Mohon tunggu...
Sismanu Sutrisno
Sismanu Sutrisno Mohon Tunggu... -

Pemerhati masalah sosial kemasyarakatan. Senang menulis dan berorganisasi.\r\n \r\n\r\nPemrakarsa/Pendiri ormas berbasis Ketua RT/RW. \r\nKetum Ikatan Ketua RW Jakarta. 2007 sampai sekarang. \r\nPendiri/Anggota Presidium Nasional FOKAN (Forum Organisasi Kemasyarakatan Anti Narkoba Nasional) Didirikan dan Dibina Badan Narkotika Nasional (BNN).\r\n\r\n\r\n“Mudah-mudahan Kompasiana menjadi tempat berinspirasi untuk menyalurkan aspirasi”

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sismanu : Kantor RW Tanggung Jawab Siapa?

17 Desember 2013   23:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:48 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta Ibukota Republik Indonesia, merupakan Provinsi terkecil diantara 33 Provinsi lainnya di Indonesia (664 Km2.) Meskipun Provinsi terkecil, tapi memiliki APBD paling tinggi diantara Provinsi lainnya yaitu sebesar 50 Trilyun lebih.

Sebanyak 265 Kelurahan yang ada di DKI Jakarta, setiap Kelurahan mendapatkan Alokasi Anggaran Pembangunan plus Uang Operasional RT/RW berkisar 3,5 – 5 Milyar (tergantung jumlah RT/RW). Sedangkan 44 Kecamatan mendapat Alokasi Anggaran antara 3.5 - 4 Milyar setiap Kecamatan.

Gedung Pemerintahan dari mulai Gubernuran, DPRD, Walikota dibangun bak Gedung Pencakar Langit. Kantor Kecamatan dibangun sekelas Gedung Walikota/Kantor Bupati untuk ukuran di Daerah. Puluhan Kantor Kelurahan yang berlantai dua setiap tahunnya dirobohkan untuk dibangun kembali menjadi 3 lantai dengan arsitektur terkini. Namun demikian, kemegahan Kantor Pemerintahan yang dibangun dari Dana APBD tersebut, tidak mencerminkan rasa keadilan jika dibandingkan dengan 2700 RW yang ada di Provinsi DKI Jakarta yang sama-sama melakukan pelayanan kepada masyarakat untuk kepentingan Pemerintah. Keberadaan Kantor RW tidak pernah disentuh lantaran bukan asset Pemprov DKI Jakarta.

Ironis memang, Kantor RW penunjang utama kinerja Pemprov DKI Jakarta, masyarakat dibiarkan membangun, merenovasi dan merawat Kantor RW sendirian. Pemprov DKI Jakarta belum pernah memberikan bantuan sekalipun hanya untuk perbaikan (Kalau ada pasti tidak terbuka untuk umum), kecuali baru beberapa tahun belakangan ini ada bantuan dana hibah Bina Fisik Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK) yang dananya bisa digunakan untuk perbaikan Kantor RW., sedangkan dana dimaksud juga ditunggu masyarakat untuk perbaikan sarana lingkungan lainnya.

Intinya, Kantor RW dilarang dibangun dari dan oleh dana bantuan Pemerintah. Biayanya harus digali dari swadaya masyarakat. Kalau rusak yang memperbaiki harus masyarakat sendiri, termasuk pengadaan sarana pendukung pelayanan masyarakat yang juga tidak boleh diusulkan ke Musrenbang/Rembug RW misalnya: Meja, kursi, lemari arsip, komputer, kipas angin dan lain-lain.

Tujuan Pemerintah membentuk RT/RW salah satunya adalah untuk menciptakan nilai-nilai gotong royong dan keswadayaan masyarakat. Swadaya seharusnya ada batasnya, tidak untuk selamanya seperti halnya Pemerintah Pusat memberikan subsidi kepada rakyat, sebagaimana UUD 45 mengamanahkah “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Kenyataannya?, seluruh subsidi yang seharusnya tetap menjadi hak rakyat Bangsa Indonesia sepanjang Republik Indonesia masih berdiri. Satu persatu dicabut oleh Pemerintah yang sekarang berkuasa. Alasannya karena rakyat dianggap sudah mampu. Padahal rakyat baru dianggap mampu, belum mampu sungguhan.

Pemprov DKI Jakarta harus transparan, kalau sudah mampu jangan diam-diam saja. Apakah dengan APBD Pemprov DKI Jakarta yang setinggi langit tersebut, masih ingin diswadayai masyarakat, termasuk masyarakat miskin?. Apakah Pemprov DKI Jakarta tidak ada niatan melakukan penyudahan swadaya dari masyarakat secara bertahap, khususnya jenis kegiatan yang seharusnya bukan menjadi tanggungjawab masyarakat?.

Jika selama ini masyarakat tidak pernah mengeluh, jangan kemudian dibuat pembiaran. Kalau masyarakat terus tetap berswadaya, karena kurang mengerti batasan swadaya kecuali berpikir positif dan praktis. Misalnya. Daripada menunggu bantuan dari Pemerintah yang tidak kunjung turun, maka pengurus RT/RW berinisiatif mengajak warganya berswadaya. Namun niat baik yang dilakukan masyarakat seringkali disalah artikan oleh Pemerintah dengan melakukan pembiaran. Seakan-akan masyarakat tidak pernah ada masalah dengan swadaya. Memang, Pemerintah tidak punya masalah dengan masyarakat, karena yang berhadapan langsung dengan masyarakat adalah Pengurus RT/RW.

