Di tengah era globalisasi, di mana semua aspek kehidupan berjalan begitu cepat, kita perlu alasan untuk bertahan. Entah itu alasan kecil seperti untuk melihat sinar mentari diesok pagi, atau karena alasan besar terkait hal-hal yang tidak bisa diungkapkan secara gamblang.
Namun, apapun alasannya, sebagai generasi yang dilahirkan di tengah gempuran perkembangan teknologi, kita haruslah tetap bertahan di tengah hiruk pikuk duniawi. Tidak perlu terlalu berisik, namun punya harapan disetiap harinya untuk hari esok yang akan datang.
Narasi tentang bertahan hidup sudah banyak diperbincangkan oleh khalayak ramai di media daring. Banyak juga buku-buku yang bertema hal serupa yang banyak dijual di pasaran. Namun, artikel ini tidak akan membahas buku tersebut, melainkan tentang film yang diproduksi oleh Studio Ghibli.
Studio Ghibli adalah rumah produksi animasi Jepang yang terkenal dengan keestetikannya yang berbeda dengan kebanyakan animasi asal Jepang. Selain itu, Studi Ghibli juga terkenal karena tema-tema yang diusung pada kebanyakan filmnya adalah suatu bentuk dari kritik sosial dan juga tentang isu yang sedang ramai diperbincangkan.
Berikut adalah beberapa animasi dari Studio Ghibli yang menyinggung tentang keharusan untuk bertahan hidup di tengah-tengah kesulitan atau tantangan.
The Wind Rises, disutradarai oleh Hayao Miyazaki
Animasi ini bercerita tentang seorang insinyur pesawat yang bernama Horikoshi Jiro. Sebuah gempa yang terjadi di Jepang menghantarkan Jiro bertemu dengan kekasih hatinya, Nahoko. Sayangnya, Nahoko tidak bisa bertahan hidup lama dikarenakan penyakit TBC yang dideritanya. Pesan dari animasi ini pun cukup jelas disampaikan oleh Nahoko kepada Jiro, suaminya, "Darling, you must live". Hal ini menggambarkan tentang seberapa sakit rasanya ditinggalkan orang tersayang, kehidupan akan terus berlanjut sebagaimana semestinya.
"The wind is rising, we must try to live" adalah kutipan puisi dari Paul Valry yang paling berkesan bagi sebagian banyak penonton animasi ini.Banyak orang beranggapan bahwa mati untuk orang disayang adalah salah satu bentuk cinta yang romantis, dan itu tidak salah. Namun, lebih terasa romantis jika kita bertahan hidup lebih lama untuk orang yang kita cintai. Memang, semua orang akan mati pada akhirnya. Akan tetapi, janji-janji dan kenangan indah bersama akan dikenang selamanya.
Grave of the Fireflies, disutradarai oleh Hayao Miyazaki
Miyazaki adalah kreator animasi yang jago memanen air mata penonton setianya. Pada animasi ini penonton akan dihadapkan pada dua pilihan, antara menangisi nasib kakak-beradik ditengah perang ataupun memaki pilihan yang mereka buat. Namun, tanpa memandang rendah atas pengorbanan Seita sebagai kakak tertua, mereka telah berhasil bertahan sedemikian rupa.
Di tengah gempuran bom yang meledak di mana-mana, Seita mampu mengayomi Setsuko, adik kecilnya, tanpa peran kedua orang tuanya. Ayahnya adalah seorang marinir perang Angkatan Laut Jepang yang meninggal di tengah-tengah perang, dan ibunya juga meninggal karena bom yang dijatuhkan oleh Amerika.
Namun, situasi tersebut tidak membuat Seita dan Setsuko serta-merta kehilangan harapan untuk hidup. Mereka pindah sementara ke rumah bibinya dan kemudian pindah lagi karena ada masalah. Banyak orang yang mempertanyakan tentang Seita yang tidak bekerja untuk memenuhi kebutuhannya dan Setsuko. Guys, pada saat itu Seita masih berusia 14 tahun. Dia masih sangat muda untuk mengemban tanggung jawab yang begitu besar di tengah situasi yang kacau dan berantakan.
Mereka perlu mendapat apresiasi atas segala usaha dan harapan yang mereka miliki di tengah peperangan yang melanda. Setidaknya, mereka tidak mati sia-sia. Mereka mati setelah berjuang menghadapi pahitnya kehidupan tanpa bantuan dari pihak keluarga dan bimbingan dari kedua orang tua. Seita dan Setsuko adalah dua anak hebat yang tidak pernah kehilangan harapan akan hari esok.
When Marnie was There, disutradarai oleh Hiromasa Yonebayashi
Masih mirip dengan Grave of the Fireflies, animasi ini juga mengusung tema tentang anak yang kurang kasih saying dari orang tua. Kedua pemeran utama dalam ini, Marnie dan Anna, sama-sama ada di posisi ini. Anna, adalah orang anak yatim piatu yang diadopsi oleh ibu angkatnya dengan bantuan subsidi dari pemerintah. Sedangkan Marnie adalah seorang putri dari saudagar kaya dan seorang sosialita yang sibuk melakukan perjalanan bisnis.
Cerita mereka berdua dimulai dengan kepindahan Anna ke desa terpencil di Kushiro. Di sana dia dirawat oleh kerabat dari ibu angkatnya, keluarga Oiwa. Desa itu berada di dekat garis pantai sehingga Anna sering berkunjung ke sana. Di sanalah ia bertemu Marnie pertama kalinya. Sejak saat itu, mereka mulai kenal satu sama lain dan menjadi dekat.
Melalui pertemuannya dengan Marnie, Anna belajar untuk merangkai harapan untuk bertahan hidup. Karena, apa yang telah terjadi dalam kehidupan Anna, tentu itu semua tidak bisa diulang lagi dari nol. Masa depanlah yang dapat diubah dengan pilihan-pilihan yang kita buat di setiap harinya.
Begitupun dengan Marnie, meskipun dia sangat merasa kehilangan atas kematian suaminya, anak dan juga menantunya, dia tidak ingin hal yang sama terjadi kepada cucu satu-satunya, Anna. Dengan belajar dari masa lalu, Marnie tidak ingin membuat cucunya merasa kesepian dan sendiri seperti saat dia kecil dulu. Maka itu, dia bangkit dari luka lamanya dan merajut harapan baru tentang kehidupan baru dengan cucunya sampai maut memisahkan mereka.
The Boy and the Heron, disutradarai oleh Hayao Miyazaki
Miyazaki memanglah pioneer dalam film yang bertemakan bertahan hidup. Animasi ini jugalah yang membawa Miyazaki untuk memenangkan piala OSCAR dengan kategori Best Animated Feature baru-baru ini. Animasi ini dibuat oleh Miyazaki berdasarkan pengalamannya ketika ia masih muda.
Animasi ini bercerita tentang seorang anak yang bernamaa Mahito yang kehilangan sosok seorang ibu. Ayahnya menikah lagi dengan adik dari ibunya setelah kematian ibunya. Namun, layaknya seorang anak, Mahito tidak mudah untuk menerima kehadiran wanita baru di rumahnya. Dia masih ditahap kehilangan sosok cinta pertamanya. Kita semua tahu, bahwa itu tidaklah mudah.
Perjalanan kehilangan Mahito pun digambarkan dengan sosok elang yang ingin mencelakainya. Yang kemudian membawa Mahito ke dunia lain melalui rumah tua di hutan di dekat kediamannya. Di sana dia bertemu dengan Lady Himi dan juga paman buyutnya yang menawarkannya untuk menjadi penerus di sana.
Hal tersebut bisa saja merupakan simbolisme tentang alam yang bertanya pada kita, manusia yang mudah terluka, tentang apakah kita ingin tetap berlarut-larut dalam kesedihan atau bangkit dan menjadi hidup dengan hal-hal baru di dalamnya. Dari pada sibuk mengontrol sesuatu yang sudah menjadi takdir, akan lebih baik jika kita hidup dengan melihat keindahan tersebut sebagai suatu anugrah dari Tuhan.
Seperti Mahito yang memilih untuk ke rumah, alangkah baiknya jika kita juga menerima dengan lapang dada atas apa yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan kepada kita, hamba-Nya. Realitas memang terkadang sulit dan berat, namun setidaknya hal itu nyata dan bisa dibuktikan, bukanlah bayang-bayang kita akan masa lalu yang tidak bisa diputar kembali.
Harapan untuk hidup bisa ditemukan di mana saja dan kapan saja. Asalkan ada niat untuk merajut dan menjadikannya sebagai senjata untuk menghadapi masa depan. Kesulitan adalah salah satu aspek kehidupan yang selalu dihadapi oleh manusia, namun menyerah bukanlah alasan untuk keluar dari kesulitan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H