Dalam tulisan ini kemudian saya ingin menjelaskan bahwa pemerintah Aceh juga Kerjasama dengan seniman melalui Gerakan seniman Masuk Sekolah (GSMS) yang digagas oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbudristek melalui Direktorat Pemanfaatan Kebudayaan. Program ini dalam rangka upaya pendidikan berkarakter. Pendidikan karakter penting dalam memperbaiki krisis moral yang sedang melanda kaum muda di negeri ini (Nurlina, 2014).Â
Cara untuk membuat seseorang mengerti, memahami, dan bertindak sesuai dengan etika dan norma yang berlaku merupakan makna pendidikan karakter. Anak tersebut dapat menentukan  pilihan  mana  yang  baik dan tidak atau mana yang benar dan salah dalam menghadapi masalah.
Hakikat, konsep pendidikan karakter merupakan pendidikan tentang nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya sendiri dan bertujuan untuk mengembangkan kepribadian anak atau siswa ke arah yang baik sehingga bisa menjadi generasi muda yang membanggakan daerah dan bangsanya.Â
Karakter yang  terbentuk dapat membantu siswa mengembangkan potensi siswa, dari segi kognitif, afektif, psikomotorik. Selain itu, pendidikan karakter siswa yang mendorong siswa dapat berinteraksi dengan lingkungan sosio- kultural dengan baik. Proses pengembangan karakter  dipengaruhi oleh keteladanan dari figur pendidik menanamkan nilai-nilai kebaikan.
Berkaitan dengan kedua isu tersebut, saya berpikir bahwa ada korelasi antara pendidikan nilai dengan persoalan budaya pada masyarakat Aceh. Pada program GSMS ini menempatkan posisi seniman sebagai cultural mediator yang diharapkan berperan dalam merevitalisasi nilai budaya (contohnya Aceh) di sekolah dengan keberadaan mereka.Â
Pengajaran seniman dilakukan diharapkan tidak hanya keberlangsungan nilai budaya yang nampak dalam karya mereka tetapi membawa konsekuensi pada penanaman nilai sehingga perilaku siswa-siswa berkarakter.Â
Revitalisasi nilai budaya melalui peran seniman menjadi salah satu alternatif dalam  upaya  tersebut dan ini menunjukkan pentingya metode mediator dalam menjembatani nilai budaya dengan perilaku anak yang berarti hal tersebut menjadi alternatif dalam upaya revitalisasi nilai budaya.Â
Merevitalisasi nilai melalui peran pendidik dalam hal GSMS adalah pendidik kebudayaan di sekolah. Diharapkan program ini di masa mendatang mendorong terciptanya kehidupan masyarakat yang sesungguhnya dengan diimplementasikannya nilai-nilai kebaikan yang ada dalam kebudayaan (kearifan lokal) seperti dalam gagasan Fukuyama dalam Lawrence E. Harrison and Samuel P. Huntington, Culture Matters: How Values Shape Human Progress (2000) bahwa norma untuk membentuk keteraturan sosial dapat diciptakan berdasarkan otoritas atau kekuasaan terpusat dan hierarkis dari nilai (Ahmad, 2016).
Program GSMS menjadi bagian kolaborasi pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat karena dipandang sesuai dengan sistem pendidikan di Aceh yang tertuang di Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2015 yang mendorong dan mengajak siswa untuk hidup yang lebih dinamis dengan berlandasan nilai-nilai dan mulia atau pendidikan nilai dan moral.Â
Oleh karena nilai bersifat dinamis atau mempengaruhi budaya tetapi juga dipengaruhi oleh budaya maka kita kita dapat mengupayakan terbentuknya nilai kebaikan dengan upaya konstruksi budaya dalam tulisan ini revitalisasi nilai melalui agen-agen budaya atau cultural mediator, yaitu seniman masuk sekolah.
Revitalisasi nilai-nilai budaya di masyarakat kepada generasi muda melalui pendidikan di sekolah. Konsep tentang metode ini dapat membantu merevitalisasi warisan budaya melalui pelaku budaya seniman masuk sekolah.  Berdasarkan  metode  ini hal terkait dengan penilain metode perlu diidentifikasi lebih lanjut oleh peneliti atau pihak ahli pengkaji dengan kajian literatur dan turun lapangan sebagai uji coba sehingga diketahui efektivitas dari metode ini. Metode ini juga perlu diintegrasikan dengan metode lainnya yang berperan dalam revitalisasi nilai budaya.