Kemarin, Sabtu 7 Maret 2015, unit kegiatan mahasiswa yang saya ikuti, PSTK ITB (Perkumpulan Seni Tari dan Karawitan ITB) memperingati ulang tahunnya yang ke-44 dengan menggelar pementasan wayang kulit yang direncanakan digelar semalam suntuk sebagaimana umumnya pementasan wayang kulit di Indonesia.
Semuanya sudah disiapkan jauh-jauh hari, susunan acara, logistik, konsumsi, perizinan, publikasi. Kami semua panitia punya harapan besar agar acara ini dapat berjalan sukses dan sebagaimana mestinya pementasan wayang kulit, berlangsung hingga lakon (cerita) yang dibawakan selesai. Alumni PSTK, yang pada acara ini berperan sebagai pemain gamelan (alat musik), sinden, dan dalang, juga sudah berlatih jauh-jauh hari demi pementasan ini, bahkan ada yang rela pulang-pergi Jakarta-Bandung di sela-sela kesibukannya, demi mengikuti latihan jelang pementasan ini. Awalnya semuanya berjalan lancar, berkat bantuan pembina PSTK, yang kami hormati Bapak Indratmo, pihak kampus sudah mengizinkan kami untuk mengadakan pementasan wayang kulit hingga selesai lakonnya (boleh hingga shubuh), saya dan teman-teman panitia sangat bahagia karena pada pementasan tahun sebelumnya, kami memperoleh SP 1 (Surat Peringatan Pertama) karena mementaskan wayang lewat jam 11 malam, pikir saya, mungkin SP1 keluar karena panitia belum mengurus izin pementasan hingga pagi, maka ketika izin pementasan hingga pagi disetujui oleh Lembaga Kemahasiswaan, kami sangat optimis dengan kesuksesan acara ini.
Tapi, tiba-tiba tepat H-1, kami dikagetkan oleh surat izin yang diberikan oleh pihak kampus, bahwa acara yang kami laksanakan hanya boleh sampai jam 11 malam. Kami yang sudah susah payah menyusun acara bersama alumni, langsung bergerak cepat dengan meminta bantuan Pak Indratmo, pembina PSTK agar dibantu sehingga pementasan wayang dapat digelar hingga selesai (pementasan wayang biasanya selesai sebelum shubuh), pak Indratmo pun langsung menghubungi bapak Rektor, dan meminta agar izin pementasan wayang hingga selesai dikabulkan, bapak Rektor pun mengiyakan, dan menginstruksikan kepada bawahannya agar memberikan izin yang kami minta. Ternyata, instruksi yang diberikan oleh bapak Rektor tidak dilaksanakan oleh jajaran yang berada dibawahnya, entah apa alasannya, izin untuk pementasan wayang hingga selesai tidak diberikan. Dan hal ini baru kami terima kabarnya pada hari dimana acara akan dilaksanakan. Kami panitia tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh jajaran yang berada di bawah bapak Rektor, kami lantas berkoordinasi dengan para alumni yang akan mementaskan wayang, dan setelah melalui pembicaraan yang cukup panjang, akhirnya kami memutuskan, pementasan hanya sampai jam 11 malam, alias tidak selesai lakon wayangnya. Jelas, kami sebagai panitia sangat kecewa, saya pribadi merasa bahwa kampus ini benar-benar kaku terhadap aturan, seolah-olah semuanya bisa dipukul rata, bahwa kalo mahasiswa berkegiatan lebih dari jam 11 malam itu jelek, pihak yang berwenang mengenai perizinan menurut saya pribadi, tidak mempertimbangkan bagaimana seharusnya pertunjukan budaya itu sendiri dilaksanakan, mereka begitu strict, jobdesc oriented, dan berkacamata kuda. Mereka lupa, bahwa kampus ini juga memiliki visi-misi di bidang seni, berikut ini kutipan misi ITB yang tercantum dengan jelas di website ITB :
Menciptakan, berbagi dan menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan kemanusiaan serta menghasilkan sumber daya insani yang unggul untuk menjadikan Indonesia dan dunia lebih baik
Terpampang sangat jelas, bahwa ITB ingin berbagi dan menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni. Maka jangan salahkan saya ketika saya menganggap pihak yang berwenang di bidang perizinan mengabaikan misi ITB. Mungkin, pihak yang terkait beranggapan bahwa berbahaya, apabila pulang dini hari, tapi apakah dengan acara selesai jam 11 malam, lantas kami yang selesai menonton wayang ini akan tidak terancam bahaya juga? Apa bedanya kami pulang jam 11 malam, dengan jam 4 pagi? Sama saja. Jam 11 malam pelaku kejahatan juga sudah mulai beraksi. Bukankah lebih bagus jika kami diizinkan selesai pementasan wayang jam 4, kemudian sholat shubuh berjamaah, dan pulang ketika matahari sudah mulai tampak? Ah entahlah, mungkin yang berwenang lebih tahu mana yang lebih baik, mungkin juga yang berwenang lebih tahu kalau yang namanya wayang kulit itu selesainya jam 2 dinihari, tahu apa saya ini, saya masih mahasiswa bau kencur.
Permasalahan selesai pementasan maksimal jam 11 malam ini sempat disindir oleh alumni kami, mereka tak habis pikir, bagaimana mungkin, orang-orang yang nguri-uri (melestarikan) budaya luhur warisan nenek moyang, diberikan ruang gerak yang sempit, dan serba dibatasi. Padahal wayang kulit adalah warisan budaya yang sudah diakui dunia (UNESCO). Sebegitu acuhkah pimpinan kampus ini pada kebudayaan? Wajah-wajah kecewa yang saya tangkap ketika mereka akhirnya terpaksa mengakhiri pementasan ketika lakon wayang masih jauh dari kata selesai. Semuanya kecewa, panitia kecewa, alumni kecewa, penonton kecewa. Padahal acara ini juga ditonton oleh orang luar ITB, bukan hanya mahasiswa ITB dan juga alumninya.
Disinilah, saya melihat terkadang niat baik pihak kampus dalam menjaga keselamatan dan keamanan mahasiswanya, justru berubah menjadi seperti orang tua yang over-protektif terhadap anak remajanya. Semuanya dibatasi. Pihak kampus kurang bisa memilah, mana kegiatan yang dalam kasus insidental boleh diberikan waktu di atas jam 11 malam. Semuanya pukul rata harus selesai jam 11 malam. Padahal, sejak jaman Sunan Kalijaga masih jadi dalang hingga sekarang, yang namanya wayang kulit pasti semalam suntuk, kemudian ketika selesai lanjut sholat Shubuh. Maka, saya menjadi teringat apa yang dikatakan oleh pak Indratmo, yang intinya begini, "yaa kalo pejabate ora tau nonton wayang (pejabatnya tidak pernah nonton wayang), jadinya ya seperti ini, wayang kulit jam 11 malam, yang namanya pagelaran wayang kulit ya semalam suntuk, kalo cuma sampe jam 11, bukan wayang kulit namanya". Kutipan tadi bagi saya mempunyai makna yang sangat dalam apabila dikaitkan dengan budaya, seolah ingin menyampaikan bahwa, kalau pemimpin tidak mengenal budaya, ya seperti itu jadinya, serba kaku dan saklek pada setiap hal.
Pada akhirnya, apa yang saya sampaikan ini hanyalah ungkapan isi kepala saya yang saya tidak tahu lagi kemana harus saya sampaikan, semoga bisa menjadi pertimbangan bagi beliau-beliau yang duduk di kursi pemimpin, semoga kedepannya dapat lebih peduli lagi terhadap kebudayaan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H