Dewasa ini masyarakat digemparkan oleh kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang marak terjadi di ranah pendidikan. Sekolah seharusnya menjadi tempat dimana para pelajar dapat memperkokoh landasan pendidikan karakter, menjunjung tinggi ilmu dan menjadi tempat eksekusi kreatifitas serta minat bakat para pelajar guna mencapai generasi emas yang didambakan.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melaporkan pada awal bulan Januari hingga Agustus 2024 tercatat delapan kasus kekerasan seksual, sebanyak lima kasus atau 62,5% kasus terjadi di jenjang pendidikan MTs (SMP sederajat) dalam naungan Kementerian Agama dan tiga kasus terjadi di satuan pendidikan berasrama. Sedangkan 37.5% kasus terjadi di jenjang pendidikan dasar di bawah naungan Kementerian Agama.
Sekjen FSGI Dra. Retno Listyarti M.Si mengatakan jumlah korban mencapai 101 anak di bawah umur, dengan sebelas pelaku yang terlibat. Tercatat anak laki-laki merupakan korban terbanyak, yakni 69%, sedangkan 31% sisanya adalah anak perempuan. Dari segi pelaku, 72% adalah guru laki-laki dan 28% adalah murid laki-laki.Â
Sementara itu pada Senin, 30 September 2024 Prof. Dr. Ir. Heru Purnomo, DEA mengatakan peningkatan kasus kekerasan terjadi secara signifikan pada bulan September 2024, yaitu mencapai dua belas kasus, pada akhir September 2024 atau hanya berselang dua bulan saja, FSGI mencatat terjadi lonjakan kasus kekerasan di satuan pendidikan hingga 100% lebih, yaitu dari lima belas kasus menjadi tiga puluh enam kasus.
Pada bulan September kemarin, media massa digemparkan oleh video asusila guru dan murid di Gorontalo. Hal ini merupakan bukti jelas adanya tindakan grooming di ranah pendidikan. Grooming adalah proses manipulasi yang dilakukan oleh pelaku untuk membangun hubungan, kepercayaan, dan kontrol terhadap korban, sering kali dengan tujuan eksploitasi seksual (Dewi, R. K., & Kurniawan, R. F, 2022).Â
Dalam konteks pelecehan seksual, grooming melibatkan pendekatan bertahap yang dimulai dengan membangun kepercayaan dan koneksi emosional dengan korban, sehingga korban merasa akrab dan lebih mudah termanipulasi (Kumparan, 2023).
Sering kali korban pelecehan seksual melakukan budaya diam karena banyaknya stigma yang menyerang. Mirisnya banyak beberapa publikasi media yang tidak sensitif kepada korban, seperti mengulik identitas korban dan menjadikan foto atau video korban sebagai clickbait berita.
 Hal ini membuktikan edukasi mengenai seksual dalam ranah pendidikan tidak merata dan masih dianggap tabu oleh sebagian masyarakat. Banyak masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hak-hak korban sebagai korban pelecehan seksual, serta para korban pelecehan tidak tahu bagaimana cara melaporkan kejadian tersebut atau apa yang bisa dilakukan untuk melindungi diri mereka.
Komnas Perempuan mencatat dari 24.786 kasus kekerasan seksual yang terjadi sepanjang tahun 2016 hingga 2020, kurang dari 30% yang diproses secara hukum. Akibatnya, korban tidak percaya pada sistem hukum yang seharusnya memberikan keadilan bagi mereka.Â
Para korban merasa bahwa laporan mereka tidak akan diambil serius atau pelaku tidak akan dihukum dengan tegas. Korban merasa semakin takut untuk melapor karena merasa bahwa mereka akan dihakimi atau dihina jika mereka melaporkan kejadian tersebut, hal ini disebabkan oleh stigma masyarakat yang beranggapan korban bertanggung jawab atas kejadian yang terjadi padanya.
Untuk mengatasi masalah yang genting ini, penting bagi sekolah, orang tua, dan masyarakat untuk bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi siswa, mengadakan edukasi seksual yang komprehensif secara merata terlepas dari letak geografi sekolah, pengawasan yang ketat, dan sanksi yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual.
Siskya Rahmat
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta program studi Manajemen Pendidikan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H