Masyarakat sudah pada pintar dan kritis. Ajakan musyawarah dari Pengurus RT/RW seringkali ditanggapi dengan sinis. Warga sudah pada paham apa yang akan dimusyawarahkan, biasanya tidak jauh dari ucapan para pejabat yang sudah dilatahkan oleh para pengurus RT/RW. Misalnya. “Dari kita untuk kita”, “Dari masyarakat untuk masyarakat”. “Kalau bukan kita, siapa lagi yang membangun kampung kita?” dan lain sebagainya. Sanjungan seperti tersebut diatas sudah tidak jamannya lagi, kesannya masyarakat yang harus bertanggungjawab terhadap lingkungan RT/RW.

Pengurus RT dan RW bukan bawahan atau Perangkat Kelurahan/Kecamatan melainkan mitra. Akan tetapi karena RT/RW masuk dalam sistem Pemerintahan, sehingga seluruh kegiatan yang bersifat pelayanan kepada masyarakat ikut terlibat. Semua kegiatan administrasi yang dikerjakan Kelurahan, surat pengantarnya berasal dari Pengurus RT/RW. Dari mulai surat pengantar kelahiran sampai kematian. Dari surat pernikahan sampai perceraian. Surat pindah dari kampung sampai kembali pindah ke kampung lagi, termasuk surat pengantar keterangan tidak mampu, sampai menjadi mampu dan lain sebagainya.

Pemprov DKI Jakarta jangan hanyacari enaknya saja, giliran swadaya diserahkan masyarakat melalui pengurus RT/RW, giliran ada duitnya diam diam saja, pengurus RT/RW diabaikan, malah membuat “mainan baru” padahal belum tentu semanfaat/setangguh RT/RW.

RT/RW jangan terus menerus dijadikan kamuflase, seakan-akan RT/RW dibentuk hanya untuk membantu/melayani kepentingan masyarakat setempat. Sehingga opini yang terbangun di masyarakat, kesannya RT/RW hanya dibutuhkan masyarakat, maka masyarakat yang harus berterimakasih kepada RT/RW. Padahal sesungguhnya RT/RW dibentuk justru untuk membantu meringankan tugas Pemerintah.

Pengurus RT/RW memberi pelayanan kepada masyarakat 24 jam setiap harinya, sepanjang masa, tidak pernah ada cutinya. Tidak pernah memperoleh honor/uang kehormatan, karena Pengukuhan Pengurus RT/RW berdasarkan SK Gubernur, bukan berdasarkan Perda.

Dengan tetap memberlakukan pengesahan pengurus RT/RW berdasarkan SK Gubernur hingga saat ini, sudah menunjukan bahwa Pemprov DKI Jakarta tidak peka terhadap Pengurus RT/RW yang selama ini tenaganya dimanfaatkan untuk membantu Pemerintah.

Apakah Pengurus RT/RW tidak dianggap penting?, Padahal kalau Pengurus RT/RW tidak melakukan pelayanan kepada masyarakat selama 10 hari saja. Pemprov DKI Jakarta pasti akan panik dan lumpuh.

Jujur, sesungguhnya swadaya yang dilakukan para pengurus RT/RW adalah swadaya yang tidak bisa tergantikan nilainya. Bayangkan Pengurus RT/RW harus siap melayani masyarakat 24 jam setiap hari secara iklas.

Tahun 2014 Pemprov DKI Jakarta mentargetkan APBD sebesar 67 Trilyun. Angka yang sangat fantastis. Lonjakan yang spetakuler kedua setelah tahun sebelumnya dari APBD 36 menjadi 50 Trilyun.

Dengan lonjakan sebesar itu, seharusnya Pemprov DKI Jakarta bisa menyelipkan anggaran untuk Pembangunan/Renovasi Kantor RW yang selama ini masih banyak numpang dirumah warga atau kontrak atau sudah ada tapi baru dibuat seadanya dengan ukuran kecil seperti kandang burung.

Dulu, ketika APBD DKI Jakarta masih kecil, boleh-boleh saja masyarakat dibebani harus membangun kantor RW dan merawat termasuk pengadaan sarana penunjang pelayanan/perlengkapannya. Sekarang Pemprov DKI Jakarta sudah mapan/kaya, mau membuat apa saja bisa. Maka sudah saatnya keberadaan/pembangunan Kantor RW menjadi tanggungjawab Pemprov DKI Jakarta.

Warga yang tidak pernah punya jasa untuk pemerintah saja, dipikirkan/dibuatkan rumah susun dengan sewa sangat murah bahkan gratis. Masak Kantor RW yang telah berjasa bagi Pemprov DKI Jakarta hingga bisa seperti sekarang ini, harus pakai itung-itungan, hanya karena alasan Kantor RW bukan Asset Pemerintah.

Apakah Kantor RW yang selama ini dibuat masyarakat tidak bermanfaat untuk Pemprov DKI Jakarta?. Pemprov DKI Jakarta harus lebih bijak, sebaiknya sebelum melaksanakan Pembangunan rumah susun bagi warga yang tinggalnya dipinggiran kali, terlebih dahulu melakukan pembangunan kantor-kantor RW dimaksud.

Masa iya, urusan negara harus dilayani dirumah warga terus menerus sepanjang masa, rasanya tidak tepat bagi Provinsi yang memiliki APBD begitu besar membiarkan arsip warga berceceran karena sering pindah - pindah tempat setiap kali ada pergantian Ketua RW.

Sedih sekali kalau melihat Kantor RW dibangun nyempil di Emperan-emperan toko dengan ruangan yang pas pasan, hanya bisa untuk menyimpan stempel dan baknya saja. Belum termasuk yang dibangun diatas Got/kali dan lorong lorong kumuh seperti bangunan yang tidak punya nilai atau wibawa dimata masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun