Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Membekali Mahasiswa dengan Keterampilan Menulis

24 Oktober 2024   07:00 Diperbarui: 24 Oktober 2024   19:05 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mahasiswa di perpustakaan. (Sumber: Kompas.com/Suhaiela Bahfein) 

Ilustrasi mahasiswa di perpustakaan. (Sumber: Kompas.com/Suhaiela Bahfein) 
Ilustrasi mahasiswa di perpustakaan. (Sumber: Kompas.com/Suhaiela Bahfein) 

Kita lihat secara luas tingkat literasi di Indonesia. Dikutip dari rri.co.id, minat membaca buku di Indonesia dinilai masih sangat rendah. UNESCO menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka  0,001% . Persentase ini berarti, dari 1000 orang Indonesia, hanya ada 1 orang yang rajin membaca. 

Persentase tersebut coba kita terapkan ke dunia pendidikan yang di isi oleh kaum akademisi. Misalnya saja di sebuah perguruan tinggi saja yang terdapat 4000 mahasiswa untuk seluruh angkatan dan program studi. Artinya, ada 1000 mahasiswa dalam setiap angkatan. Di setiap angkatan, hanya ada 1 mahasiswa yang suka membaca.

Sebuah gambaran yang memprihatinkan. Mengingat mahasiswa tidak bisa lepas dari kegiatan literasi. Apalagi kini generasi Z banyak melakukan aktivitas kesehariannya secara digital. Membuat mahasiswa tidak hanya harus pintar literasi semata, tetapi juga melek literasi digital.

Kegiatan menulis tentu akan dibarengi dengan kegiatan membaca. Keduanya tidak bisa terpisahkan. Melatih keterampilan menulis pada mahasiswa sama dengan melatih keterampilan membacanya. 

Membaca tidak hanya sekadar bisa membaca huruf per huruf, kata per kata. Bukan hanya sekadar mengenal tanda baca. Membaca satu teks sampai tuntas. Namun tentang membaca makna sebuah teks yang ada. Mahasiswa harus bisa membaca teks secara keseluruhan sampai mampu mengartikan teks tersebut dan menyampaikan atau menuliskan ulang menggunakan kalimat sendiri. Itu poin pentingnya yang sampai saat ini sulit untuk diterapkan.

Kegiatan menulis, membuat mahasiswa tidak hanya sekadar membaca. Namun juga menganalisis sebuah teks. Termasuk menganalisis beberapa sumber yang dirasa sesuai dengan tulisan yang akan dibuat. Mahasiswa menganalisis sumber mana saja yang sesuai, kutipan mana yang akan diambil, dan poin penting mana saja yang harus ditonjolkan. Sampai akhirnya mahasiswa mampu menyimpulkan pada tulisannya sendiri.

Ilustrasi mahasiswa. (Sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com) 
Ilustrasi mahasiswa. (Sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com) 

Kebiasaan melakukan tindakan mudah, seperti copy paste dari internet yang membuat mahasiswa tidak memiliki keterampilan literasi yang matang. Alhasil, saat menjelang tingkat akhir, kesulitan saat harus menulis latar belakang penelitian karena ada aturan minimal plagiarisme.

Kebiasaan buruk ini semakin diperkuat dengan kemudahan AI, yaitu ChatGPT. Tanpa perlu berpikir keras untuk membuat latar belakang makalah, mahasiswa tinggal meminta ChatGPT membuat latar belakang makalah sesuai dengan judul makalahnya. Hitungan detik, latar belakang makalah yang dengen beberapa paragraf pun selesai dalam sekejap.

Memang sebagai pendidik pun tak bisa untuk membatasi kemajuan teknologi untuk kegiatan akademik. Terlebih memang sangat membantu sisi efisiensi. Pendidik harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Termasuk ketika mahasiswanya menerapkan kecanggihan AI untuk tugas perkuliahan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun