Mohon tunggu...
Etty Hastari Soeharto
Etty Hastari Soeharto Mohon Tunggu... lainnya -

... biasanya biasa.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kuncup Tanpa Rekah

9 November 2011   18:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:52 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

* Mengingatmu hari itu, seperti menggerus duka. Sosokmu yang tak pernah kurengkuh walau hanya semaya. Mata teduh yang tak pernah kulihat binarnya mengerjap. Dan senyum yang tak pernah kunikmati lengkungannya di antara wajah sesegar kenanga. Siapakah dirimu? Kau menyapaku lewat keajaiban mantra. Mendekapku erat dalam tanda tanya bisu yang tak kutahu jawabnya. Kau menyihirku. Membawaku bersenyawa pada tempias aurora bernama cinta. Jingganya menyergap. Pekat. Lalu melumpuhkanku dalam gelap. *** Sepuluh kuncup mawar itu, belum sempat terbeli untukmu. . Satu siang menjelang sore, Masih kupatrikan sosokmu di tempat yang biasa. Satu sisi di sudut hati, yang di sana kuangsurkan singgasana kecil untukmu. Tempat yang hanya satu kupunyai, dan kau kutahtakan sebagai suri. Indah dalam rona kenanga. Meski maya. Tapi selayak lantunan doa atas namamu, selayak itu kau ada. . Aku berpacu. Dan seikat kembang berisi sepuluh kuncup mawar, ada dalam daftar kemana aku menuju. Aku hanya ingin, segar mawar itu menemanimu. Sedikit menyemarakkan -entah apa yang kau nikmati di sana- dalam sunyi dunia kecilmu. Aku tak bisa tinggal untukmu. Kurasa kau pasti tahu mengapa. Kuhitung setiap putaran laju. Ada dirimu dan seikat kembang itu. Tapi adakah semesta merestuiku? Ketika tiba-tiba, aku tersentak. Brakk..!! Kecelakaan itu menyeretku. Menghentikan segalaku  pada satu kepasrahan. Tak apa. Aku baik-baik saja. Hanya aku tak sanggup membawa seikat kembang itu untukmu. Aku harap kau pasti mengerti dan tak menungguku. *** Sepuluh kuncup mawar itu, tak lagi sempat terbeli untukmu. . Tapi sampaikah padamu? Kuganti kuncup-kuncup itu dengan delapanpuluh tiga mekaran syair syahdu. Lantunan yang hanya bisa kutitipkan pada semesta, entah bagaimana mereka akan membawanya padamu. Kau menerimanya kan? Bersama desau bayu? Bersama gelincir surya? Atau serupa mimpi-mimpi di keabadian tidurmu? Kau mendengarnya kan? Walau selalu, hanya kubisikkan dari tempatku bersimpuh, dengan lirih yang selalu teriring bulir bening, untukmu. Delapanpuluh tiga syair. Kugenapi ia menjadi matahari di gelapmu. Adakah kau kenali terang itu? . Kuncup-kuncup yang tak terbeli. Syair yang terhenti. Bisakah ia mewakili sebuah permintaan maaf, untuk sebuah janji yang tak lagi bisa ditepati? * Kuncup-kuncup tanpa rekah di antara rona kenanga. Biarkan merahnya meranting. Jika ia serupa keping waktu, maka saat inilah tak ada lagi denting. * Terima kasih telah membuatku mengerti, Terima kasih telah hadir di dunia kecil ini, sebagai teman baik yang abadi. * Ijinkan kini, kutukar kuncup-kuncup mawar itu, dengan satu pinta : kau berbahagia, dengan apapun kuncup lain yang kau terima.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun