Mohon tunggu...
Sis Top515
Sis Top515 Mohon Tunggu... karyawan swasta -

biasa di panggil sistop

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Profit Margin Pasien BPJS vs Umum

26 Desember 2016   09:08 Diperbarui: 26 Desember 2016   09:20 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Malam itu pukul 00.25 untuk kesekian kali anak saya Luqman muntah sehabis minum dan atau makan. Sorenya telah di bawa ke klinik deket rumah dan di sarankan oleh si empunya klinik jika besok masih muntah atau malah di sertai diare silakan di bawa ke faskes pertama. Sebagai orang awam saya tak paham sakit apa Luqman, lebih dominan khawatir ketika dia menangis lemas sambil memuntahkan apa saja isi perutnya dan menurutku lebih banyak yang di muntahkan dari pada yang ia minum atau makan.

Di Sidoarjo, rumah sakit yang jangkauannya kurang dari 20KM dan melayani pasien BPJS hanya ada 2 pertama RSUD Sidoarjo dan kedua sebut saja RS SH. Berbekal KIS (kartu Indinesia sehat) yang sebulan lalu saya dapat dari kantor sebagai pengalihan system reimburse / claim biaya berobat karyawan, saya datangi IGD RS SH. Setelah di Tanya keluahannya apa dan di jelaskan istri dengan rinci, lalu di beri obat dan di observasi selama 30 menit kedepan. 30 menit berlalu anakku tambah parah muntahnya, oleh dokter jaga saya di suruh daftar dan pesen kamar ke ruang pendaftaran. 

Dengan lembut dan pelan ku ketuk kaca R pendaftaran yang petugasnya tidur cukup pulas. Dengan agak malas terbangun untuk melayani pendaftaran muka judes dan seolah menatap remeh padaku yang menenteng KIS atas nama anakku dia beberapakali mencet tombol telpon menghubungi entah siapa. Bagai di sengat listrik badan yang sudah lemas lagi ngantuk ini mesti menahan emosi kala dia bilang tak ada kamar kosong kelas 1 sampai ruang VIP. 

Memang tidak bisa di jadikan ukuran kalau parkiran sepi tak lebih dari 5 mobil dan belasan motor rumah sakit segede 2x lapangan bola itu kamarnya penuh. Sambil wira-wiri dari R pendaftaran dan IGD karena anak saya masih muntah-muntah saya mengambil surat rujukan ke RSUD. Saya tidak tau SOP di IGD apakah setelah di nyatakan harus rawat inap tugas mereka selesai, pasalnya melihat anak saya muntah2 mereka duduk santai ngobrol sambil bertanya muntah to? tanpa ada keinginan untuk membantu saya dan istri menangani muntahan anak saya yang cukup banyak. Dalam hati berucap dengkulmu mlocot, emang mata mu di taruh di dengkul.

Bergegas kugendong Luqman anakku ke parkiran menuju ke RSUD, sampai parkiran RSUD hati ini makin khawatir karena hampir tak ada tempat parkir kosong seperti di RS SH tadi. Tambah panic ketika di IGD ramai seperti pasar kaget, ternyata banyak pasien terpaksa di rawat di IGD karena RSUD sudah penuh. Tanpa di sertai alasanpun aku sudah mafum karena terlihat kasat mata begitu banyak pasien yang terlantar karena ruang tidak mencukupi namun demikian pasien tetap di berikan pertolongan alakadarnya.

Setengah bingung saya bertanya dalam hati harus kubawa kemana lagi KIS yang di berikan perusahaan tempatku bekerja ini agar anakku bisa berobat. Saya bukan WNI yg mendapat KIS Cuma-Cuma dari pemerintah karena di anggap miskin walau nyatanya juga tidak kaya. Dengan perasan keringat kerja gaji ku di potong untuk dapat memiliki KIS ini. Sebagai WNI tiap bulanpun gaji dipotong pph, walau tak sebesar pph direktur BPJS setidaknya 5% dari gaji bisa membantu pemerintah membuat jalan lintas provinsi, jalan tol dan lain-lain cielah lebay. 

