Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Hidup yang "Gini-Gini Aja" Bisa Jadi yang Didambakan Orang lain

15 Oktober 2024   17:00 Diperbarui: 16 Oktober 2024   12:32 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi membandingkan diri dengan orang lain.(Sumber: iStockPhoto/tuaindeed via kompas.com) 

Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Benar kata pepatah, karena kita sebagai manusia sering membandingkan hidup yang sedang dijalani dengan kehidupan orang lain.

Bukannya mendapatkan motivasi, justru jadi semakin banyak mempertanyakan tentang kehidupan. Mengapa seperti ini, dan rentetan pertanyaan lainnya dimulai dengan kata tanya mengapa.

Keadaan ini juga dipicu dari semakin meningkatnya aktivitas berinteraksi di media sosial. Lewat media sosial, seseorang bisa terhubung dengan siapa saja. Baik itu teman, teman lama, bahkan dengan seseorang yang tidak dikenal. Siapa saja dapat dengan mudah melihat kehidupan seseorang hanya lewat media sosialnya.

Membandingkan diri dengan pencapaian orang lain. (Sumber: kompas.com)
Membandingkan diri dengan pencapaian orang lain. (Sumber: kompas.com)

Muncul kebiasaan baru, yaitu mengikuti kehidupan seseorang di media sosial yang dianggap menarik. Biasanya disebut sebagai seseorang yang berprofesi Selebgram atau Influencer. Selebriti di media sosial ini membagikan kegiatan sehari-harinya yang menarik perhatian warganet. Ada juga yang fokus membagikan konten dengan tema yang sama. Mulai dari make up, travelling, kesehatan, dan lain-lain.

Pengguna media sosial ternyata memiliki karakter kepo atau selalu ingin tahu urusan orang lain yang ia ikuti di media sosial. Tak jarang sampai berusaha berkomunikasi lewat kolom komentar atau direct message media sosial. Sebagai bentuk respons terhadap konten yang dibagikan oleh selebgram atau media sosial.

Ilustrasi membandingkan diri sendiri dengan orang lain. (Sumber: iStockphoto/fizkes via kompas.com) 
Ilustrasi membandingkan diri sendiri dengan orang lain. (Sumber: iStockphoto/fizkes via kompas.com) 

Jangan jauh-jauh melihat kehidupan seseorang yang tidak dikenal, media sosial juga membuat seseorang jadi tahu kehidupan teman lamanya. Misalnya terakhir bertemu saat kelulusan sekolah. Tanpa sengaja menemukan media sosial teman lama, lalu mengikuti dan menjalin interaksi. Seperti menanyakan kabar dan pertanyaan basa-basi lainnya.

Saling follow dengan teman lama, membuat seseorang jadi tahu kehidupan keseharian teman lama. Misalnya membagikan keseharian saat bekerja, liburan bersama keluarga, belanja bulanan, nongkrong di kafe terkenal, dan segelintir aktivitas lainnya yang nampak menyenangkan. 

Seperti memperlihatkan kehidupan yang sangat sempurna. Keluarga yang harmonis, pasangan yang romantis, karier yang cemerlang, anak-anak yang pintar, dan kemewahan yang serba ada memfasilitasi kehidupan sehari-hari.

Ilustrasi membandingkan diri dengan orang lain.(Sumber: iStockPhoto/tuaindeed via kompas.com) 
Ilustrasi membandingkan diri dengan orang lain.(Sumber: iStockPhoto/tuaindeed via kompas.com) 

Terlintas timbul pertanyaan yang dimulai dengan kata tanya "mengapa". Kembali mempertanyakan tentang keadilan semesta. Apalagi kalau berkaca dengan masa lalu, timbul rasa lebih baik dari berbagai sisi. Merasa lebih berhak atau pantas untuk mendapatkan kesenangan-kesenengan itu.

Ya, itulah gambaran ketika kita selalu melihat ke atas. Yang terjadi adalah membandingkan dan merasa bahwa kehidupan ini begitu tidak adil. 

Berbeda jika sudut pandangnya dirubah. Dengan melihat ke bawah. Mau sejenak untuk melihat sekeliling.

Ilustrasi bersyukur. (Sumber: UNSPLASH/ZAC DURANT via kompas.com) 
Ilustrasi bersyukur. (Sumber: UNSPLASH/ZAC DURANT via kompas.com) 

Saat ini mungkin banyak yang merasa bahwa hidup masih seperti ini saja. Nampak tak ada kemajuan apapun dalam semua sisi kehidupan. Mulai dari pekerjaan yang itu-itu saja, kendaraan yang dipakai tak berubah, rumah tak kunjung direnovasi, dan pencapaian yang tak seperti orang lain.

Bisa jadi, hidup yang menurut kita gini-gini aja adalah hidup yang diinginkan oleh orang lain. Seperti kita yang setiap hari melihat pencapaian orang lain di media sosial yang begitu terlihat menyenangkan sampai ada rasa ingin ada di posisi itu.

Kuncinya memang terletak pada perasaan merasa cukup. Sekilas nampak tidak ada perubahan yang signifikan dalam hidup. Karier yang tidak berkembang, tak kunjung memiliki aset, belum menemukan jodoh yang tepat, dan lainnya yang berbeda dengan orang lain.

Ilustrasi mencintai diri sendiri. (Sumber: wayhomestudio/Freepik via kompas.com) 
Ilustrasi mencintai diri sendiri. (Sumber: wayhomestudio/Freepik via kompas.com) 

Padahal, kita lupa bahwa bertahan juga merupakan pencapain dalam hidup. Karena ternyata tak semua orang memiliki keberanian untuk bertahan.

Selama kita masih bisa bertahan, melewati hari demi hari, pertanda bahwa kita sebagai manusia memilih untuk tidak menyerah. Itu semua layak untuk diapresiasi. Bukan malah menyebut bahwa hidup masih saja seperti ini tak ada perkembangan.

Dengan pola pikir sederhana seperti ini, setidaknya kita bisa mendapatkan ketentraman dan kedamaian hati. Tidak lagi menambah permasalahan hidup dengan membandingkan pencapaian diri dengan orang lain. Percayalah, semua berjalan pada porosnya masing-masing. Termasuk waktu yang berbeda-beda untuk mencapai sesuatu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun