Di kampungku, orang yang telah naik haji sangat dihormati. Mereka dianggap sudah menunaikan rukun islam yang paripurna. Karena itu para tetanggaku sangat menghargai mereka dan memanggil dengan gelar bu haji atau pak haji.
Ketika aku pulang kampung tahun lalu, emakku bercerita ada salah satu tetangga kami yang baru pulang dari haji. Aku mengenalnya. Dia adalah guru ngaji di surau waktu aku masih kecil. Namanya Pak Dulah.
Dulu yang kutahu pekerjaan Pak Dulah serabutan. Jika musim panen padi tiba dia akan menjadi buruh panen. Bahkan sering dia memborong pekerjaan itu sendirian. Jika bukan musim panen, dia akan menjadi buruh serabutan apa saja asal halal dikerjakan. Walau kondisi ekonomi yang sulit, setiap sore dia selalu hadir di surau untuk mengajari kami mengaji, secara gratis. Sekarang dia telah pergi haji. Sebagai muridnya, tentu aku bahagia sekali mendengar kabar itu. Semoga dia menjadi haji mabrur. Dan sekarang orang-orang memanggilnya bukan lagi Pak Dulah, melainkan Pak Haji Dulah.
Emak sangat antusias menceritakan kembali apa yang didengarnya dari Pak Haji Dulah, tentang ramainya Mekah yang didatangi oleh umat islam dari seluruh penjuru dunia. Juga tentang pengalamannya melihat langsung makam rasulullah. Apalagi saat Emak mendengar Pak Haji Dulah berhasil memeluk Ka'bah dan mencium Hajar Aswad, Emak langsung membayangkan seandainya dirinya sendiri yang menjadi orang beruntung itu.
"Alangkah bahagianya aku, nak, bisa mencium Hajar Aswad, rasanya itu seperti hidup sudah tidak ada lagi penyesalan," kata Emak sambil mengkhayal. "Bayangkan itu, hidup tanpa penyesalan, setiap hari emakmu ini akan tersenyum sumringah."
Sejak itu Emak mulai sering mengutarakan keinginannya untuk bisa datang ke tanah suci. Tiap kali berbincang-bincang, yang dibahas Emak tak jauh-jauh dari impiannya berhaji. Bahkan saat sedang membuat sambel korek kesukaanku, Emak menyebut bahwa sebentar lagi akan berangkat haji.
"Tahun depan, nak, saatnya berhaji mudah-mudahan emakmu ini akan segera berangkat."
Aku terkejut mendengarnya. Sungguh luar biasa kabar Emak ini. Secara selama yang aku tahu Emak belum pernah mendaftarkan diri pergi haji dan kami bukanlah keluarga kaya yang bisa membeli kursi kuota haji secara mendadak. Tapi melihat cara Emak mengatakannya dengan sangat menakjubkan, meski sambil mengulek cabai, mau tak mau aku penasaran pula.
"Emang sudah daftar haji, Mak?"
"Emang naik haji pake daftar?"
Ajaib sekali Emakku ini. Sebegitu polosnya sampai tak tahu jika ingin berhaji mesti daftar dulu.