Mohon tunggu...
Siska IntanPratiwi
Siska IntanPratiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Believe in yourself.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Kasus Ketidakadilan Hukum di Indonesia sebagai Negara Hukum dalam Perspektif Sila ke-5 Pancasila

28 Juni 2022   22:00 Diperbarui: 28 Juni 2022   22:04 1511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Keadilan menjadi elemen utama yang terpenting dalam penyelenggaraan negara hukum yang harus diimplementasikan dan menjadi patokan serta pengarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keadilan dalam hukum menyangkut kepentingan rakyat, negara, serta kekuasaan. 

Di Indonesia, keadilan sosial menjadi nilai yang sakral karena tercantum dalam teks Pancasila yaitu sila ke-5 yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Keadilan sosial bermakna sebuah keadilan yang berlaku untuk masyarakat dalam seluruh aspek kehidupan. Sedangkan ‘seluruh rakyat Indonesia’ merupakan seluruh rakyat yang menjadi warga negara Indonesia, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri Indonesia. 

Jadi, dapat diartikan bahwa “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” merupakan seluruh rakyat Indonesia di manapun ia berada berhak mendapatkan keadilan dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. 

Pada hakikatnya, konsep keadilan sosial yang sebagaimana tercantum dalam sila ke-5 Pancasila terkait erat dengan sikap moral yang mencakup hubungan antarmanusia. Apabila dikaitkan dalam konteks negara hukum memiliki makna atas persamaan derajat, perlindungan hak, serta kesejajaran di mata hukum kepada seluruh komponen warga negara Indonesia.

Persamaan derajat serta kesejajaran dalam hukum mencakup kesamaan individu satu dengan lainnya yang dinyatakan dalam jaminan hak berupa hak asasi manusia. Hukum menyangkut kepentingan dari beberapa belah pihak, diharapkan pihak-pihak tersebut mendapatkan persamaan hak dan derajat agar berada pada posisi yang sejajar di mata hukum. 

Hal ini dimaksudkan bahwa setiap orang tanpa terkecuali memiliki hak yang wajib untuk mendapatkan perlindungan.  

Pada kasus Prita Mulyasari yang divonis hukum akibat tuduhan pencemaran nama baik dan penghinaan, sebenarnya apabila ditinjau dari perspektif keadilan sosial hal ini jelas bertentangan. Berdasarkan hasil dari beberapa sumber terkait kronologi Prita Mulyasari yaitu berawal ketika ia merasakan panas tinggi dan kepala pusing. 

Sehingga pada tanggal 7 Agustus 2008, ia memeriksakan diri di Rumah Sakit OMNI Internasional, Tangerang, Banten. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa Prita positif menderita demam berdarah dengan jumlah thrombosit yang rendah yaitu 27.000 (normal >150.000). 

Namun pada keesokan harinya pihak laboratorium melakukan revisi atas kesalahan jumlah thrombosit yang awalnya 27.000 menjadi 181.000. Pada hari itu juga Prita telah mendapatkan banyak suntikan tanpa diberi tahu jenis dan tujuannya. 

Selang beberapa saat, muncul keanehan pada tubuh Prita yaitu tangan kiri yang membengkak dan tinggi suhu badan mencapai 39 derajat celcius. Tanggal 9 Agustus, dr Hengky mengatakan kepada Prita bahwa dirinya terkena virus udara.

 Tindakan suntik pun terus dilakukan dan Prita sempat mengalami sesak nafas selama 15 menit. Pembengkakan pada beberapa anggota tubuh Prita semakin menjadi serta kondisinya yang semakin memburuk akhirnya Prita dibawa pindah ke rumah sakit lain oleh keluarganya. 

Di sana, Prita ditempatkan pada ruang isolasi karena virus yang ada ditubuhnya dapat menular. Fakta bahwa Prita Mulyasari menderita demam berdarah pun tidak terbukti. 

Atas kejadian pahitnya di RS OMNI Internasioal, Prita menuliskan pengalaman dan keluh kesahnya selama di Rumah Sakit tersebut yang kemudian dikirimnya melalui email pribadinya kepada teman-teman dekatnya.

 Kemudian pesan email ini menyebar di internet yang menyebabkan pihak Rumah Sakit OMNI tidak terima sehingga Prita digugat oleh dr. Hengky (dokter yang menangani Prita) atas gugatan pencemaran nama baik. Secara perdata, Prita dinyatakan kalah dan harus membayar ganti rugi sebesar Rp 161 juta. Secara pidana, Prita dijatuhi hukuman enam bulan penjara dengan masa percobaan selama satu tahun. 

Dalam perspektif keadilan sosial, pihak penegak hukum seharusnya tidak hanya fokus terhadap gugatan namun juga perlu diperhatikan dari sudut pandang Prita sebagai terdakwa yang mengalami kerugian atas kesalahan dari tindakan pihak rumah sakit. Seharusnya Prita dilindungi oleh pasal perlindungan konsumen. 

Bahkan Prita berhak mendapatkan uang kompensasi sebagai ganti rugi atas kesalahan diagnosa dan kejadian-kejadian lainnya yang merugikan pasien. Karena sejatinya hukum harus memenuhi keseimbangan dalam kepentingan.

Hukum di Indonesia lekat dengan sebutan tajam ke atas dan tumpul ke bawah. Sebutan ini memiliki arti bahwa apabila tindak kesalahan dilakukan oleh rakyat kecil, hukum ditegakkan setajam pedang. Namun apabila tindak kesalahan pidana dilakukan oleh pejabat atau petinggi negara yang memiliki kekuasaan dan harta yang melimpah, hukum terkesan tumpul dan lemah bagaikan pedang yang tak pernah diasah. 

Menilik kasus-kasus ketidakadilan yang telah dibahas dapat ditarik kesimpulan bahwa pihak penegak hukum di Indonesia hanya menjalankan praktiknya dengan berpatokan terhadap hukum positivisme tanpa memperhatikan konsep keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang mencakup nilai moralitas kemasyarakatan dan hubungan antarmanusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun