Mohon tunggu...
Si Thesigner
Si Thesigner Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Falsafah "Bubur"

17 Maret 2017   20:42 Diperbarui: 18 Maret 2017   06:00 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sering kita mendengar kata - kata  " Ibarat Nasi Sudah Jadi Bubur ". Dan biasanya, hal tersebut menndakan bahwa apa yang terjadi, adalah sebuah proses yang sudah berlangsung tidak seperti yang diinginkan. Sehingga semua hasil proses, pada akhirnya seperti sia - sia.

Namun, ada kalanya ibarat tersebut memiliki sudut pandang yang lain, bagi sebagian kalangan. Terutama bagi, diri penulis sendiri. Ibarat nasi sudah jadi bubur, tentu bagi sebagian koki yang memang menguasai proses masak - memasak, akan memandang berbeda dalam katalog masakan. Bagaimana nasi yang sudah menjadi bubur, bisa diolah sedemikian rupa, sehingga mampu menjadi sebuah hidangan yang menarik, dan lezat untuk dinikmati. Tentu saja, selain itu juga memiliki nilai gizi yang tinggi, alias menyehatkan.

Jika telusuri dan simak lebih dalam dari judul diatas, bagaimana ketika nasi yang berasal dari beras, bisa menjadi bubur. Tentu karena komposisi dalam  prosesnya tidak seimbang, atau tidak sesuai dengan takaran yang diharapkan. Sehingga menjadi sebuah hasil proses yang lain, atau tidak seperti yang kita inginkan. Karakter nasi yang keras, akhirnya bisa menjadi semakin lunak, dan cair, seperti bubur.

Jika kita lihat dari prosesnya, maka pada akhirnya, tidak cuma nasi, yang menjadi hasil dari sang beras. Namun, banyak para koki, akhirnya justru fokus mengolah sedemikian agar bubur tersebut menjadi bubur yang tidak cuma makanan yang biasanya banyak dikonsumsi para balita, atau para manula. Bahkan yang lebih lagi, bubur khusus disajikan bagi kebanyakan orang yang mengalami kesehatan yang kurang. Oleh karena kepandaian sang koki, pada akhirnya bubur yang tadinya hanya dipandang " khusus ", dapat menjadi santapan yang bernilai dan bergizi bagi semua kalangan.

Selain itu, tidak itu saja banyak sekali produk dari kata " bubur " benar - benar memiliki banyak nilai, sesuai dengan hal - hal yang berhubungan dengan produk-produk dari hasil " bubur " itu sendiri. 

Akhirnya, apa yang patut penuli petik dari produk " bubur " seperti yang dimaksud dalam tulisan ini, adalah bagaimana proses yang dilakukan dengan penuh kesabaran, dalam mengaduk sebuah komposisi takaran agar secara merata hingga menjadikan bubur itu benar - benar menjadi sebuah produk olahan yang bernilai tinggi dan bergizi serta bisa dinikmati semua kalangan. Yang pada akhirnya, falsafah bubur merupakan sebuah proses yang dikerjakan, tidak ada lagi kata yang kesia - siaan, jika kita memang benar - benar bisa melihat segala sesuatu akibat sebuah proses dari berbagai sudut pandang yang lain. Semoga bermanfaat...terimakasih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun