Penggemar film Ngeri-Ngeri Sedap harus mencoba pengalaman baru menonton film Batak yang tayang pada akhir September lalu. Tepatnya pada 26 September 2024, film yang mengangkat budaya batak berjudul Tulang Belulang Tulang, tayang di seluruh bioskop Indonesia.
Meski simpati masyarakat tak seantusias seperti menonton film Ngeri-Ngeri Sedap, tetapi film Tulang Belulang Tulang merupakan bagian dari program inkubasi kebudayaan yang diselenggarakan Kemendikbudristek. Drama keluarga batak yang penuh makna. Tak hanya membuat haru, humornya pun ringan dan siap mengocok perut.
Rumah produksi Adhya Pictures dan Pomp Pictures, memberikan kepercayaan kepada sutradara Sammaria Sari Simajuntak dan Lies Nanci Supangkat. Dibintangi oleh Atiqah Hasiholan (Mami Laterina), Tasha Siahaan (Cian), Tanta Ginting (Tulang Ucok), David Saragih (Papi Mondo), Cornel Nadeak (Alon), Lina 'Mak Gondut' Marpaung (Opung Tiolin), dan Landung Simatupang (Tulang Tua).Â
Sebenarnya dari judulnya saja sudah memikat. Membuat rasa penasaran muncul. Terdapat dua kata yang sama, yaitu tulang. Namun memiliki pengertian yang berbeda. Judulnya begitu mudah tersimpan dalam ingatan.Â
Tulang Belulang Tulang bercerita tentang sebuah keluarga yang hendak melaksanakan upacara Mangokal Holi. Upacara Mangokal Holi adapah upacara pemindahan tulang belulang leluhur. Upacara tersebut menjadi kebangaan bagi keluarga Batak yang mampu melaksanakannya.Â
Mami Laterina yang diperankan oleh Atiqah Hasiholan, bersama suaminya Papi Mando yang diperankan David Saragih, berencana membawa tulang belulang kakek buyut ke Danau Toba. Sepasang orang batak ini, berdomisili di Bandung sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa sampai ke Danau Toba.
Mengejar waktu karena upcara adat Mangokal Holi akan segera digelar, sepasang suami istri ini turut mengajak anak-anak. Cian diperankan oleh Tasha Siahaan, Alon diperankan oleh Cornel Nadeak, dan Tulang Ucok diperankan oleh Tanta Ginting.Â
Diluar rencana, koper yang berisi tulang belulang kakek buyut mereka hilang di bandara. Kepanikan pun terjadi. Saling menyalahkan pun tak bisa dihindari.Â
Dalam keadaan panik, mereka harus secepatnya menemukan koper yang berisi tulang belulang kakek buyut. Jika tidak, seluruh keluarga akan malu dan dicap tidak menghormati upcaya adat Mangokal Holi. Utamanya adalah kutukan dari Opung (nenek) atas kelalaian mereka yang tidak menjaga tulang belulang kakek buyut dengan baik.
Perjalanan mencari tulang memaksa mereka bersatu mengarungi banyak cobaan. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, mereka miliki misi yang sama sehingga harus kompak mencari koper itu. Banyak cobaan yang menimpa perjalanan pencarian koper itu, mulai dari ngebut-ngebutan di jalanan berliku di tepian Danau Toba, kejar-kejaran dengan anjing pemakan tulang, sampai melintasi hutan yang terdapat binatang buas.
Perjalanan itu justru membuat mereka kembali mengerti arti keluarga yang sesungguhnya.
Sepanjang menonton film Tulang Belulang Tulang, mata tidak bisa berhenti berkedip. Begitu terpana dengan keindahan Sumatera Utara yang begitu memanjakan mata. Rasanya ingin melakukan perjalanan ke sana. Berlibur bersama keluarga dan teman dekat.
Terutama keindahan alam Danau Toba yang memukau membuat film ini lebih mahal penyajiannya. Indahnya menikmati suasana Danau Toba sambil mengendarai mobil bersama keluarga.Â
Sesuai dengan tujuan pemerintah untuk mengenalkan kebudayaan Indonesia, film ini seratus persen berisi tentang budaya Batak. Soundtrack khas Sumatera Utara yang banyak dibawakan Tanta Ginting pun bikin nuansa adat Batak semakin terasa. Seluruh pemain yang terlibat pun adalah orang Batak. Logat Batak yang khas berhasil dibawakan maksimal tanpa canggung.
Bagi suku lain, mungkin akan merasa aneh dengan upacara adat Mangokal Holi. Bahkan terksesan menyeramkan karena digelar untuk memindahkan tulang belulang nenek moyang. Sebuah rituan yang janggal bagi sebagian orang.
Setelah menonton film ini, penonton diberikan gambaran tentang tradisi Mangokal Holi yang begitu menyentuh. Penyampain dikemas dengan bagi. Sebagai pengingat bahwa upacara adat Mangokal Holi adalah penghormatan dan perayaan untuk para leluhur yang telah tiada.
Tak hanya mengenalkan budaya Batak, film ini menyuguhkan drama keluarga yang relate bagi sebagian orang. Mulai dari tuntutan kepada anak sulung, tuntutan anak perempuan untuk segera menikah, anak bungsu yang selalu dianggap anak kecil, hingga anak yang dicap paling bandel di keluarga.Â
Meski selalu ada konflik keluarga, bukan berarti seluruh anggota keluarga tak saling menyayangi. Film ini mencoba mengingatkan bahwa rasa sayang yang ditunjukan oleh setiap orang itu berbeda-beda. Begitu juga dengan pola asuh orang tua kepada anaknya.
Mungkin masih banyak yang beranggapan bahwa pola asuh orang tua yang diberikan tidak sesuai dengan yang diharapkan sang anak. Namun cara itu adalah cara terbaik dan bentuk ungkapan rasa sayang orang tua kepada anaknya. Kurangnya komunikasi membuat anggota keluarga sering berburuk sangka dan tak bisa menghindari konflik.Â
Pesan yang paling pamungkas, yang ingin disampaikan oleh film Tulang Belulang Tulang adalah memaknai arti harga diri keluarga. Harga diri keluarga selalu dikaitkan dengan nama baik keluarga yang dipandang oleh orang lain. Namun ternyata, makna yang sebenarnya adalah hubungan harmonis yang terdapat pada keluarga itu. Bukan kesan atau cara pandang orang lain terhadap keluarga kita.Â
Secara keseluruhan, film Tulang Belulang Tulang berhasil memperlihatkan keindahan kebudayaan Batak. Muldai dari keindahan Danau Toba, adat istiadat yang berlaku, hidangan khas Batak, dan karakter suku Batak yang dilatar belakangi oleh kakek neneknya.Â
Bagi penonton yang asli bersuku Batak, pasti akan sangat relate dengan film ini. Mulai dari penokohan, sampai budaya Batak yang disuguhkan.Â
Sebenarnya review film ini pun akan lebih lengkap dan sempurna jika disampaikan oleh suku Batak. Bisa memberikan penjelasan lebih lengkap dan menjawab pertanyaan penonton yang masih penasaran dengan budaya Batak.Â
Penulis review film ini adalah orang Sunda yang sama sekali tidak mengerti budaya Batak. Hanya bermodal pengalaman menonton film, bercakap dengan teman dari suku Batak, dan pengetahuan umum yang didapatkan saat sekolah atau media lain. Mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan atas ketidaktahuan penulis tentang budaya Batak.
So far, setelah menonton film ini, saya semakin tertarik untuk mengetahui budaya dari suku lainnya. Film-film seperti ini harus semakin getol digarap oleh para pembuat film.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H