangannya itu, kuasa negara berada dalam paradoks ideal dan praktiknya, di mana aktor dalam birokrasi berpraktik berelasi dengan masyarakat. Ada kontestasi di dalamnya. Ada proses yang membentuk dan mengubah bentuk negara. Negara bukan hanya membuat peraturan tetapi juga mempertahankan posisi, negosiasi, interaksi, dan resistensi. Negara sebagai organisasi bukan otonom, tetapi kompleks. Peran kontradiksi negara, yang bahkan bisa jadi saling merusak, tetapi bukan komparasi atau kategorisasi yang rapi di luar image (pencitraan). Negara bukan kuasa tertinggi atau yang ditinggikan tetapi dalam praktiknya memperkuat citra melalui materi budaya sebagai taktik dalam bahasa Foucault dan Bourdieu [2]. Dari isu yang dibahas Migdal, maka nasionalisme menurut pandangannya adalah entitas yang dominasinya terintegrasi sekaligus tersebar karena proses interaksi, tergantung tindakan, bisa saja pribadi dalam integrasi atau konflik. Historis menentukan kekuasaan dan nasionalisme dalam irisan negara dan masyarakat (culturalists historis). Negara hanyalah satu organisasi di antara banyak komunitas. Nasionalisme dibentuk juga dari otoritas lokal.

Pandangan Migdal, tentang peran masyarakat dalam kajian negara juga dikaji oleh Mitchell, Gupta, dan Pieke. Negara dalam kesejarahan juga terdesentralisasi bukan kohesif. Jaringan pengaturan kelembagaan dan praktik politik yang membentuk substansi material negara tersebar dan ambigu, sedangkan citra publik negara sebagai ideologis membangun lebih koheren. Dengan pandangan ini Mitchel menawarkan perspektif negara dalam kekuatan material sekaligus konstruksi ideological. Mitchel mendekati negara sebagai organisasi otonom yang relatif, lebih besar dari sekedar aparatus dalam birokrasi tetapi seperangkat institusi. Praktik pemerintah terkait dengan perbatasan nasional seperti perbatasan patroli, pemeriksaan paspor dan undang-undang imigrasi membantu membuat entitas secara abstrak tetapi praktik kehadiran negara sangat nyata dalam kehidupan manusia. Negara adalah demikian efek dari praktik sehari-hari, wacana representasional dan kekuasaan dari banyak modalitas. Ini bukan hanya diskursif tetapi efek dari proses struktural dari negara. Ini sepakat dalam pemikiran Foucault tentang proses dan efek dari proses.

Namun, Gupta ingin menunjukkan bahwa image negara bukan sekedar tidak berfungsi tetapi terbentuk mekanisme melalui diskursus negara itu. Korupsi tidak hanya wacana bagi “klas” birokrat/pejabat tetapi warga negara yang hidup dan bekerja. Image ideal negara seolah dipalsukan. Dengan berfokus pada konstruksi diskursif negara, Gupta memaparkan praktik budaya dimana negara secara simbolis diwakili oleh karyawan dan warganya dari negara. Praktik budaya masyarakat ini diberlakukan di tempat yang diperebutkan yang tidak dapat dikonseptualisasikan sebagai domain tertutup yang dibatasi oleh batas-batas nasional. Ideologi regional, dan nasional bersaing untuk hegemoni satu sama lain dan dengan arus informasi transnasional , selera, dan gaya yang terkandung dalam komoditas yang dipasarkan oleh modal multinasional. Dari ini maka nasionalisme seperti sepakat dengan Anderson terkait dengan ide gagasan yang dikonstruksikan, termasuk media massa, perang manuver dimungkinkan. Ia sepakat dengan Appadurai Negara berada dalam perjuangan makna budaya, penggambaran tentang negara yang dibayangkan. Bayangan tentang negara dapat dipresentasikan dengan praktik aktual dalam masyarakat desa. Kemudian meskipun Pieke mempunyai pandangan berbeda terhadap negara China, di mana kekuatan swasta menjadi penting intinya negara bukan otonom dan bukan super-power.

Diskusi tentang masyarakat membawa antropologi mengkaji negara memperhitungkan konsep masyarakat sipil (civil society) di Asia? Buku Akihiro Ogawa sangat menarik. Dengan Action Research (RA), ia melihat bahwa negara mengurangi perannya yang otoritas dan dialihkan ke swasta (NPO). Kesukarelaan dibentuk dan diakui pemerintah tetapi dengan ruangnya sendiri atau diskursusnya, bukan dikooptasi, mereka tidak merasa dimanfaatkan, dengan pengurangan peran ini, negara justru memperoleh keuntungan. Otonomi relatif berada dalam konteks tatanan yang sudah mapan bukan merupakan hasil paksaan fisik tetapi ekspresi symbolic violence dalam bahasa Bourdieu disebut “habitus”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun