Setelah sekian lama saya tidak menulis di forum kompasiana, namun kali ini saya memaksakan untuk menulis. Meskipun  ditengah kesibukan kegiatan sehari-hari saya mulai dari mengajar di sekolah hingga beberapa pekerjaan tambahan yang saya emban diluar pekerjaan saya sebagai guru.Â
Kali ini saya ingin mencurahkan segenap pemikiran saya atas  kegelisahan saya sebagai seorang guru mengenai bagaimana sistem pendidikan di Indonesia yang terkesan jalan di tempat.
Sudah 74 tahun negara tercinta ini merdeka namun masih saja permasalahan pendidikan tidak tuntas-tuntas. Pemikiran saya ini muncul karena juga hasil diskusi saya dengan beberapa rekan  satu profesi saya, dimana dalam diskusi tersebut mempertanyakan "Mengapa pendidikan kita jalan ditempat". Berikut ini adalah hasil analisis warung kopi saya dalam menjawab pertanyaan "mengapa pendidikan kita jalan di tempat?".
1. Distribusi guru tidak merata
Saya tidak pernah habis pikir mengenai data yang disampaikan oleh pemerintah yang mengatakan bahwa rasio antara guru dan siswa di Indonesia adalah 1:16, artinya 1 orang guru mengampu 16 siswa.Â
Menurut saya ini adalah jumlah yang sangat ideal bagi seorang guru dengan mengajar 16 Â siswa dalam satu kelas. Namun fakta di lapangan masih banyak sekolah khusunya di daerah yang terpencil atau daerah bukan kota masih kekurangan guru.
Ada beberapa sekolah yang tidak memiliki guru yang mengajar sesuai dengan bidang pendidikannya. Bahkan ada sekolah yang gurunya hanya 3 orang ditambah dengan tenaga tata usaha. Kadang juga dalam suatu sekolah yang penah saya saksikan sendiri seorang tenaga Tata Usaha mengajar di kelas karena memang jumlah guru di sekolah tersebut masih sangat kurang.Â
Namun ironi sekali jika kita melihat jumlah guru yang ada di sekolah daerah perkotaan  yang sangat banyak. Bahkan ada sekolah dimana gurunya yang mengajar dalam satu minggu tidak sampai 24 jam. Hal ini dikarenakan jumlah guru yang mengampu mata pelajaran tertentu melebihi kebutuhan sekolah.Â
Jika demikian maka dapat disimpulkan lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengatur distribusi guru di Indonesia belum bekerja sebagaimana mestinya. Atau bisa juga disebakan masih banyaknya konflik kepentingan dalam distribusi guru.
 Secara data seharunya guru di Indonesia sudah sangat cukup jika dibandingkan dengan negara Korea Selatan yang memiliki rasio guru dan murid 1:50. Tentu ini menjadi salah satu hambatan yang membuat pendidikan di Indonesia untuk maju.
2. Banyak sekali prodak hukum dalam sistem pendidikan yang tidak tersosialisaikan dan pelaksanaanya tidak diawasi
Jika dilihat banyak sekali peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh lembaga yang berwenang dalam dunia pendidikan mulai dari level Undang-Udang, peraturan pemerintah, peraturan menteri sampai dengan surat edaran menteri yang mengatur tentang tata kelola pendidikan di Indonesia.Â
Namun sayang sekali pelaksanaan aturan tersebut masih lemah. Hal ini terkesan aturan hanya di buat saja namun tanpa tindak lanjut yang pasti. Kadang juga aturan ini sudah di buat pada level pusat namun pihak pemerintah daerah engga menjalankan anturan tersebut. Sebagai contoh kebijakan menteri pendidikan mengenai merdeka belajar dimana salah satu kebijakan menteri tersebut adalah menyederhanakan bentuk RPP (Renca Pelaksanaan Pembelajaran) yang dituangkan dalam surat Edaran Mendikbud Nomor 14 Tahun 2019.Â
Meskipun sudah terbit surat edaran agar RPP disederhanakan masih saja ada pengawas yang memaksa para guru untuk membuat RPP dengan format lama yang cenderung lebih kompleks. Ini adalah salah satu contoh kecil bagaimana peraturan tersebut tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Padahal peraturan tersebut sudah sangat baik menurut saya sebagai seorang guru. Â Contoh lain dari lemahnya pengawasan terhadap implementasi terhadap Peraturan yang mengatur pendidikan adalah implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.Â
Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tenatang berbagai aspek yang relevan dalam pelaksanan sistem pendidikan nasional  dan itu harus dipenuhi oleh penyelenggara atau satian pendidikan di seluruh wilayah hukum Indonesia. Namun faktanya jauh panggang dari api, banyak sekolah di berbagai daerah yang belum bisa memenuhi kriteria minimal tersebut.
Sebagai contoh banyak sekolah yang belum memenuhi standar Tenaga Kependidikan, dimana dalam aturan tersebut bahwa sekolah minimal harus memiliki Tenaga Kependidikan meliputi kepala sekolah/madrasah, pengawas satuan pendidikan, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, teknisi, pengelola kelompok belajar, pamong belajar, dan tenaga kebersihan.
3. Reward dan punisment yang tidak berjalan
Menurut pemahaman saya sangat jarang guru-guru yang memiliki kinerja baik di sekolah diberikan penghargaan yang selayaknya dan jarang juga guru yang tidak menjalankan tugas tidak diberikan sangksi. Ini adalah salah satu alasan kenapa kinerja guru menjadi tidak maksimal. Karena tidak adanya reward and punishmnet  yang diberikan kepada guru.Â
Jika saja guru yang sudah bekerja dengan baik diberikan penghargaan yang terukur dan guru yang tidak menjalankan tugas dengan baik diberikan sanksi itu dilaksanakan saya yakin guru akan memiliki motivasi dalam menjalankan tugas dengan baik. Kadang kala dalam sebuah sekolah ada guru yang sudah baik dan bekerja dengan dispilin, namun lingkungan sekolah tidak memberikan apresiasi apapun dan guru yang tidak bekerja dengan baik juga tidak diberikan sanksi. Maka ini akan mempengaruhi guru tersebut untuk tidak bekerja secara optimal karena merasa sama saja antara yang memiliki kinerja baik dan tidak baik.
4. Orang-orang bekerja sebagai profesi guru bukan orang-orang terbaik
Tidak bisa dipungkiri mahasiswa calon guru sebagian besar bukan orang-orang yang terbaik. Hal ini dikarenakan sebagian besar masiswa calon guru adalah mahasiswa yang tidak diterima diberbagai jurusan yang memiliki peminat banyak seperti kedokteran, teknik, hukum dan lain sebagainaya. Artinya jurusan keguruan masih dijadikan pelarian calon mahasiswa.Â
Jika saja anak-anak Indonesia dengan kemampuan yang terbaik mau menjadi guru atau mengambil jurusan guru maka saya yakin akan banyak melahirkan guru-guru yang hebat.Â
Saya belum pernah melihat anak yang memenangkan Olimpiade Sains di tingkat Internasional  setelah lulus SMA mengambil jurusan keguruan. Dari beberapa yang saya baca mereka yang pernah memperoleh mendali lebih memilih berkuliah di jurusan lain seperti kedokteran dan teknik. Jika saja calon guru di Indonesia adalah orang-orang yang terbaik saya yakin kemajuan pendidikan di Indonesia akan segera terwujud.
5. Gaji Guru yang rendah
Salah satu alasan seseorang memilih profesi tertentu adalah jaminan kehidupannya. Saat ini profesi guru adalah profesi yang belum bisa menyamai profesi-profesi lain dalam hal jaminan kehidupannya. Ada banyak kasus sarjana lulusan guru yang bekerja bukan sebagai guru karena dianggap gaji guru sangat rendah.Â
Gaji guru yang rendah dikarenakan keterbatasan kemampuan negera dalam menggaji guru atau bisa juga dikarenakan kebijakan pemerintah yang memang belum berpihak terhadap guru. Gaji guru di Indonesia masih kalah dengan gaji guru dibarbagai negara lain. Berdasakan informasi dari Detik finance gaji guru di Luksemburg untuk guru SD mencapai Rp 146 juta  perbulan, di Swis gaji guru mencapai Rp 1,2 miliar/tahun atau sekitar Rp 101 juta per bulan.Â
Bisa dibayangkan gaji guru di Indonesia yang berstatus honorer berkisar Rp 200 ribu 700 ribu perbulan dan untuk guru PNS tertinggi dengan asumsi golongan IVe sebesar Rp 5.901.200 per bulan.Â
Anda perlu tahu bahwa guru PNS agar sampai ke golongan IVe minimal memiliki masa kerja sekitar 35 tahun dan ditambah lagi dengan syarat yang sangat banyak untuk sampai pada jenjang pangkat tersebut. Bisa dibandingkan betapa jauhnya penghasilan guru di Indonesia dengan berbagai negera lain. Mungkin hal ini yang membuat profesi guru belum terlalu dilirik oleh sebagian besar orang Indonesia karena gaji yang sangat rendah.
6. Mekanisme seleksi guru yang digabungkan dengan profesi lain.
Seleksi guru PNS di Indonesia belum dipisah dengan profsi yang lain. Hal ini membuat dari hasil tersebut tidak menghasilkan guru-guru yang diinginkan. Dibanyak daerah seleksi PNS guru hanya ditentukan dengan menjawab soal Potensi Akademik Dasar, wawasan kebangsaan, serta pertanyaan seputar materi yang diajarkan dan bagaimana cara mengajar. Â
Secara garis besar semua didasarkan hanya pada kemampuan teoritis. Calon guru tidak diuji skill mereka dalam mengajar. Jadi belum tentu guru yang bisa menjawab soal dengan baik memiliki kemampuan mengajar dengan baik. Guru juga tidak diperiksa kejiwaannya serta rekam jejak keperibadiannya sehingga ada banyak kasus guru-guru melakukan tindakan asusila. Hal tersebut terjadi dikarenakan filter menjadi seorang guru tidak berjalan dengan ketat.
7. Kesadaran Pejabat  untuk berinvetasi di bidang pendidikan masih kurang
Pendidikan bukan hal yang menguntungkan dari sudut pandang potik jika dibandingkan dengan sektor yang lain seperti infrastruktur dan ekonomi. Hal ini membuat para politisi tidak begitu menaruh perhatian yang besar dibandingkan dengan bidang infrastruktur dan bantuan tunai yang disalurkan kepada masnyarakat secara langsung. Karena jika seorang pemimpin hanya terfokus dalam bidang pendidikan secara besar-besaran dan anggara yang dia kelolah difokuskan ke bidang pendidikan maka ini akan tidak bisa dilihat langsung oleh masnyarakat. Karena dampak dari pendidikan baru akan terlihat 10 sampau 15 tahun kemudian. Berbeda dengan infrstruktur yang langsung dapat dilihat oleh masyarakat. Hal ini yang membuat pendidikan tidak dijadikan agenda utama setiap orang yang menduduki jabatan politik baik.Â
Demikian yang saya uraikan merupakan hasil dari pemikiran seseorang yang awam. Saya sangat menyadari apa yang saya sampaikan belum tentu sepenuhnya benar. Karena apa yang saya sampaikan bukan dari kajian secara akademis. Tulisan ini hanya berasal dari pemikiran dan hasil diskusi saya ketika nongkrong  di warung kopi.  JIka yang saya tulis ini salah mohon koreksi dari yang membaca tulisan ini. Saya sangat terbuka terhadap apa yang saya tulis. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H