Mohon tunggu...
Siti Hajar
Siti Hajar Mohon Tunggu... -

mahasiswa psikologi UIN MALIKI Malang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Ingin Pelukanmu, Ibu

10 November 2014   12:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:11 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketika itu aku masih duduk di bangku SMA. Aku termasuk anak yang tersohor, bukan hanya disekolahku tapi juga disekolah yang tidak jauh dari sekolahku. Hal itu karena aku punya banyak teman baik disekolahku maupun disekolah sebelah. Namun, aku tidaklah dikenal sebagai siswa yang pandai tapi aku dikenal karena tngkahku yang diangga nakal. Aku sering membolos sekolah. Aku tidak bolos sendirian, tapi aku mengajak teman-temanku juga untuk bolos sekolah. Biasanya kami memilih pergi bermain play station  di rumah salah satu teman kami.

Orang tuaku sering mendapat laporan dari guruku tentang polahku yang membuat geram semua guru. Biasanya kalau mereka sudah mendapat laporan dari guruku, mereka akan memarahiku habis-habisan ketika aku pulang. Segala macam bentuk kemarahan orang tuaku pernah aku dapatkan. Mulai dari dipukul, diikat di pohon, disiram air, bahkan aku pernah disiram dengan kuah makanan yang bersantan yang pedas. Dan itu membuat mataku terasa pedih sekali. karena hal inilah aku malas sekali pulang ke rumah. Pulang kerumah sama saja dengan mengahampiri petaka. Tapi apadaya, aku tidak punya tempat tujuan selain rumah orang tuaku.

Pada awalnya aku masih bisa bertahan dengan kemarahan orang tuaku. Namun, hari itu adalah hari yang paling menyakitkan hatiku. Yaitu hari dimana ketika orang tuaku mendapat teguran dari guru sekolahku untuk yang kesekian kalinya. Namun hari itu orang tuaku juga mendapatkan peringatan kalau aku terancam dikeluarkan dari sekolah. Ketika aku pulang aku dimarahi habis-habisan. Bukan hanya dimarahi tapi aku juga dipukul dengan sapu lantai. Ketika itu aku diam saja tanpa mengucap satu katapun sekalipun aku merasakan sakit ditubuhku. Aku hanya terdiam mendengarkan kemarahan orang tuaku dan merasakan pukulan mereka. Namun tiba-tiba keluar dari mulut orang tuaku kata-kata “ Kalau kamu tetap saja seperti ini, Semoga kamu jadi gelandangan ’’. Hatiku terasa tersayat mendengar kata-kata itu keluar dari ucapan orang tuaku sendiri. Bukankah aku ini anaknya? Lalu kenapa ada doa seperti itu untuk anak kandungnya sendiri?. Seketika itu aku berteriak dengan sekeras-kerasnya didepan orang tuaku, aku tidak brbicara apa-apa, yang aku lakukan hanya berteriaak sekeras-kerasnya didepan orang tuaku. Lalu aku berlari sekencang-kencangnya meninggalkan orang tuaku. Entah bagaimana rupa kemarahan orang tuaku ketika anaknya sendiri berteriak di hadapannya. Aku terus berlari dan berlari tidak tahu mau kemana. Akhirnya  aku berhenti di pinggir jalan. Aku sangat marah saat itu. hingga akhirnya aku membeli rokok dan menghisapnya untuk melampiaskannya. Padahal sebelumnya aku tidak pernah merokok, itu adalah pertama kalinya aku merokok. Aku memang termasuk anak nakal, tapi aku tidak pernah merokok sebelumnya.

Ketika waktu malam tiba, aku tidak tahu mau tidur dimana. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke rumah nenekku. Rumah nenekkku lumayan jauh dari rumahku. Dan beliau termasuk nenek yang mencintai cucu-cucunya. Nenek yang biasanya membela cucunya ketika cucunya kena marah. Sesampainya dirumah nenek, aku langsung menuju kamar. Nenek tidak  bertanya apa-apa kepadaku. Sepertinya beliau sudah tahu tentang permasalahanku. Namun malam itu aku tidak bisa memejamkan mata. Aku tidak bisa tidur. Selalu terngiang ditelingaku ucapan “gelandangan” itu.

Sudah lima hari aku tinggal dirumah nenek. Namun selama itu, aku tidak bisa tidur tiap malam. Sepertinya aku terkena insomnia. Terlebih lagi, aku tidak punya keinginan sama sekali untuk keluar rumah. Aku menghabiskan semua waktuku hanya di dalam kamar. Aku tidak berminat sama sekali untuk melakukan hal apapun. Tidak ada hal yang ingin aku lakukan. Aku hanya ingin berdiam diri didalam kamar.

Pagi hari di hari keenamku di rumah nenek. Aku mendengar suara yang tidak asing lagi bagiku. Aku sangat mengenal suara ini. Ini adalah suara dari orang yang membuatku keluar rumah. Ya, itu adalah suara ibuku. Mendengar suara ibu, telingaku terasa sangat panas. Terngiang kembali di telingaku kemarahan-kemarahannya padaku.

Namun pagi itu tidak seperti biasanya. Biasanya aku hanya bisa mendengar kemarahan ibu setiap hari, tidak ada yang lain. Tapi pagi itu aku mendengar orang sedang menangis. Itu suara ibuku. Ibuku sedang menangis. Kenapa ibu menangis? Apa gara-gara aku?. Ku beranikan diriku untuk membuka pintu kamar sedikit. Aku mengintip untuk memastika siapa yang menangis. Ternyata memang benar ibuku yang sedang menangis. Melihatnya menangis aku jadi tidak tega. Belum pernah aku melihat raut wajah sesedih ini dari wajah ibuku. Kemarahanku padanya jadi sedikit meredam ketika aku melihat air mata ibu. Aku sadar, mungkin memaang aku yang salah. Aku tidak pernah menuruti nasehat ibu. Wajar saja ibu sangat geram padaku. Akhirnya kuberanikan diri untuk menemui ibu. Belum sampai aku berjalan padanya, ibu langsung berlari padaku dan memelukku. Kaget rasanya aku dipeluk ibu. Aku lupa kapan terakhir kali aku dipeluk ibu. Mungkin ketika aku belum sekolah terakhir kali aku di peluk ibu. Tidak  terasa aku meneteskan air mata. Aku merasa sangat senang dan sangat nyaman berada di pelukan ibu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun