LTV merupakan instrumen penting yang digunakan bank sentral untuk mengatur akses kredit, khususnya di sektor properti residensial dan komersial. LTV adalah rasio antara jumlah pinjaman yang diberikan oleh bank dan nilai agunan (biasanya properti) yang dijaminkan oleh peminjam. Misalnya, jika LTV ditetapkan pada 80%, maka bank hanya dapat memberikan pinjaman sebesar 80% dari nilai properti yang dijaminkan, sementara 20% sisanya harus dibayar oleh peminjam sebagai uang muka (down payment).
Loan-to-Value atauKebijakan LTV yang lebih ketat bertujuan untuk mengendalikan pertumbuhan kredit secara keseluruhan, menghindari ekspansi kredit yang berlebihan, dan memitigasi risiko keuangan. Ini penting dalam menjaga stabilitas makroekonomi, terutama di tengah kondisi pasar yang tidak pasti. LTV yang ketat juga bertujuan untuk melindungi konsumen dari risiko berutang melebihi kemampuan. Dalam situasi harga properti yang tidak stabil, rasio LTV yang rendah akan mengurangi risiko gagal bayar (default), karena peminjam telah menempatkan sebagian besar dananya sebagai ekuitas (equity) dalam pembelian properti.
Pengetatan LTV dapat membatasi jumlah uang yang beredar dalam ekonomi, sehingga membantu meredam tekanan inflasi yang berasal dari pertumbuhan kredit yang terlalu cepat. Di sisi lain, pelonggaran LTV dapat meningkatkan konsumsi dan investasi properti, yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga berpotensi meningkatkan risiko inflasi.
Di sisi lain, ketika bank sentral melonggarkan rasio LTV, pembeli properti dapat memperoleh pinjaman dengan uang muka yang lebih rendah, yang mendorong peningkatan permintaan properti. Langkah ini sering diambil sebagai bagian dari kebijakan counter-cyclical untuk merangsang pasar properti yang lesu dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Ketika LTV dilonggarkan, investor dapat lebih mudah melakukan pembiayaan untuk pembangunan proyek komersial, seperti pusat perbelanjaan, perkantoran, atau hotel. Hal ini dapat merangsang investasi di sektor konstruksi dan properti, yang pada saat bersamaan berdampak positif pada perekonomian, terutama dalam hal penciptaan lapangan kerja. Namun, kebijakan LTV yang terlalu longgar juga dapat memicu spekulasi dan gelembung harga properti, terutama jika kredit disalurkan secara agresif tanpa mempertimbangkan kapasitas peminjam. Hal ini dapat meningkatkan risiko sistemik di sektor perbankan jika terjadi penurunan tajam harga properti komersial.
Kebijakan Loan-to-Value (LTV) memiliki dampak yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia, terutama di sektor properti, perbankan, dan stabilitas makroekonomi secara keseluruhan. Bank Indonesia telah menggunakan instrumen LTV sebagai salah satu alat untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah dinamika global yang tidak pasti, serta tekanan inflasi yang meningkat.
Dalam upaya memulihkan ekonomi pasca-pandemi, Bank Indonesia melonggarkan kebijakan LTV, memungkinkan masyarakat untuk memperoleh kredit properti dengan uang muka yang lebih rendah. Pelonggaran ini bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pembiayaan rumah, terutama bagi generasi milenial dan pembeli rumah pertama. Langkah ini terbukti meningkatkan permintaan properti residensial, yang merupakan salah satu indikator penting dalam pemulihan ekonomi karena mendorong sektor konstruksi, menciptakan lapangan kerja, dan menggerakkan industri terkait seperti bahan bangunan, jasa arsitektur, dan transportasi.
Penurunan rasio LTV dalam beberapa tahun terakhir mendorong peningkatan penyaluran kredit perumahan (KPR), yang berkontribusi pada peningkatan harga properti. Namun, kenaikan harga properti yang terlalu cepat dapat memicu risiko inflasi di sektor perumahan. Jika tidak diimbangi dengan peningkatan daya beli masyarakat, harga rumah yang semakin mahal justru dapat menciptakan gelembung properti (property bubble). Bank Indonesia perlu memantau perkembangan ini dengan cermat agar tidak memicu ketidakseimbangan di pasar properti, yang dapat mengganggu stabilitas makroekonomi.
Pelonggaran LTV meningkatkan penyaluran kredit properti, namun juga berisiko meningkatkan eksposur perbankan terhadap kredit macet (non-performing loan/NPL), terutama jika kondisi ekonomi memburuk. Dalam situasi inflasi tinggi dan daya beli masyarakat menurun, risiko gagal bayar dapat meningkat. Meskipun sektor properti berpotensi menjadi motor pertumbuhan ekonomi, ekspansi kredit yang terlalu agresif dapat menimbulkan risiko sistemik bagi sektor perbankan, terutama jika banyak pinjaman diberikan dengan agunan properti yang nilainya tidak sebanding dengan risiko kredit.
Di tengah volatilitas nilai tukar rupiah dan ketidakpastian ekonomi global, kebijakan LTV yang terlalu longgar dapat memperburuk kerentanan eksternal Indonesia. Ketergantungan pada impor bahan baku untuk konstruksi properti akan semakin memperbesar tekanan terhadap nilai tukar rupiah ketika terjadi depresiasi, yang pada gilirannya dapat memicu inflasi impor. Dalam situasi seperti ini, pengetatan LTV bisa menjadi langkah yang lebih tepat untuk meredam risiko ketidakseimbangan eksternal.
Pelonggaran LTV juga dapat mempengaruhi daya tarik investasi asing di sektor properti. Dengan memberikan akses kredit yang lebih mudah, pasar properti Indonesia menjadi lebih dinamis, yang menarik minat investor asing untuk berinvestasi dalam proyek-proyek real estate dan properti komersial. Namun, diperlukan regulasi yang jelas dan stabil agar investor merasa aman untuk menanamkan modal mereka. Ketidakpastian regulasi dan kebijakan yang berubah-ubah bisa membuat investor ragu dan lebih memilih pasar yang dianggap lebih stabil.
Bank Indonesia perlu menerapkan kebijakan LTV yang fleksibel dan adaptif, sesuai dengan kondisi ekonomi terkini. Di tengah inflasi yang tinggi dan ketidakpastian pasar keuangan global, pengetatan LTV mungkin diperlukan untuk menjaga stabilitas harga properti dan mengurangi risiko kredit macet. Di sisi lain, pelonggaran LTV dapat digunakan sebagai stimulus ketika ekonomi melambat, guna mendorong permintaan domestik dan pertumbuhan sektor konstruksi. Pendekatan kebijakan yang bersifat counter-cyclical ini penting untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas makroekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H