Pengantar
Menurut riset OCBC Indonesia dalam Business Fitness Index pada tahun 2023, 80% pelaku usaha Indonesia masih melakukan pencatatan keuangan dan stok usaha mereka secara manual.
Dikutip dari riset OCBC di atas, menunjukkan bahwa tingkat pengelolaan keuangan UMKM untuk ukuran laporan akuntansi yang sesuai masih sangat rendah sekali.
Padahal, di dalam ilmu akuntansi banyak sekali indikator yang bisa digunakan. Indikator-indikator tersebut misalnya evaluasi posisi keuangan dan kinerja keuangan agar sang owner bisa memutuskan strategi yang perlu dilakukan untuk bisnisnya.
Penulis, mencoba untuk menyelami, kira-kira apa yang menyebabkan hal itu terjadi? Apakah karena literasi digital yang kurang? Apakah UMKM untuk tetap survive saja begitu susah payah sehigga tidak sampai memikirkan penjagaan keuangan? Atau UMKM-UMKM ini bekerja tanpa adanya suatu tolak ukur ilmu pengetahuan, asal jalan lalu rugi dan gulung tikar? Atau apa kendalanya?
Sebab-sebab UMKM kurang aware teknologi digital dan ilmu pendukungnya
Paparan Tempo.co, setidaknya memberikan gambaran sebab-sebabnya. Bagaimana kondisi di atas terjadi sehingga perlu inovasi dan upaya untuk menyadarkan para pelaku UMKM akan pentingnya teknologi digital untuk mengembangkan bisnisnya dan bahkan untuk mempertahankan bisnisnya.
Yang membuat penulis tercengang mengenai kondisi UMKM di Indonesia, menurut laporan tempo pada isi link tersebut di atas, adalah:
1. Mereka mayoritas tidak tahu cara menggunakan teknologi digital.
Sesungguhnya dari 835 usaha yang diwawancari tersebut 2/3 nya sudah paham pentingnya digital dalam mengembangkan bisnis mereka namun kebanyakan dari mereka yang menggunakan perangkat digital tidak mampu untuk memaksimalkan fitur-fitur dari teknologi tersebut.
Dari 835 usaha kecil yang diwawancarai, dua pertiga di antaranya telah menggunakan perangkat digital. Sebanyak 46 persen mencatat penggunaan platform e-commerce dan 34 persen menggunakan e-wallet atau bank digital.
Sebanyak 81 persen dari wirausahawan tersebut menyadari pentingnya perangkat digital untuk pertumbuhan bisnis mereka. Hanya saja, mereka terbentur kurangnya literasi untuk menggunakan perangkat tersebut secara maksimal
Sementara itu, 64 persen lagi tidak mengetahui perangkat mana yang cocok untuk kebutuhan spesifik mereka.
Kendala tingkat selanjutnya adalah: dari 2/3 tersebut, 64 percent dari mereka juga tidak tau jenis teknologi dengan spesifikasi yang seperti apa yang bisa menunjang keperluan bisnisnya saat ini.
Jika didetailkan, terdapat 835 wirausahawan, sebanyak 535 wirausahawan tidak mengerti bagaimana mengoptimalkan fitur teknologi digitalnya dan dan 300 sisanya memahaminya. Sedankan dari 535 tersebut 343 tidak memahami teknologi digital apa yang pas untuk bentuk usahanya.
Teknologi digital memang banyak variannya dan dewasa ini perkembangannya sangat pesat sekali. Karena hal tersebut diduga membuat UMKM tidak bisa mengikuti perkembangan yang massif tersebut.
2. UMKM di Indonesia mengalami kesulitan akses dalam dukungan Usaha.
Pelatihan dukungan usaha meliputi, pelatihan managemen keuangan, digital marketing, pelatihan pengembangan usaha, dan managemen SDM.
Walaupun di laporan Tempo.co di atas antara nomer 1 dan nomor 2 tidak berkaitan secara langsung, namun pada aspek pemahaman literasi digital juga membutuhkan point nomor 2, teknologi digital, khususnya yang berhubungan dengan sistem diadopsi dari ilmu-ilmu terkait seperti ilmu pengaturan keuangan, ilmu managemen SDM, dan ilmu-ilmu lainnya. Tanpa hal itu teknologi digital bukanlah teknologi untuk manusia.
Dari paparan data di atas, sekiranya para pelaku usaha di bidang digital (developer web,aplikasi, dan IoT), lebih memikirkan untuk aspek pengajaran secara praktis kepada UMKM.
Contohnya misal mengoptimalkan youtube untuk menyampaikan tutorial penggunaanya, turun ke lapangan untuk mendemokan alatnya agar terpahami dengan baik fitur-fiturnya.
Semestinya pelaku developer teknologi digital bisa bekerja sama dengan perangkat desa sampai ke tingkat kecamatan untuk mempresentasikan produk UMKMnya ke mereka agar fitur-fitur teknologinya bisa ada feedback (penyempurnaan) sampai pada tataran penggunaan yang user friendly.
Selain itu menurut paparan di atas, mahalnya teknologi digital untuk keperluan usaha mereka menjadi suatu kendala tersendiri untuk meyakinkan UMKM. Istilah penulis orang tidak bisa menggunakannya, walau diberi harga murah sekalipun mereka tidak akan mau menggunakan. Apalagi jika teknologi digital tersebut harganya mahal, tentunya akan semakin membebani UMKM.
Tapi pertanyaannya, apakah developer digital tersebut keuangannya juga stabil sehingga memiliki kesanggupan untuk menjalankan program di atas? Hehehe. Kalau dalam Bahasa jawa “Podo dhene sakjane (sama saja sebenarnya)”.
Apabila diurutkan menurut jenis pelatihan yang diminati oleh UMKM menurut data di atas adalah:
Jika diibaratkan dalam sepak bola, ilmu menyerang dan ilmu penjagaannya ini sangat kurang.
Faktor kendala ketiga adalah minimnya minat atau keinginan UMKM untuk mengambil kredit.
3. Pelaku usaha UMKM enggan untuk mengambil kredit usaha.
Factor terbesar adalah karena: sulitnya pengajuan yang dirasakan oleh UMKM, kedua adalah agunan yang dimiliki dan yang ketiga adalah informasi-informasi terkait produk pinjaman yang tidak diketahui oleh UMKM. Dari alasan-alasan di atas UMKM lebih memilih usaha dengan pembiayaan sendiri.
Penulis adalah praktisi digital untuk UMKM dalam bidang pengelolaan keuangan dan akuntansi untuk UMKM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H