Mohon tunggu...
Siti Hajar
Siti Hajar Mohon Tunggu... -

mahasiswa psikologi UIN MALIKI Malang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mahasiswa Tangguh

12 Maret 2015   05:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:47 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah ini merupakan kisah kegigihan seorang mahasiswa dalam mengejar cita-citanya yang bernama Lukmanul Hakim. Hakim adalah anak pertama dari 4 bersaudara dari orang tua yang ekonominya pas-pasan. Kedua orangtuanya bekerja sebagai buruh petani didesanya. Kecerdasan Hakim sudah terlihat sejak ia masih kecil. Ia mudah menangkap apa yang telah disampaikan orang tuanya padanya. Begitupun ketika ia memasuki bangku sekolah dasar. Ia sering mendapatkan peringkat pertama di sekolahnya. Sampai pada akhirnya tiba saatnya ia lulus dari `sebuah SMA swasta. Ia bingung antara meneruskan ke perkuliahan atau tidak. Pada dasarnya ia ingin melanjutkan studinya di perkuliahan namun disisi lain ia sadar bahwa perekonomian orang tuanya tidak memungkinkan utuk membiayai kuliahnya dan biaya hidupnya. Ia sadar bahwa orang tuanya tidak hanya harus membiayainya namun juga ketiga adiknya. Ia terus memikirkan hal itu sepanjang hari memepertimbangkan antara keinginannya melanjutkan pendidikannya atau mencukupkan pendidikannya sampai SMA dan membantu orang tuanya bekerja. Hingga pada akhirnya ia memiliki jalan keluar dari permasalahan yang ia hadapi. Ia memutuskan untuk melanjutkan ke bangku perkuliahan namun ia tidak akan meminta uang dari orang tuanya. Ia memutuskan melanjutkan bangku kuliah namun disamping itu ia juga akan bekerja dan tidak akan meminta orang tuanya untuk membiayainya. Ia berpikir, ketika orang semakin berkualitas maka semakin mudah ia dalam mendapatkan sesuatu termasuk pekerjaan yang layak.

Ia meminta izin pada orang tuanya untuk pergi ke Jakarta. Melihat kesungguhan anaknya untuk melanjutkan pendidikanya, ayahnya bergegas pergi kerumah tetangga untuk meminjam uang untuk diberikan kepada Hakim yang akan mengejar cita-citanya. Namun ia tidak mendapatkan pinjaman banyak. Ia hanya mendapat pinjaman Rp 100.000 dan ditambah dengan uang simpanannya sendiri Rp 50.000. jadi total yang bisa diberikan Hakim adalah Rp 150.000. Dengan tekat bulat dan berbekal doa orang tuanya ia pergi ke Jakarta dengan kereta api dari Banyuwangi. Tiket yang harus ia bayar untuk ke Jakata adalah Rp 90.000. Jadi sisa uang yang ia punya hanya Rp 60.000. sesampainya di Jakarta hal yang pertama yang harus ia lakukan adalah mencari masjid untuk beristirahat sejenak. Tak jauh dari stasiun ada masjid yang cukup besar yang bisa ia jadikan tempat sholat sekaligus beristirahat. Setelah ia sholat ia pindah ke emperan masjid untuk sekedar duduk-duduk. Disitu ia berpikir bagaimana ia harus menggunakan sisa uangnya yang tinggal sedikit. Ia ingat ia pergi tidak hanya berbekal uang saja, namun ia juga berbekal 20 tasbih yang ia bawa dari rumahnya untuk dijual sebagai modal pertama. Lalu ia pergi keluar area masjid, tepatnya didepan pagar masjid untuk menjual  tasbih-tasbihnya. Ia ingat bahwa tidak diperbolehkan berdagang didalam masjid. 20 tasbih itu ia tata rapi dan ia mulai menawarkan dagangannya. Dari hasil menjualnya setidaknya ia mendapatkan cukup uang untuk mengisi perutnya. Ia pergi ke sebuah warung didekat masjid untuk membeli nasi bungkus. Namun, betapa kagetnya ia ternyata makanan di Jakarta sangat mahal. Beda jauh dengan harga makanan di Banyuwangi. Kalau ia membelinya maka sudah pasti uangnya akan cepat habis. Ia memutr otaknya bagaimana ia bisa makan dengan biaya yang tidak banyak. Akhirnya ia memutuskan utk membeli nasi saja tanpa lauk. Kemudian ia pergi ke warus kecil untuk memebeli kecap. Dari situ ia akhirnya bisa makan nasi dengan lauk kecap tanpa ada lauk yang lain. Menu ini sudah lebih dari cukup baginya mengingat uang simpanannya yang sangat menipis.

Setelah ia rasa perutnya sudaah cukup kenyang, ia bergegas mencari alamat teman semasa kecilnya yang kini bekerja di Jakarta yang sebelumnya sudah ia hubungi ketika hendak berangkat ke Jakarta. Setelah lama mencari, akhirnya ia bisa menemukan rumah temannya itu. Untuk sementara waktu ia akan tinggal di tempat temannya sampai ia menemukan kos untuk ditinggali yang sesuai dengan keuangannya.Tahap selanjutnya, ia mengikuti tes seleksi masuk perguruan tinggi dengan jalan beasiswa. Usahanya tidak sia-sia, ia diterima di salah satu perguruan tinggi swasta. Permasalahan tidak berhenti sampai disitu saja. Hakim harus mencari pekerjaan tetap untuk bisa bertahan hidup di Jakarta yang serba mahal. Ia harus berusaha keras mencari pendapatan yang cukup untuk menyewa kamar kos karena ia tidak bisa terus-terusan tinggal dengan temannya. Awalnya ia mencoba melamar menjadi salah satu pelayan di warung makan. Pagi hari ia harus pegi ke kampus dan siang hari ia harus berangkat ke warung. Ia bekerja dari siang sampai malam. Sekalipun lelah selalu menghampiri hari-harinya ia tidak pernah menyesal dengan keputusannya meneruskan pendidikannya. Sekalipun ia super sibuk dengan pekerjaannya ia selalu meluangkan waktunya untuk belajar. Ia tidak pernah lupa niat awalnya ia pergi ke Jakarta, yaitu untuk menimba ilmu. Sampai ia berhasil mengumpulkan cukup uang. Ia mencari persewaan kamar kos. Ia tidak muluk-muluk dalam mencarinya. Ia mencari kamar kos yang sangat murah yang cukup dengan keuangannya. Hingga akhirnya ia menemukannya. Karena ia telah menemukan tempat tinggal, ia berpamitan dengan temannya. Ia berterima kasih banyak karena sudah menampungnya sejak ia sampai di Jakarta.

Sesampainya di kos barunya. Ia merebahkan badannya di kasur. Kamarnya sangat sempit. Kasurnyapun sangat keras. Entah sudah berapa lama kasur itu sudah tidak diganti. Arna kasur itu sudah kumal. Sesekali ada kutu busuk yang keluar dari lipatan ujung kasur itu. Memang untuk harga murah, ia tidak mengaharap kamar kos yang bagus. Baginya itu sudah cukup, yang penting ia bisa mendapatkan tempat tinggal. Ketika malam tiba, ia mulai memejamkan matanya. Namun, ditengah malam tiba-tiba terbangun. Ia merasakan ada air yang menetes di wajahnya. Ternyata di luar sedang hujan. Atap diatas kamarnya bocor. Bocornya cukup banyak. Hingga air yang menetes diatas kasurnyapun cukup banyak. Terpaksa ia harus menggulung kasurnya agar tidak terkena air. Malam ini terpaksa ia tidur diatas kardus yang ia gelar diatas lantai. Kardus itu ia tempatkan di pojok kamar yang tidak terkena tetesan air hujan.

Selama ia di perkuliahan. Ia tidak pernah membeli buku. Karena uang hasil kerjanya tidak cukup untuk membelinya. Uang itu hanya cukup untuk kebutuhan makannya sehari-hari dan untuk pembayaran sewa kos. Bahkan ia pun rela berjalan jauh ketika berangkat ke kampus. Ia pikir uangnya lebih baik ia gunakan untuk keperluan lain dari pada sekedar ia buat untuk naik angkot. Sekalipun Hakim tidak pernah punya buku sendiri. prestasinya selalu menjadi nomor satu. Setiap hari ia pergi ke perpustakaan untuk membaca buku. Tidak hanya perpustakaan kampusnya, namun juga perpustakaan kota sering ia kunjungi. Bahkan nafsunya untuk membaca buku membuat ia sering pergi ke toko buku. Disana ia tidak membeli buku, namun ia hanya membaca buku-buku yang terpajang disana.

Kebiasaannya membaca buku, membuat ia pandai menulis. Tulisannyapun tidak hanya sekedar tulisan. Tulisannya selalu berbobot dan mengandung pengetahuan. Akhirnya ia mencoba mengirim tulisannya dimajalah mingguan kampus. Tulisannyapun selalu terpajang di majalah itu. tidak berhenti disitu saja. Hakim mencoba mengirim tulisannnya ke sebuah majalah ternama di Jakarta. Ternyata tulisannya pun diterima dengan senang hati. Dari situ akhirnya ia menjadi penulis tetap di majalah ternama itu dan dari sini ia mendapatkan uang cukup banyak karena tulisannya yang selalu diminati para pembaca.

Hingga akhirnya, dari aktifitasnya menulis itu ia mampu melanjutkan pendidikannya ke jenjang pasca sarjana dan ia mampu membiayai pendidikan adik-adiknya. Setelah lulus dari program pasca sarjana  ia pun diminta untuk menjadi dosen di kampusnya dulu. Hingga kini, orang tuanya tidak perlu bersusah payah bekerja panas-panasan di sawah. Kiriman uang dari Hakim sudah cukup bahkan lebih untuk memenuhi kebutuhannya sehari-sehari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun