Semua orangtua pasti menginginkan anaknya disiplin dalam segala hal. Mulai dari kegiatannya di dalam rumah, sampai saat berkegiatan di sekolah. Orangtua menerapkan pola asuh yang mengharapkan anak akan menjadi pribadi yang disiplin. Misalnya menjadwalkan aktivitasnya dari bangun tidur sampai kembali terlelap di malam hari. Begitu pula dalam menaati peraturan di sekolah.
Tentu tidak mudah untuk mengajarkan anak tentang pentingnya nilai-nilai kedisiplinan. Sewaktu-waktu ia menuruti peraturan atau permintaan orangtua. Namun disaat tertentu, ia enggan untuk menuruti bahkan cenderung melawan untuk menyuarakan keinginannya.
Di saat seperti ini, cara ampuh yang paling sering dikeluarkan oleh orangtua adalah dengan menakut-nakuti sang anak. Dengan begitu, anak merasa takut untuk melawan sehingga memilih untuk mengikuti perintah dari orangtuanya.
Misalnya ketika anak kesulitan untuk tidur sehingga ingin menonton tv atau bermain dulu. Bukannya menemani anak sampai tidur, masih banyak orangtua yang menakut-nakuti jika tidur lebih dari jam delapan malam akan muncul hantu dari bawah kasur. Tidak ada pilihan selain bergegas tidur dengan memejamkan mata penuh keterpaksaan dan ketakutan. Daripada harus melihat hantu yang katanya menakutnya dan suka menculik anak-anak.
Masih banyak contoh-contoh lainnya yang membuat orangtua menerapkan pola asuh dengan menakut-nakuti anak. Memang niatnya baik, yaitu agar anak disiplin. Semua juga pasti demi kebaikan sang anak. Namun, apakah benar menakuti-nakuti anak akan membuatnya menjadi pribadi yang lebih disiplin?
Sayangnya, orangtua yang mendisiplinkan anak dengan cara menakut-nakuti adalah cara yang salah. Ketakutan yang tertanam, terekam, dan terbangun dari diri sang anak bukan nilai-nilai kedisiplinan. Justru malah ketakutan yang dipicu dari gangguan kecemasan atau serangan panik yang terlalu berlebihan.
Dalam keadaan ditakut-takuti, anak memilih mencari jalan aman agar tidak merasa takut. Bukan karena tahu atau memilih sebuah kebiasaan yang menurutnya memang baik dan memberikan banyak manfaat. Untuk menghindari hal menakutkan yang dikatakan oleh orangtuanya, ia akan mencari jalan aman agar omongan orangtuanya tidak menjadi kenyataan. Itu semua sama sekali tidak mendidik anak menjadi pribadi yang disiplin karena dilandasi dengan ketakutan.
Mungkin masih ada orangtua yang menganggap bahwa cara menakut-nakuti adalah cara ampuh untuk membuat anak menurut. Namun jangan senang dulu dengan keberhasilan itu. Ternyata cara menakut-nakuti anak malah berdampak negatif pada tumbuh kembang anak.
Dampak yang pertama adalah membuat anak menjadi pribadi yang penakut. Kreativitas anak tidak berkembang karena apa yang tertanam pada pikirannya adalah takut mencoba hal baru. Takut untuk melakukan A, B, C, D, sampai Z. Belum apa-apa, ia sudah merasa khawatir, cemas, dan panik berlebihan.
Misalnya ketika anak harus melakukan vaksin di sekolah yang merupakan program dari pemerintah. Belum mencoba, anak sudah ketakutan mendengar rumor bahwa ia akan disuntik. Ketakutan itu muncul karena ia pernah ditakut-takuti harus meminum obat saat sakit agar tidak disuntik oleh dokter. Dampaknya lebih parah lagi karena ia tidak mau memiliki cita-cita sebagai dokter karena takut mendengar suntikan.Â
Anak juga akan bergantung kepada orangtua bahkan kepada orang lain ketika ia dewasa. Seraing ditakut-takuti, membuat dirinya tidak berani untuk melakukan sendiri. Kesulitan memecahkan masalah sendiri sehingga harus selalu bergantung kepada orang lain.
Hal ini bisa saja terbawa sampai dewasa. Ketika anak tumbuh dewasa dan berhadapan dengan sebuah kondisi yang mengharuskannya melakukan sendirian secara mandiri, ia khawatir tidak bisa karena tanpa bantuan dari siapa-siapa.Â
Anak yang sering ditakut-takuti, cenderung takut untuk melakukan hal baru termasuk berpergian ke tempat yang baru. Ia terlanjur nyaman dengan keadaannya saat ini yang begitu banyak perlindungan dari orang sekitar.Â
Ketika ia bermain dengan teman sebayanya di lingkungan rumah ataupun sekolah, ia merasa takut bersama orang asing yang tak ia kenali. Harus selalu ada orang yang dia percaya menemani, misalnya orangtuanya. Sulit baginya untuk bisa berinteraksi dengan lingkungan baru. Termasuk sulit untuk masuk pada lingkungan pertemanan teman sebayanya.
Dampak selanjutnya adalah hilangnya rasa percaya diri anak. Ia tidak percaya pada dirinya sendiri karena selalu terjebak dengan rasa takut yang tertanam dalam pikirannya. Belum mencoba hal baru, ia sudah merasa tidak mampu untuk mencoba hal baru itu. Bahkan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Akhirnya anak akan menutup diri hingga dewasa karena merasa aman sendirian atau hanya bersama orang-orang yang ia percaya. Alhasil hanya akan merugikan dirinya sendiri di masa depan. Ia menjadi pribadi yang sulit untuk mencoba, melakukan hal baru, bahkan untuk melakukan hal-hal yang memengaruhi karier di masa depan.
Kebiasaan menakut-nakuti anak dengan hal-hal yang tidak masuk akal sama saja dengan membohongi anak. Memang pada dasarnya anak sangat mudah untuk percaya. Namun seiring dengan pertumbuhannya, ia akan mengetahui kebenarannya.
Sampai akhirnya ketika anak sudah mengerti bahwa ancaman yang pernah orangtuanya dulu hanyalah sebuah kebohongan karena ia akhirnya sadar hal itu tidak mungkin terjadi. Bisa saja membuat anak kecewa karena selama ini ternyata ia dibohongi tentang sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi.
Setiap orangtua memiliki cara tersendiri dalam mengasuh anaknya. Termasuk dalam mendisiplinkan anak. Namun, membiasakan anak untuk disiplin dengan menakut-nakuti anak bukanlah solusi yang bijak.
Saat itu anak memang menurut. Bahkan menurut berkepanjangan karena merasa takut jika sekali saja ia tidak mengikuti perintah orangtuanya.
Namun ternyata, cara tersebut malah melahirkan permasalahan baru yang lebih besar dan lebih sulit untuk diatasi. Menyangkut dengan tumbuh kembangnya di masa depan yang begitu berharga.Â
Daripada menakut-nakuti anak apalagi sampai memberi ancaman, lebih baik memberikan penjelasan kepada anak dengan penjelasan yang sebenar-benarnya. Misalnya ketika anak tidak mau tidur, bukan malah ditakut-takuti akan diculik oleh hantu. Tetapi diberi penjelasan bahwa ia harus istirahat karena besok pagi harus bangun dan pergi ke sekolah lebih awal.Â
Penjelasan itu memang tidak mudah untuk diterima anak dibandingkan dengan ancaman diculik hantu. Namun penjelasan tersebut jauh lebih bijaksana dan mengajarkan anak untuk menghargai waktu. Bahwa ada kalanya bermain, ada kalanya istirahat, termasuk menepati aktivitas esok hari yang sudah ada jadwalnya.
Dengan begitu, perlahan anak akan bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk baginya. Menjadi bentuk pendewasaan dirinya.
Jika ada yang sudah terlanjur menakut-nakuti anak, tidak ada kata terlambat untuk merubah pola asuh yang ada. Meninggalkan cara yang lama dengan menggantinya menggunakan pola asuh yang baru.
Kalaupun sudah terlanjur muncul ketakutan pada anak, orangtua mendukung dan membantu anak untuk menghadapi sumber rasa takutnya. Dengan mendampinginya sampai anak berani melawan rasa takutnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H