Bayangkan setidaknya 5% untuk pajak penghasilan dan 4% untuk BPJS kesehatan, ketenagakerjaan dan JHT ku keluarkan rutin tiap bulan tetapi tidak mampu memberikan pelayanan kesehatan untuk anakku yang ganteng dan gemesin Luqman Hakim Arianto. Padahal hanya dengan 2,5% saja dari penghasilan saya sudah mampu membangun jalan menuju surga, bayangkan man, surga dan dunia ini terpaut berapa KM dan bandingkan dengan jarak tol laut yang sudah di bangun pemerintah. Lagi emosi 

Untuk apa membangun jalan trans jawa-sumatra, jalan tol yang menghubungkan seluruh kota di Indonesia kalau biaya angkut solo – Sulawesi lebih mahal dari pada solo-filipina? Untuk apa membangun tol laut kalau biaya pengiriman solo-australia lebih murah dari pada solo-balikpapan? Untuk apa coba?

Saya tidak tau kenapa seluruh WNI di wajibkan ikut program BPJS tetapi tidak semua RS di wajibkan melayani Pasien BPJS? Saya juga tidak tau kenapa sebagai pasien BPJS yang setiap bulan bayar iuran tidak bisa di layani RS. Apa saya harus daftar asuransi? Dimana para agennya memberikan ancaman yang sangat sadis. Gimana tidak sadis kalau saat menawarkan asuransi akan bilang bayangkan kalau bapak mati, siapa yang akan membiayai sekolah anak dan menafkai istri, nampaknya agen ini kurang mikir kalau kita mati boro2 ingat anak istri mengahadapi malaikat agar tidak di siksa kubur aja belum tentu sanggup. Sebagai orang tua saya lebih khawatir saat mati anak saya belum mengenal tuhan Allah dari pada dia tak punya asuransi, saya lebih takut anak saya melakukan kesyirikan dari pada hidup tenang dengan asuransi tapi tidak tau cara beriman akan qodho dan qodar Allah.

Kembali ke BPJS, konon setengah milyar lebih gaji direktur BPJS masa iya gaji segitu tidak bisa membangun system agar RS bisa menyajikan informasi terbuka jumlah kamar dan pasien di RS dengan satu pencet tombol. Padahal kita tahu tidak ada RS yang masih membuka pendaftaran pasien dengan di tulis di buku besar seperti buku arisan, dan tidak ada rumah sakit yang tidak memiliki coneksi internet. Di solo ada HYPERLINK, lamn itu yang akan membuat RS tidak bisa lagi menutupi kapasitas pasien.

Ini kejadian nyata, saya sedang tidak berandai-andai kalau KIS saya terpaksa tidak bisa di pakai berobat dengan alasan kapasitas RS penuh. Saiki aku kudu piye wes? Suruh ikut BPJS saya ikut, suruh bayar pajak saya bayar. Terakhir mau kasih saran ke CEO bpjs yang di gaji setengah triliun, beri kami data dan informasi setidaknya per kabupaten berapa peserta KIS terdaftar dan berapa kapasitas faskes 1 maupun lanjutan. Kalau ada kesenjangan antara jumlah peserta dan fasilitas yang ada tentu akan memudahkan peserta KIS. Lalu sebagai CEO jgn nongkrong doang pikirin nasib peserta KIS yang tak bisa dapat pelayanan padahal sudah bayar iuran.

Disisi lain saya punya pengalaman dengan KIS orang tua saya, menjadi peserta mandiri KIS dan membayar iuran sekitar 80.000 sebulan pelayanan rumah sakit begitu baik, tidak pernah di tolak kalaupun ada biaya tambahan akan di sampaikan di depan dan di sertai kwitansi yang sangat wajar. Itu terjadi di kabupaten sragen yang hampir semua rs melayani pasien peserta KIS. Saya tidak tau siapa bupati sidoarjo dan siapa bupati sragen dan apakah mereka berperan dalam menjembatani BPJS – Rumah sakit – dan pasien peserta KIS. Atau semua sudah takdir wallahu alam

Agar nyambung dengan judul, menurut temen yang seorang dokter di rsud kota kecil bahwa setiap ada pasien bpjs dia hanya boleh claim ke bpjs sebesar 30.000 itu sudah termasuk obat, biaya peralatan rs dan konsultasi dokter sedangkan pasien umum/tanpa kartu KIS untuk dokter aja bisa 30.000. dengan profit margin seperti itu apa rs tidak akan memilih pasien umum daripada peserta KIS?

Adi soemarmo airport 26/12/16

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun