Selama menonton serial Kartu Keluarga yang berjumlah delapan epidose, penonton benar-benar dimanjakan dengan visual dan sinematografi yang memukau. Menonton visualnya saja membuat penonton ingin berlama-lama dan tak ingin beranjak pada tontonan yang lain.
Serial Kartu Keluarga yang berlatar di Yogyakarta benar-benar menyuguhkan keindahan dari kota ini. Rasanya seketika kembali rindu ingin kembali menjelajah Yogyakarta. Mulai dari sepanjang jalan malioboro, berburu batik, alamnya yang masih asri, dan bangunan rumahnya yang begitu khas.
Serial ini juga menggambarkan aktivitas yang kerap dilakukan oleh masyarakat Yogyakarta. Seperti membatik, sampai berkeliling menggunakan becak. Melihat ini semua membuat penonton ingin segera berkunjung ke Yogyakarta. Ikut membatik dan tak lupa bekeliling di sepanjang Malioboro menggunkan jasa becak.
Meski bergenre drama komedi, sebenarnya serial ini tidak menunjukkan komedi secara gamblang. Unsur komedi hanya sebatas penggambaran watak para karakter yang dibuat berlebihan dalam menghadapi suatu masalah. Selebihnya saya rasa tidak didukung dengan dialog yang memang sengaja dilontarkan oleh para tokoh.
Serial ini sangat ringan untuk dinikmati. Mengalir begitu saja dan nyaman ditonton sambil beraktivitas yang lain. Penonton tak perlu berpikir keras atau serius pada serial ini saja. Dapat dibarengi dengan aktivitas lainnya. Ceritanya menghibur, ringan, dan mudah untuk dicerna.
Yang paling utama adalah tentang pesan moral yang ingin disampaikan oleh serial ini. Menunjukkan perjuangan single mom yang berusaha melakukan yang terbaik untuknya. Sampai rela melakukan apapun demi kebahagiaan anaknya. Demi cita-cita anaknya terwujud di masa depan.
Tak hanya itu, serial ini juga menyentil tentang pernikahan yang terlalu buru-buru. Bahwa pernikahan tidak hanya sekadar jatuh cinta lalu turun ke hati semata. Lebih dari itu. Perlu ada pertimbangan, termasuk melihat bibit, bebet, dan bobotnya.
Terbukti dari kegagalan pernikahan Bardi dan Yuni yang begitu terburu-buru. Mereka saling jatuh cinta pada pandangan pertama dan melangsungkan pernikahan tanpa restu dari orangtua Bardi. Alhasil setelah menikah, Bardi baru mengetahui sifat asli dari perempuan yang ia nikahi itu.
Dampak dari perceraian juga turut disentil pada serial ini. Ageng sebagai korban perceraian kedua orangtuanya menjadi pribadi yang begitu tertutup dan serba salah. Di satu sisi, ia menyimpan harapan agar kedua orangtuanya bisa kembali lagi. Ia juga begitu sedih melihat Ibunya yang sering digoda oleh orang lain karena tampilannya yang mencolok sebagai seorang janda beranak satu.
Pandangan masyarakat yang memandang buruk seorang janda yang sudah memiliki anak turut menjadi sorotan dalam cerita ini. Banyak yang menyepelekan Sri. Termasuk orangtua Gunawan yang enggan memberi kesempatan bahkan hanya sekadar berkenalan saja. Begitu pula orangtua Bardi yang tahu bahwa Sri adalah janda beranak satu. Padahal setelah mereka saling berkenalan, Sri adalah menantu idaman yang paling ideal.