Sudah menjadi kebiasaan bahwa setiap tanggal 1 bulan Juni, kita “sepakat” untuk peringati sebagai Hari Lahirnya Pantja Sila –begitu bentuk asli gabungan dua kata itu. Terlepas dari kontroversi keabsahan kesepakatan itu, menarik untuk sekadar menelisik ulang beberapa hal terkait tentang apa yang oleh para perumus dasar negara (the founding fathers) telah disepakati sebagai philosofische grondslag atau weltanschauung bagi Indonesia Merdeka. Dan tidak pernah dimaksudkan sebagai (menjadi) ideologi negara itu.
Telisik ulang yang disuguhkan dalam tulisan ini tentang pemaksaan yang serius terhadap posisi Pancasila, untuk menghindari istilah “penyimpangan”, yang di zamannya merupakan kejahatan serius dan diganjar dengan sebutan kontra-revolusi dan subvesif!
Untuk jenis pemaksaan yang pertama, sebenarnya dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indoensia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945, Bung Karno juga menawarkan alternatif dari Pancasila untuk “diperas” menjadi tiga sila saja, Trisila, yaitu, sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Bahkan kemudian Bung Karno kembali menawarkan, Trisila tersebut bisa diperas kembali menjadi Ekasila, yaitu gotong royong. Gotong royong inilah yang dianggap Bung Karno sebagai nafas rakyat Indonesia dalam perjuangan. Meski ide “Sang Penggagas” gagal terpenuhi, namun niat ke arah itu tampaknya tak pernah mati. Setidaknya pernah dalam sejarah praktik ketatanegaraan di era Presiden Soekarno dicoba pertemuan poros Nasionalis-Agama dan Komunis (NASAKOM), dengan tetap PANCASILA sebagai fondasinya. Bahkan obsesi yang sama dipakai oleh Putri Presiden Soekarno saat menjabat sebagai Presiden, dengan menyebut Kabinetnya sebagai Kabinet Gotong Royong.
Tapi, bukan cerita itu yang utama. Tapi cerita tentang jenis pemaksaan kedua terhadap Pancasila. Pemaksaan yang akhirnya diterima hingga saat ini, penerapan Asas Tunggal!
Pemaksaan ini diambil dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yusril Ihza Mahendra, S.H., yang terdokumentasi dalam bentuk Fakta Dokumenta (FD) yang merupakan hasil kerja Lembaga Islam untuk Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LIPPM) yangg direkturnya Anwar Harjono. FD itu berkesimpulan bahwa “disamping pembangunan yang diutamakan dalam alam Orde Baru, berlaku pula proses keruntuhan sistem hidup bernegara dari apa yang tadinya merupakan perwujudan dari nilai-nilai yang dihayati sebagai tujuan perjuangan kemerdekaan dan konsepsi dalam membentuk Negara Republik Indonesia, yaitu setapak demi setapak dan secara sistematis".
Apa bentuk pemaksaan itu? Dalam satu tarikan nafas dijawab dengan kalimat, “Dari Asas Bhinneka Tunggal Ika Menuju Asas Tunggal!” berikut adalah alurnya.
Yang perlu dipahami dan selalu dipertanyakan adalah, “Betulkan Pancasila itu, sejak ia dirumuskan sampai kemudian ia disahkan oleh sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, dimaksudkan untuk dijadikan satu-satunya asas bagi semua kekuatan sosial-politik, sehingga faham-faham yang ada di dalam masyarakat seperti Islam, Nasionalisme, Marhaenisme, Sosialisme, Kristen, Katolik dan lain-lain semuanya harus ditanggalkan dan dilarang menjadi kekuatan sosial-politik?” begitu pembukaan pada kata pengantar Yusril.
Ir. Soekarno ternyata samasekali tidak pernah bermaksud bahwwa dengan Pancasila berarti faham-faham yang ada di dalam masyarakat akan hapus dengan sendirinya. Bahkan dalam ceramahnya pada 17 Juni 1954 di Istana Presiden, ia mengatakan bahwa “ia tidak setuju jika Pancasila itu dijadikan sebagai asas partai politik. Pancasila harus tetap menjadi dasar negara, jangan ada partai politik yang mengatakan bahwa Pancasila adalah asas partainya”. Itu pendirian Ir, Soekarno, “Sang Penggagas” Pancasila!
Lantas kalau Ir. Soekarno sendiri berpendirian seperti itu, bagaimana mungkin pada akhirnya Pancasila ditetapkan sebagai Asas Tunggal? Di sinilah peran penting Orde Baru, orde yang dimaksudkan untuk “melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen!”.
Dari rentetan data dan fakta yang disusun oleh Yusril Ihza Mahendra dalam FD ini, terlihat apa makna dan praktik dari “melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen!” itu, sebagai icon Orde Baru. Dan hasilnya, seperti dikemukakan sebelumnya, “kita dapat mengikuti bagaimana di samping pembangunan fisik yang diutamakan dalam alam Orde Baru, berlaku pula proses keruntuhan sistim hidup bernegara dari apa yang tadinya merupakan perwujudan dari nilai-nilai yang dihayati sebagai tujuan perjuangan kemerdekaan dan konsepsi dalam membentuk Negara Republik Indonesia, yaitu setapak dem setapak dan secara sistematis pula”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H