Senin dini hari pak Umar pedagang pakaian yang kesehariannya berjualan di pinggir jalan kawasan macet Tanah Abang. Belum sempat bersilaturahmi dengan sanak-saudara di kampung halamannya ia harus beranjak pergi kembali ke Jakarta.
Agaknya kali ini pak Umar terlihat cemas, sesekali ia berhenti tampak keraguan menghantui diantrian paling belakang ia berdiri. Pak Umar adalah salah satu pedagang kaki lima yang terkena dampak relokasi ke pasar Tanah Abang Blok G. Menurutnya kebijakan gubernur Jokowi sangat merepotkannya, bukan karena lokasi atau uang sewa namun ia terkendala masalah administrasi. “ Pak Jokowi sangat diskriminatif” ujarnya kepada saya disela-sela kerumunan orang-orang yang mengantri.
Pedagang kaki lima merupakan momok yang sulit di tertibkan bagi pemprov DKI sebelum pak Jokowi. Namun sekarang penanganan mereka tak lagi represif melainkan pemprov DKI memberi PKL solusi yang cukup memberikan angin segar bagi pedagang kaki lima eks Tanah abang. namun yang menjadi pertanyaan adalah kecemasan pak Umar mengenai syarat administrasi yang harus dilengkapi.
Sudah berjam-jam pak Umar mengantri, sudah tiga botol air mineral ukuran tanggung terminum karena kepanasan. Kali ini pak umar sudah berada tepat di depan panitia daftar ulang PD pasarjaya.
“KTP sudah, KK aslinya mana pak? “
“Kakak asli..? “ kembali Tanya dengan penuh kebingungan
“Iya K K asli ?!..
“Maaf pak, abdi ini anak pertama, jadi abdi mah ga punya kakak atuh “
Ternyata masalahnya KK (kartu keluarga) bukan Kakak, komunikasi dalam sosialisasi sebuah kebijakan ternyata memiliki peranan penting dan menentukan keberhasilan dari sebuah program kebijakan
*selamat datang kembali di Jakarta salam kebersamaan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H