Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Konsep "Usia Hanyalah Angka" dalam Percintaan Bisa Berujung Child Grooming

17 November 2024   07:00 Diperbarui: 18 November 2024   17:09 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Sumber: freepik.com via kompas.com) 

Katanya kalau sedang jatuh cinta, semuanya terasa indah. Pahit menjadi manis. Rasa sedih di dalam hati berubah menjadi suka. Hidup katanya lebih menjadi berwarna. Tidak lagi hanya sekadar hitam dan putih saja.

Berbicara tentang makna cinta, sepertinya tidak akan ada ujungnya. Terlalu luas dengan berbagai sudut pandang. Semua orang bisa mengartikan cinta dengan definisinya masing-masing. Tak perlu sama seperti mengutip teori para ahli untuk tugas kuliah. Cinta itu perkara hati. Kalau tentang hati, sulit untuk bisa mendeskripsikannya.

Termasuk perkara waktu untuk jatuh cinta. Katanya cinta datang dengan sendirinya. Tak perlu diundang, tak perlu dicari. Ia akan singgah dengan sendirinya hanya lewat tatapan mata. Meski hanya sekejap saja.

Cinta juga katanya tidak bisa menentukan objek yang akan dituju. Sudah merumuskan berbagai kriteria yang banyak, tiba-tiba terpatahkan ketika bertemu dengan seseorang yang membuat jatuh cinta. Ya, itulah cinta. Memang tidak bisa ditebak.

Mengingat masa remaja dulu. Merasa sudah dewasa dan terus menerus mengartikan cinta yang sesungguhnya. Terlihat seperti pakar cinta karena berbagai pengalaman di saat masih sekolah. Menjadi sasaran tempat curhat teman-teman tentang cinta.

Saat dewasa, mengingat percintaan masa remaja hanya bikin geli. Tertawa akan kebodohan di masa lalu yang seperti budak cinta. Mengejar sesuatu yang tak pasti. Menangisi sesuatu yang tak seharusnya ditangisi.

Apa jadinya jika merasa jatuh cinta ketika dewasa tetapi pada anak di bawah umur? Begitu juga dengan sebaliknya. Apakah anak di bawah umur yang menyukai lawan jenis yang sudah dewasa bisa dikategorikan jatuh cinta? Atau hanya sekadar kagum? Apa cinta monyet semata?

Baru-baru ini, selebritas terlihat pamer hubungan barunya dengan sesama publik figure. Bukan kali pertama warganet dihebohkan dengan kisah asmara selebriti. Ibaratnya, kalau dikenal masyarakat luas, harus bersiap akan disoroti semua sisi kehidupannya. Termasuk urusan asmara.

Namun kali ini berbeda. Hubungan yang dipamerkan ke publik adalah hubungan dengan rentang usia masing-masing yang terbilang jauh. Mulai dari berbeda 7 tahun, 13 tahun, bahkan ada yang lebih dari 13 tahun. Idealnya, mereka bak kakak adik, paman dengan keponakannya, bahkan ada pula yang seperti anak dengan orangtua. 

Tidak hanya satu atau dua orang saja. Terbilang ada beberapa, bisa dihitung jari. Mulai dari aktor ternama yang sudah dikenal sejak kecil. Sampai selebritas yang baru naik daun karena beberapa karyanya banyak disenangi penonton.

Banyak warganet yang menyoroti fenomena ini. Seolah menjadi trend baru orang dewasa menjalin hubungan dengan anak di bawah umur. Mengingat mereka adalah publik figure yang banyak disorot bahkan dijadikan panutan oleh banyak orang, timbul keresahan akan memberikan contoh buruk kepada generasi muda. Khususnya para selebritas remaja yang memiliki fans dan followers di media sosial seusianya atau bahkan anak-anak.

Di sisi lain, adapula yang mendukung hubungan tak wajar ini. Berdalih bahwa cinta memiliki definisi yang bebas. Tak bisa memilih kepada siapa seseorang jatuh cinta. Sampai mengaitkan jatuh cinta dengan hak asasi manusia.

Pro kontra yang terjadi termasuk memperdebatkan child grooming. Istilah lainnya yang lebih umum atau terbilang lebih kasar adalah pedofilia. Aktivitas seksual yang dilakukan orang dewasa kepada anak di bawah umur.

Banyaknya selebritas yang menjalin hubungan dengan rentang usia yang jauh antara orang dewasa dengan anak di bawah umur memang tidak semuanya mengarah pada aktivitas seksual. Mereka mengumbar kemesraan layaknya orang pacaran lainnya. Seperti membagikan moment bersama. Mulai dari jalan bareng, nonton ke bioskop, atau makan bersama. Namun yang perlu digaris bawahi adalah bahwa status pacaran anak dengan orang dewasa tidak menutup kemungkinan akan mengarah pada child grooming.

Ilustrasi Child Grooming. (Sumber: alodokter.com)
Ilustrasi Child Grooming. (Sumber: alodokter.com)

Dilansir pada siloamhospitals.com, child grooming adalah tindakan yang dilakukan oleh orang dewasa untuk membangun hubungan, kepercayaan, serta kontrol atas seorang anak atau remaja yang bertujuan untuk mengeksploitasi mereka secara fisik, emosional, hingga seksual. 

Dalam konteks ini, orang dewasa dengan sengaja membangun hubungan agar terjalin kepercayaan dari anak di bawah umur dengan tujuannya adalah untuk mengeksploitasi. Groomer atau pelaku child grooming berusaha mengontrol korbannya dengan mempengaruhi secara emosional. Berujung pada penganiayaan dan aktivitas seksual.

Groomer bisa melakukan aksinya dengan melakukan pendekatan kepada anak di bawah umur. Setelah anak mulai memberikan reaksi, groomer bisa mengajak untuk menamai kedekatan mereka dengan status pacaran. Pemberian status ini menjadi benteng untuk membangun kepercayaan dari anak di bawah umur yang ia pacari. Sampai akhirnya anak akan merasa bergantung kepada pelaku. 

Sebagai orang yang lebih dewasa, pelaku memiliki kendali untuk mengontrol hubungan ini. Termasuk mengontrol keputusan dari korban. Kontrol ini membuat korban merasa tidak ada pilihan lain selain mengikuti kemauan pelaku. Ada yang disertai ancaman adapula yang secara sadar mengikuti kemauan pelaku karena termakan manipulasi dari pelaku yang sudah tertanam dengan kedok kepercayaan dalam hubungan pacaran.

Banyak korban yang tidak menyadari bahwa mereka sedang di-grooming oleh pelaku karena menganggap pelaku adalah orang yang terpercaya. Apalagi jika dikaitkan dengan urusan hati. Muncul rasa iba jika tidak menuruti kemauan pelaku. 

Korban yang masih anak-anak cenderung diajari untuk menghormati orang yang lebih tua dan orang dewasa. Alhasil, banyak pelaku child grooming yang menjadikan kebiasaan ini sebagai kesempatan yang menguntungkan untuknya. Pelaku mudah untuk bisa mengontrol korban karena ia lebih dewasa secara umur. Anak mudah diatur karena lebih mudah dimanipulasi. 

Bukan berprasangka buruk terhadap selebritas yang sedang dimabuk asmara dengan perbedaan umur yang jauh, tetapi bisa saja rasa ingin mengontrol terlahir begitu saja karena sudah pada hubungan berpacaran. Sebagai orang yang lebih dewasa atau tua, timbul rasa ingin mengontrol arah hubungan. Termasuk anak di bawah umur yang sedang dipacari.

Berhenti untuk menerapkan prinsip cinta bahwa usia hanyalah angka! Jelas negara sudah mengatur batasan-batasan rakyatnya sebelum ia mencapai umur tertentu. Seperti usia tujuh belas tahun mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sampai usia untuk melangsungkan pernikahan. Aturan ini menjadi dasar bahwa negara membatasi hak-hak tertentu yang bisa didapatkan rakyatnya yang belum berusia legal.

Ilustrasi. (Sumber: Shutterstock via kompas.id)
Ilustrasi. (Sumber: Shutterstock via kompas.id)

Sebagai masyarakat biasa yang bermain media sosial dan mendapatkan semua informasi lewat media sosial, tidak bisa untuk menyaring pemberitaan tentang selebritas yang menerapkan konsep percintaan usia hanyalah angka. Memang tak semestinya seorang publik figur yang menjadi sorotan banyak orang, menampilkan secara gamblang perilaku yang bisa saja menjadi panutan untuk banyak orang. Namun karena sulit untuk bisa mengatasi atau memberi batasan konten apa saja yang dikonsumsi kepada publik oleh publik figure, maka di sini peranan masyarakat yang harus lebih melek dari sisi literasi digital.

Tidak secara mentah-mentah mengadopsi tren atau perilaku yang ditampilkan oleh publik figure. Mereka hanya manusia biasa, sama seperti kita semua. Bukan orang sempurna yang harus diikuti semua ucapan dan perilakunya.

Orangtua kini harus lebih ekstra untuk mengawasi anak-anak dalam bermain media sosial. Memantau penggunaan internet anak secara berkala. Dibarengi dengan mengedukasi anak sejak dini. Edukasi yang diberikan dengan menjalin komunikasi yang baik dengan anak. 

Ajak anak berdiskusi sembari membangun daya kritisnya untuk bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang patut diteladani dan mana yang harus dihindari. Tanamkan pula untuk membangun hubungan yang sehat dengan orang-orang di sekitarnya. Dengan teman-temannya dan orang dewasa yang ada di sekelilingnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun