Mohon tunggu...
Pendekar Syair Berdarah
Pendekar Syair Berdarah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jancuker's, Penutur Basa Ngapak Tegalan, Cinta Wayang, Lebih Cinta Keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Leave This Page!

12 September 2012   13:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:34 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image from cikgukampongan.blogspot.com

[caption id="" align="alignnone" width="377" caption="image from cikgukampongan.blogspot.com"][/caption]

Aku seserpih luka...!

Panggil saja aku nafas putih, sepatah kata tanpa suara yang tersembunyi didalam madah angkara. Aku hanya nafas putih, kalimat yang belum terucap. Jika saja semuanya menjadi tak mudah aku hanya ingin kembali pada lenguh lembah biru, tenggelam dalam samudra kasih, sampai hilang nafas dari ragaku, dan lenyap nyawa dari jiwaku. Kemudian, ragaku yang kosong ditimang sejuta bintang dengan senyum kemenangan aku akan tenang terbaring diatas haribaanmu.

Kini, saksikanlah dimana senjaku menguntai semua rindu, dan resah hanya ada kidung maskumambang yang menjelma menjadi seorang gadis, ya gadis... gadis senjaku, senja nan lalu.

Dulu aku ingin sekali menjadi mirat muda yang selalu tak habis perbendaharaan katanya untuk mengidung dan membasuh kandil-nya dengan ribu pantun, dan juta puisi. Tapi, kini aku cukup bahagia menjadi kata yang terucapmu, aku yang hilang tetapi tidak mati, aku yang seperti pergi tapi selalu disisi.

Tapi seperti kata mbah rendra "perjuangan sebenarnya adalah pelaksanaan dari apa yang kita katakan" hemmmm... aku merasa tak mampu bahkan tak bisa untuk melakukan, melakukan, dan melakukan apa yang aku katakan. Dari sinilah aku merasa berbangga menjadi kata yang terucapmu, aku yang hilang tetapi tidak mati, aku yang seperti pergi tapi selalu disisi.

Ooo... Leave this page... sayangnya ini bukan kota mati, jika saja keinginan manusia-manusia terlukis mungkin aku akan memilih dilukis dengan berbaring dibawah rindangnya pohon waru dipinggir sungai pemali nan agung, menghisap dalam rokoku dan membaca sajak terakhirku.

"Aku suka terpenjara

Dalam gelap dalam bingar derita Jauh dari fata dekat pada morgana-Nya Usai bagiku hingar rona cinta Bersama kepergian ayunda … Diamku adalah sebuah harga kehilanganmu Sendiri adalah nisan penghormatan pada cinta agungmu Segalanya terasa disini berharganya dirimu Saat tiada dirimu, meruap semua nilaimu

Demi-Nya pemilik nyawa Aku gembira bersama derita Bagiku sempurna semua angkara Menunggu-Nya menyudahi semua

Tenanglah bersamanya yang tak akan memeranaimu Terbanglah bersamanya yang tak akan melukaimu Reguk habis anggurnya, anggur yang tak pernah bisa kuberikan padamu Bagimu kebahagiaanmu, bagiku senyum pedihku"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun