Akhir-akhir ini, saya mendengarkan cerita teman-teman saya mengenai Tinder. Bagi yang belum tahu apa itu Tinder, ini adalah salah satu aplikasi cari jodoh yang paling hits yang (dulunya) dianggap tidak alay. Sehingga, banyak orang-orang yang dulunya malu-malu untuk bergabung di aplikasi atau web perjodohan, kini mulai memberanikan diri.
Saya sendiri pernah mencoba aplikasi ini dan saya menarik kesimpulan: Tinder is not the right place to look for a long-term relationship.Â
Suatu malam sembari menyesap kopi hangat di sebuah coffee shop favorit di Jakarta Pusat, teman saya secara khusus mengajak saya bertemu untuk membahas mengenai dunia per-Tinder-an.
Teman saya ini perempuan dan belum pernah punya pacar sampai sekarang. Jangan cepat menghakimi, karena tidak ada yang salah dengan teman saya ini. Secara penampilan oke, dia juga pintar dan sangat easy going. Memang takdir Tuhan saja, belum waktunya.
Dia bercerita bahwa dia mendapatkan 500-an matches di Tinder dan dia mengobrol dengan 200-an matches-nya. Oke, bagi yang belum mengerti bagaimana Tinder bekerja, saya sedikit jelaskan ya. Di Tinder, kita diberikan banyak sekali pilihan dan kita memilih dengan cara swipe right jika menyukai profil seseorang dan swipe left jika tidak suka.
Tidak ada Batasan jumlah swipe dalam sehari. Kita baru bisa ngobrol dengan orang yang juga men-swipe right profil kita. Begitulah, lanjut lagi ya. Saya cukup terkejut ketika mengetahui banyaknya jumlah matches teman saya tersebut.Â
Dia bercerita tidak banyak laki-laki yang mencari hubungan yang serius. Kalaupun ada, biasanya kurang asyik diajak ngobrol. Cukup banyak laki-laki yang berpenampilan menarik, berpendidikan tinggi, dan bekerja di tempat yang oke di Tinder.
Namun, mayoritas dari mereka bergabung di Tinder hanya just for fun atau friends with benefit atau one night stand. Biasanya yang tujuannya buat ena-ena kayak gitu bisa terbaca dari profilnya, yaitu tidak memasukkan kata apapun di bio-nya.
Normalnya, jika kita benar-benar niat mencari jodoh, kita semestinya memastikan bahwa profil kita cukup menarik dan paling tidak bias memberikan sedikit informasi mengenai diri kita. Namun, banyak juga yang memasukkan kata-kata menarik di bio-nya, namun ketika berbicara ujung-ujungnya mengarah ke seks.Â
Teman saya itu bercerita bahwa mungkin 80% dari orang-orang yang dia temui secara langsung melalui Tinder berakhir ke ajakan ena-ena. Teman saya yang belum pernah pacaran itu lantas sempat skeptis dengan yang namanya cinta. Dia menjadi sempat tidak percaya dengan laki-laki. Dari pengalaman saya sendiri ketika mencoba Tinder, ada banyak hal-hal lucu yang saya temui.
Pertama, saya beberapa kali menemukan pacarnya teman saya sendiri di sana, bahkan saya beberapa kali menemukan suami orang yang saya kenal. Kedua, begitu banyak laki-laki yang tidak pandai membuat profilnya menarik.
Misalkan, memasang foto yang menghadap ke kaca, foto selfie di mobil, foto otot perut, memasang kata-kata  standar di bio seperti: 100% muslim, Batak & Christian, I am a simple guy, looking for serious relationship, have fun with me, bahkan banyak sekali yang tidak memasukkan kata apapun yang penting pasang foto ganteng. Tepok jidat! Ketiga, banyak yang tidak pandai memulai obrolan. Mayoritas, mereka hanya menyapa dengan kata: hi, hello, nice to match you. Sekian. Come on guys, you can do better!Â
Keempat, ujung-ujungnya maunya ena-ena. Sudah tidak perlu dijelaskan lagi bagaimana sebagian besar dari mereka bisa dengan cukup frontal meminta sesuatu yang lebih. Padahal, jelas sekali ya dari foto yang saya pakai saja semuanya tertutup, gak ada sama sekali yang seksi. Hahaha.
