Masih ingat dengan kasus gagal ginjal akut yang menimpa anak-anak pada pertengahan tahun 2022 lalu? Ratusan anak menjadi korban keracunan setelah mengonsumsi obat paracetamol yang didapatkan dari klinik, puskesmas, dan dokter anak.
Mulanya para korban hanya sakit flu biasa. Demam tinggi, pilek, dan batuk. Sebagai orangtua yang khawatir dengan kesehatan anaknya, tentu akan mencari bantuan dan memberikan pertolongan pertama dengan membawanya ke dokter terdekat. Ada yang pergi ke klinik terdekat atau puskesmas setempat.
Seperti pasien lainnya, dokter memberikan resep obat untuk ditebus di apotek. Sesuai dengan diagnosa dan gejala yang diderita pasiennya.
Naas, bukannya mendapatkan kesembuhan. Orangtua harus menelan kenyataan pahit seumur hidup yang tidak pernah terbayangkan sama sekali. Bak mimpi buruk atau bahkan sambaran petir di siang bolong.
Obat sirup paracetamol yang dikonsumsi anak membawa penyakit baru yang mendadak dan begitu ganas. Mulanya, anak merasa sulit buang air kecil. Tidak ada setetes pun air kencing yang keluar. Orangtua bergegas membawa anaknya ke rumah sakit.
Setelah uji lab dan pengecekan kesehatan secara keseluruhan, dokter membawa berita buruk. Anak didiagnosa terkena gagal ginjal akut dengan tingkat stadium yang tinggi. Seperti ditampar dengan kenyataan, orangtua tentu tidak percaya dengan kabar buruk itu. Selama ini merawat dan membesarkan anaknya dengan telaten. Termasuk perihal apa saja yang masuk ke dalam tubuhnya.
Belum sempat mencerna semuanya, banyak korban yang berakhir koma selama 2 bulan. Adapula yang tidak bertahan dan menyerah untuk selamanya. Anak-anak yang bertahan pun tidak sembuh seutuhnya. Bahkan nyaris bertolak belakang dengan kondisi fisik yang sebelumnya normal.
Nyatanya, racun itu tidak hanya menyerang ginjal saja. Seluruh anggota tubuh anak terkena racun itu. Nyaris tak berfungsi seperti sedia kala. Mulai dari paru-paru yang terendam cairan, sampai saraf otak yang terganggu. Bahkan lebih menyakitkan lagi, panca indra yang semula normal, mengalami banyak gangguan. Mulai dari kebutaan, tidak bisa mendengar, henti napas, dan tidak bisa berbicara.
Kasus sebesar ini hanya ramai sebentar saja. Kasus tidak dikawal sampai akhir, bahkan nyaris tertutupi oleh kasus-kasus lainnya yang kurang nilai urgensinya. Seolah banyak yang menutup mata dan telinga. Abai kepada korban dan tak memberikan simpati serta empati kepada korban.