Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Meraba-raba Keadilan untuk Korban Obat Paracetamol Sirop

9 November 2024   07:00 Diperbarui: 9 November 2024   16:19 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Korbangangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA).  (Sumber: KOMPAS/PANDU WIYOGA)

Masih ingat dengan kasus gagal ginjal akut yang menimpa anak-anak pada pertengahan tahun 2022 lalu? Ratusan anak menjadi korban keracunan setelah mengonsumsi obat paracetamol yang didapatkan dari klinik, puskesmas, dan dokter anak.

Mulanya para korban hanya sakit flu biasa. Demam tinggi, pilek, dan batuk. Sebagai orangtua yang khawatir dengan kesehatan anaknya, tentu akan mencari bantuan dan memberikan pertolongan pertama dengan membawanya ke dokter terdekat. Ada yang pergi ke klinik terdekat atau puskesmas setempat.

Seperti pasien lainnya, dokter memberikan resep obat untuk ditebus di apotek. Sesuai dengan diagnosa dan gejala yang diderita pasiennya.

Naas, bukannya mendapatkan kesembuhan. Orangtua harus menelan kenyataan pahit seumur hidup yang tidak pernah terbayangkan sama sekali. Bak mimpi buruk atau bahkan sambaran petir di siang bolong.

Obat sirup paracetamol yang dikonsumsi anak membawa penyakit baru yang mendadak dan begitu ganas. Mulanya, anak merasa sulit buang air kecil. Tidak ada setetes pun air kencing yang keluar. Orangtua bergegas membawa anaknya ke rumah sakit.

Setelah uji lab dan pengecekan kesehatan secara keseluruhan, dokter membawa berita buruk. Anak didiagnosa terkena gagal ginjal akut dengan tingkat stadium yang tinggi. Seperti ditampar dengan kenyataan, orangtua tentu tidak percaya dengan kabar buruk itu. Selama ini merawat dan membesarkan anaknya dengan telaten. Termasuk perihal apa saja yang masuk ke dalam tubuhnya.

Ilustrasi anak dirawat di rumah sakit. (Sumber: SHUTTERSTOCK/sumroeng chinnapan via kompas.com) 
Ilustrasi anak dirawat di rumah sakit. (Sumber: SHUTTERSTOCK/sumroeng chinnapan via kompas.com) 

Belum sempat mencerna semuanya, banyak korban yang berakhir koma selama 2 bulan. Adapula yang tidak bertahan dan menyerah untuk selamanya. Anak-anak yang bertahan pun tidak sembuh seutuhnya. Bahkan nyaris bertolak belakang dengan kondisi fisik yang sebelumnya normal.

Nyatanya, racun itu tidak hanya menyerang ginjal saja. Seluruh anggota tubuh anak terkena racun itu. Nyaris tak berfungsi seperti sedia kala. Mulai dari paru-paru yang terendam cairan, sampai saraf otak yang terganggu. Bahkan lebih menyakitkan lagi, panca indra yang semula normal, mengalami banyak gangguan. Mulai dari kebutaan, tidak bisa mendengar, henti napas, dan tidak bisa berbicara.

Kasus sebesar ini hanya ramai sebentar saja. Kasus tidak dikawal sampai akhir, bahkan nyaris tertutupi oleh kasus-kasus lainnya yang kurang nilai urgensinya. Seolah banyak yang menutup mata dan telinga. Abai kepada korban dan tak memberikan simpati serta empati kepada korban.

Podcast tentang korban obat paracetamol sirop. (Sumber: Channel Youtube dr. Richard Lee)
Podcast tentang korban obat paracetamol sirop. (Sumber: Channel Youtube dr. Richard Lee)
Terenyuh dan miris. Itu adalah dua kata yang menggambarkan perasaan penulis ketika menonton podcast di Channel YouTube miliki Dokter Richard Lee. Dokter yang punya klinik kecantikan ini memang kerap mengundang narasumber dengan berbagai kasus dan masalah yang sedang diperjuangkan. Termasuk mengundang para korban obat paracetamol sirop yang terkena gagal ginjal akut sampai meninggal dunia.


Video yang diunggah pada 02 November 2024 dengan judul "KORBAN OBAT EG/DEG TUNTUT KEADILAN!! SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB!?" mendapatkan komentar dari netizen. Tercatat hampir 300ribu penonton yang turut terenyuh bahkan hancur mendengar kisah dari para korban obat paracetamol sirop ini.

Podcast ini menghadirkan dua orang Ibu yang menjadi korban obat paracetamol sirop. Ibu Desi turut membawa anaknya yang bernama Shena dalam podcast itu. Penonton bisa melihat langsung bagaimana kondisi Shena imbas dari mengonsumsi obat paracetamol sirop. Dokter mengatakan bahwa Shena tidak bisa kembali normal. Namun Ibu Desi tak mau berdiam diri. Ia tidak menyerah untuk kesembuhan putri cantiknya termasuk mencari keadilan untuk anaknya.

Kenyataan pahit juga harus diterima oleh Ibu Solihah. Dalam hitungan seminggu saja, anaknya didiagnosa terkena gagal ginjal akut. Bahkan hanya hitungan jam, stadiumnya terus meningkat dan memperparah kondisi anaknya. Sampai akhirnya anaknya tidak tertolong.

Sama seperti Ibu Desi, Ibu Solihah juga terus mencari keadilan untuk anaknya. Meski anaknya sudah meninggal, ia tetap berjuang mendapatkan keadilan dan menuntut pertanggungjawaban dari berbagai pihak yang terlibat.

Ibu Desi dan Ibu Solihah hanya salah satu korban yang berani menyuarakan kebenaran dan menuntut keadilan. Di luar sana, ada 300 lebih korban dan orangtua yang masih bertahan, berjuang, dan menelan kenyataan pahit ini seorang diri.

Di media sosial, banyak orangtua korban yang membagikan perjuangan mereka untuk bisa bertahan dan melanjutkan hidup. Adapula orangtua yang turut memberikan komentar dan membagikan kisahnya tentang anaknya yang sudah tiada karena obat paracetamol sirop ini.

Keadilan terus dicari oleh para korban. Ditemani dengan pengacara sebagai kuasa hukum korban yang mengawal dan memperjuangkan hak para korban. Salah satu pengacara korban, yaitu Tegar Putuhena turut mendampingi Ibu Desi dan Ibu Solihah di podcast Dokter Richard Lee. Pengacara turut menceritakan perkembangan kasus, hasil dari pengadilan, termasuk upaya-upaya yang telah mereka tempuh untuk mendapatkan keadilan.

Gugatan perdata terhadap Kemenkes, BPOM, dan sejumlah perusahaan produsen dan suplier bahan baku obat sirup (13/12/2022). (KOMPAS.com/Syakirun Ni'am)
Gugatan perdata terhadap Kemenkes, BPOM, dan sejumlah perusahaan produsen dan suplier bahan baku obat sirup (13/12/2022). (KOMPAS.com/Syakirun Ni'am)

Dikutip dalam kompas.com, proses gugatan class action menghasilkan vonis yang dijatuhkan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat akhirnya kepada dua produsen obat sirop yang menyebabkan gagal ginjal akut pada anak, Kamis (22/8/2024). Dua perusahaan farmasi yakni PT Afi Farma Pharmaceutial Industry dan CV Samudera Chemical harus membayar kerugian masing-masing Rp 50 juta untuk sebagian keluarga korban meninggal, serta Rp 60 juta bagi para korban yang masih menjalani pengobatan.

Bukan tentang angka nominal kerugian yang tidak sebanding dengan penderitaan para korban, tetapi di sini BPOM menjadi salah satu pihak yang paling disorot karena bertugas mengawasi peredaran obat. BPOM yang memberikan izin terhadap peredaran obat sampai obat paracetamol sirop yang diproduksi oleh PT Afi Farma tersebar luas di apotek. Bahkan selalu diresepkan kepada pasien BPJS.

Padahal, berdasarkan hasil investigasi, obat sirop tersebut terkontaminasi etilen glikol dan dietilen glikol melebihi ambang batas aman dari beberapa perusahaan farmasi. Bahkan menggunakan bahan baku yang dipalsukan oleh industri kimia.

Ilustrasi obat sirup. (Sumber: SHUTTERSTOCK/SUMIRE8 via kompas.com) 
Ilustrasi obat sirup. (Sumber: SHUTTERSTOCK/SUMIRE8 via kompas.com) 

Melihat kasus ini, banyak sekali pihak yang terlibat dan harus turut bertanggungjawab. Para korban melayangkan gugatan kepada pihak-pihak tersebut. Diberitakan pada kompas.com, ada tiga kelompok yang digugat. Kelompok pertama adalah dua perusahaan farmasi, yaitu PT Afi Farma dan PT Universal Pharmaceutical Industries. Tergugat kedua adalah distributor yang terdiri dari PT Tirta Buana Kemindo, CV Mega Intera, PT Logicom Solution, CV Budiarta, dan PT Mega Setia Agung Kimia, dan CV Samudera Chemical Kelompok terakhir adalah pemerintah. Mulai dari Kemenkes, BPOM, dan Kementerian Keuangan.

Faktanya, hasil persidangan tidak sesuai dengan harapan para korban. Hakim PN Jakarta memutuskan PT Afi Farma dan CV Samudera Chemical bersalah dan wajib memberikan santunan. Dana tersebut senilai Rp 50 juta bagi korban yang telah meninggal dan Rp 60 juta bagi korban yang masih berjuang. Nilai santunan itu sangat jauh dari yang dituntut korban. Penuntut menuntut 3 miliar untuk korban meninggal dan 2 miliar untuk korban yang masih berjuang.

Dalam podcast Dokter Richard Lee, para korban dan pengacara masih mencari keadilan dan pertanggungjawaban dari pemerintah. Menurut penuturan Ibu Desi, pemerintah tidak memberikan pendampingan meski sudah dua tahun anaknya hidup dengan kondisi seperti ini akibat dari kelalaian pemerintah. Khususnya BPOM dan Kemenkes.

Pemerintah hanya menyalurkan bantuan lewat Kemensos. Data ini bisa dilihat langsung pada laman resmi kemensos.go.id, Kementerian Sosial RI telah menerbitkan Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 185/HUK/2023 tentang Pemberian Santunan Kepada Korban Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal. Pemberian bantuan berupa santunan sebesar 50 juta rupiah bagi ahli waris korban gagal ginjal akut progresif atipikal yang telah meninggal. Sedangkan korban gagal ginjal akut progresif atipikal yang telah sembuh atau masih menjalani proses pengobatan dan rehabilitasi medis diberikan santunan sebesar 60 juta rupiah.

Pengacara Tegar Putuhena mengatakan bahwa pemerintah seolah lepas tangan usai santunan itu diberikan kepada korban. Tidak ada pertanggungjawaban yang ditunjukkan oleh BPOM dan Kemenkes. Sedangkan menurut Ibu Desi, santunan tersebut hanya mencukupi perawatan anaknya beberapa bulan saja. Selama ini, ia berjuang sendirian bersama suaminya tanpa keterlibatan pemerintah dalam hal pendampingan.

Sejumlah orangtua korban kasus gagal ginjal akut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (18/7/2023). (Sumber: KOMPAS/HERU SRI KUMORO)
Sejumlah orangtua korban kasus gagal ginjal akut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (18/7/2023). (Sumber: KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Bentuk pertanggungjawaban negara kepada para korban tidak hanya sekadar dari ukuran nominal santunan. Apalagi mengingat bahwa nyawa dan kesehatan anak tidak bisa digantikan oleh apapun. Termasuk nominal rupiah yang tinggi.

Pemerintah harus mendampingi para korban. Khususnya yang sampai saat ini masih menjalankan pengobatan dan berupaya yang terbaik untuk kesembuhan anak-anak mereka. Dengan pendampingan, para orangtua yang menjadi korban merasa tidak seorang diri menghadapi ini semua. Negara perlu hadir di tengah-tengah kesulitan para korban sebagai komitmen dan bentuk tanggungjawab atas kelalaian pemerintah memberikan izin obat tersebut beredar di pasaran.

Semoga, masyarakat mau untuk mengawal kasus ini sampai akhir. Tidak ikut menutup mata dan telinga dengan dalih karena tidak menimpa orang terdekat. Kasus ini perlu dikawal dan disoroti oleh semua masyarakat agar tidak terjadi lagi. Termasuk mengupayakan prosedur untuk penanganan agar tidak ada lagi kejadian instansi pemerintahan yang seolah angkat tangan atas kesalahannya yang berdampak pada hajat hidup orang banyak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun