Saat ini beberapa instansi pemerintah/ Kementerian Lembaga (KL) sedang dalam proses transformasi manajemen kerja mendukung program organisasi berbasis fungsional. Dalam mewujudkan hal tersebut beberapa instansi pemerintah /KL mengalami penggabungan untuk penyederhanaan birokrasi yang lebih efektif, dinamis, dan kolaboratif.
Penyederhanaan birokrasi di instansi pemerintah/ KL ini merupakan program Presiden dalam rangka mempercepat pengambilan keputusan, dimana Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) merupakan instansi yang diberikan kewenangan.
Kebijakan tersebut didukung dengan peraturan penyederhanaan birokrasi yang tertuang dalam SE Menpan-RB No. 382 s.d. 393 Tahun 2019 tentang Langkah Strategis dan Konkret Penyederhanaan Birokrasi dan Peraturan Menteri PANRB Nomor 28 Tahun 2019 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi ke dalam Jabatan Fungsional.
Seluruh instansi pemerintah/ KL dituntut melakukan penyelarasan birokrasi guna mendukung kebijakan tersebut, karena terkait pembentukan kebutuhan jabatan fungsional (JF) baru. Dimana instansi pemerintah/ KL ini akan membuka peta jenis JF untuk penempatan bagi penyetaraan jabatan administrator (eselon III), pengawas (eselon IV), dan pelaksana (eselon V).
Namun, kenyataannya masih terdapat pro dan kontra penyederhanaan birokrasi kebijakan Kemenpan-RB tersebut, sehingga masih ada instansi pemerintah/ KL yang belum melaksanakannya. Hal ini berdampak terbatasnya pilihan jenis JF sesuai keahlian, kompetensi dan pengetahuan dikarenakan instansi pemerintah/ KL terkait belum melakukan transformasi.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994, jabatan fungsional adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seseorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan/atau ketrampilan tertentu serta bersifat mandiri .
Merujuk aturan tersebut artinya menjadi seseorang yang menempati jabatan fungsional harus mandiri dan didukung dengan keahlian tertentu yang dimiliki.
Penyetaraan struktural menjadi fungsional seyogyanya tidak kaku ketika pada prosesnya, setelah dijalani ternyata tidak sesuai keahlian, pengetahuan dan kompetensinya atau dengan tugas-tugasnya. Berikutnya agar diberi peluang atau kesempatan dan kemudahan untuk alih jabatan fungsional untuk pengembangan karirnya sesuai passion, agar tidak merasa dirugikan.
Dilematik penempatan jabatan fungsional dari pengalihan pejabat struktural adalah ketika belum tersedianya jenis jabatan fungsional yang dibutuhkan dan sesuai dengan eksisting pelaksanaan tugas-tugasnya. Bahkan pada jenis jabatan fungsional tertentu hanya tersedia sampai jenjang mahir. Tentunya hal ini berdampak yang merugikan bagi jenjang karir dan golongan ASN tersebut.
Dimana selama menjadi struktural dapat bekerja mendarmabaktikan ide dan gagasan terkait tugas-tugas yang diberikan, namun kenyataannya semua tugas yang dilaksanakan tidak terkait dengan butir-butir penyetaraan jabatan fungsionalnya. Hal ini dikarenakan belum tersedianya jenis JF yang sesuai atau jenjang JF di unitnya bekerja. Salah satu faktor penyebab juga dikarenakan unit/ instansi/ KL sebagai pembina teknis JF terkait belum ‘deselonisasi’ atau belum melakukan tranformasi birokrasi.
Akhirnya ASN tersebut tidak ada pilihan “harus menerima” jabatan fungsional yang tidak sesuai dengan pelaksanaan tugasnya, yang mana tidak memiliki keahlian dan kompetensi yang cukup. Bahkan terdapat contoh kasus pada JF tertentu hanya tersedia jenjang terampil dan mahir, selain tidak ada pilihan lain bagi ASN tersebut kecuali menerima jenjang JF yang ada. Padahal pendidikannya sudah S-2, golongan sudah III d, dan pengalaman kerja sudah lebih dari 10 tahun.