Saya juga menjadi banyak kenal dengan laki-laki yang ternyata sudah punya pacar, ternyata sudah lamaran, ternyata sudah menikah, dan ternyata duda. Memang kita harus pintar-pintar mencari tahu, sebelum di-kibulin. Â
Cerita lain, teman saya (laki-laki dan sudah menikah) bercerita bahwa dia tertarik bergabung di Tinder karena penasaran. Banyak hal yang menjadikan dia penasaran, karena konon masa mudanya lurus-lurus saja. Dia memperlihatkan kepada saya bahwa ternyata banyak juga perempuan yang hanya untuk senang-senang saja di Tinder.Â
Terbukti, dia matched dengan 2,000 orang! Iya, kalian tidak salah baca. Sebanyak itu. Saya sampai bercandain dia, "heh! kamu swipe right semuanya ya sampai bisa matched dengan sebanyak itu!!". Dia senyum-senyum saja.
Dia juga memperlihatkan obrolannya dengan beberapa perempuan - mayoritas yang dia mau ajak bicara adalah perempuan yang cantik tapi intelek. Memang obrolannya cukup bermutu tapi ujung-ujungnya mereka tidak malu-malu untuk berlanjut ke hubungan ena-ena. Oh, dunia.
Kalau saya ibaratkan ya, Tinder itu seperti dunia tersendiri yang orang tidak banyak ketahui. Sisi gelap seseorang bisa kita ketahui melalui Tinder.
Sungguh banyak yang saya tahu, laki-laki yang dianggap teman-temannya adalah sosok yang inspiratif, pintar, sukses di pekerjaan, pokoknya panutan. Tetapi, mereka tidak tahu bahwa orang ini sebenarnya ada sisi lain yang cukup bikin kaget karena di luar perkiraan.
Somehow, based on my personal experience, foreigners are actually more polite and have manner than Indonesian men when it comes into conversation on Tinder. Hehe.
Bagaimana bisa fokus, baru saja mengobrol dengan satu orang kemudian kita matched dengan orang lain yang lebih oke. Baru saja kita nyambung dengan seseorang kemudian ada hasrat untuk mencoba swipe-swipe lagi dan akhirnya menemukan yang lebih hijau lagi. Kita menjadi tidak pernah puas.
Selain itu, mengapa banyak sekali orang yang bertujuan ena-ena yang bergabung di Tinder? Karena melalui ini, orang bisa merasakan ena-ena tanpa harus membayar mahal. You get what I mean? Iya. Di Tinder kita bisa memilih orang yang menjadi tipe kita secara fisik dan lain-lain, kita bisa dengan mudah bertemu (apalagi Tinder bekerja berdasarkan jarak), dan hanya bermodalkan mengajak nonton atau makan lalu bisa berlanjut ke ena-ena tanpa harus baperan - bawa perasaan.
Selain itu, bergabung di Tinder sangatlah tidak rumit. Cukup dihubungkan dengan Facebook atau nomor handphone lalu kemudian bisa langsung swipe tanpa harus mengisi banyak pertanyaan selayaknya aplikasi atau web cari jodoh (yang serius).
Memang tidak menutup kemungkinan kita bisa menemukan jodoh di Tinder, tapi saya bisa bilang kemungkinannya hanya 1:100. Tinder jaman sekarang sudah beda dengan jaman awal-awal Tinder dirilis. Awal-awal memang cukup banyak yang benar-benar murni ingin mencari pasangan
 Saya pribadi menyarankan, daripada bergabung di Tinder lebih baik memperbanyak teman dengan cara bergabung dengan berbagai komunitas yang kalian minati dan lebih membuka diri untuk juga bergaul dengan lawan jenis. Sediakan waktu di akhir pekan untuk bersosialisasi, jangan hanya mendekam diri dalam kamar.
Kalaupun pada akhirnya memutuskan untuk bergabung di aplikasi-aplikasi perjodohan, pesan saya... please please please... cari tahu sebelum bertemu atau mengenal lebih jauh dan punya prinsip dan keberanian untuk menolak jika kalian merasa tidak nyaman. Lebih cepat bertemu lebih baik daripada kalian berlama-lama bicara via chat saja lalu sudah terlanjur bawa perasaan padahal ternyata berakhir zonk.Â
Sekian dan cheers.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H