Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Belajar Menormalisasi "Pakai Baju Itu-Itu Saja"

22 Agustus 2024   07:00 Diperbarui: 22 Agustus 2024   17:25 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pakaian berantakan. (Sumber: shutterstock via kompas.com) 

Sebuah wawancara santai dengan Romo Magnis yang dilakukan oleh Habib Husein Ja'far Al Hadar dalam channel YouTube-nya, Jeda Nulis. Video yang diunggah dan saya tonton satu tahun yang lalu itu membuat saya tergugah akan sebuah kesederhanaan yang menyejukkan hati.

Dalam video tersebut, Romo Magnis menggunakan celana kain formal dengan baju batik. Saat ditanya terkait celana itu, Romo Magnis mengungkapkan bahwa celana yang ia pakai berumur belasan tahun. Itu pun pemberian dari orang lain.

Romo Magnis dan Habib Ja'far. (Sumber: YouTube Jeda Nulis)
Romo Magnis dan Habib Ja'far. (Sumber: YouTube Jeda Nulis)

Setelah menonton video itu, prinsip menormalisasi 'memakai baju itu-itu aja' mulai saya terapkan sehari-hari. Tentunya bukan hanya karena terinspirasi semata. Namun saat saya renungkan, banyak manfaat dari memakai baju itu-itu saja.

Mungkin ada di antara kita yang pernah menggunjingkan seseorang yang terlihat memakai baju itu-itu saja. Saat ke kantor, pakaian bebasnya di luar seragam kerja, selalu itu saja. Saat acara di luar bersama teman-teman kantor, ada yang memakai baju itu-itu saja. Sampai saat tak sengaja bertemu di jalan, ia masih saja menggunakan baju yang sama.

Bahkan tidak hanya sekadar baju. Dari mulai topi atau kerudung yang dikenakan, sama saja. Sampai sepatu atau sandal pun tetap saja sama.

Saat melihat sosial medianya, hampir seluruh postingan yang menampakkan dirinya, terlihat memakai pakaian yang sama. Menenteng tas yang sama. Termasuk sepatu atau sandal yang sama.

Keadaan itu menjadi bahan obrolan. Mungkin dengan niat iseng semata. Merasa aneh karena ada orang yang memakai baju itu-itu saja. Memberikan label pelit sampai tidak menikmati hidup karena terkurung dengan benda-benda yang sama setiap hari. 

Sebenarnya ada banyak alasan seseorang menggunakan barang itu-itu saja. Apapun alasannya, tidak semestinya kita sebagai orang lain turut mengomentari bahkan sampai memberikan label yang tidak pantas. 

Ilustrasi membicarakan orang lain yang memakai baju itu-itu saja. (Sumber: Shutterstock kompas.com) 
Ilustrasi membicarakan orang lain yang memakai baju itu-itu saja. (Sumber: Shutterstock kompas.com) 

Stigma tersebut membuat kekhawatiran bagi saya dan orang-orang yang sedang berusaha menormalisasikan memakai baju itu-itu saja. Takut orang-orang menganggap aneh, sampai malu berteman dengan kita karena dianggap jorok atau bahkan tidak mengikuti tren.

Namun ternyata, seiring berjalannya waktu, pembelajaran menormalisasikan memakai baju itu-itu saja memberikan dampak yang bermanfaat dalam berbagai segi kehidupan.

Pertama, sudah jelas bahwa keadaan ini membuat kita tidak mudah tergiur dengan tren atau mode yang ada. Yang dapat dipastikan bahwa tren hanya berlaku sesaat saja. Ada masanya sampai muncul tren baru yang digemari banyak orang.

Mengikuti tren memang selalu dicap kampungan atau ketinggalan zaman. Namun konteksnya, "mengikuti tren" bukan berarti harus ikut-ikutan dengan perubahan yang ada. Sekadar tahu pun sudah termasuk mengikuti tren itu sehingga tidak ketinggalan informasi yang sedang ramai diperbincangkan.

Dengan memberikan filter, mana tren yang harus diterapkan dan mana yang tidak, membuat kita bisa memproteksi diri dari pengeluaran yang percuma. Uang yang seharusnya dapat dimanfaat untuk kebutuhan lain yang lebih penting, malah harus keluar secara cuma-cuma demi ego mengikuti yang sedang tren.

Endingnya tetap saja, akan ada tren terbaru yang bermunculan ke permukaan. Selalu seperti itu berputar. Tak ada habisnya. Alhasil pengeluaran tak terduga tak bisa lagi direm.

Ilustrasi perempuan minimalis dengan sedikit pakaian.(Sumber: SHUTTERSTOCK/STOCK STORY via kompas.com) 
Ilustrasi perempuan minimalis dengan sedikit pakaian.(Sumber: SHUTTERSTOCK/STOCK STORY via kompas.com) 

Dampak yang paling saya rasakan setelah belajar menormalisasi memakai baju itu-itu saja adalah mengurangi stres karena melihat tumpukan baju di lemari yang amburadul. Jangankan ada niatan untuk merapikan, saat hendak memilih baju yang akan dipakai pun jadi kesulitan karena begitu banyak pilihan. Alhasil, yang dipakai adalah baju itu-itu saja yang paling mudah dijangkau.

Melihat tumpukan baju di lemari benar-benar membuat saya stres. Apalagi ketika lemari sudah tidak muat menampung seluruh pakaian yang dimiliki. Tidak mungkin membiarkan pakaian berceceran di lantai atau digantung begitu saja di pintu-pintu. Tentu akan mengundang banyak nyamuk dan tidak enak dipandang oleh tamu yang berkunjung.

Ilustrasi lemari pakaian berantakan.(Sumber: Shutterstock/varandah via kompas.com) 
Ilustrasi lemari pakaian berantakan.(Sumber: Shutterstock/varandah via kompas.com) 

Selintas solusinya adalah dengan membeli lemari baru sehingga pakaian yang tidak muat pada lemari lama, bisa dimasukkan ke dalam lemari baru. Justru malah menambah beban baru karena rumah yang sempit semakin sesak dengan lemari baru. Apalagi jika sudah tidak ada space untuk menambah perabot rumah yang begitu besar. Malah semakin menambah tingkat stres sehari-hari.

Setelah menormalisasi memakai baju itu-itu saja, sangat mengurangi stres saat membuka lemari. Lebih mudah merapikan lemari baju karena hanya sedikit. Tidak lagi kebingungan memilih baju saat hendak bepergian yang biasanya menguras waktu hanya untuk menentukan baju mana yang akan dipakai.

Belum lagi ketika melihat orang lain yang membutuhkan bantuan kita menggunakan baju yang tidak layak. Sedangkan kita membiarkan lemari baju kita tidak bisa ditutup. 

Ilustrasi pakaian berantakan. (Sumber: shutterstock via kompas.com) 
Ilustrasi pakaian berantakan. (Sumber: shutterstock via kompas.com) 

Menormalisasi memakai baju itu-itu saja bukan berarti hanya memiliki satu baju saja. Mulai dari bangun pagi, berkegiatan, sampai menjelang tidur menggunakan baju yang sama. Maksudnya adalah memiliki pakaian secukupnya saja. Disesuaikan dengan kebutuhan setiap orang yang tentunya berbeda-beda.

Misalnya, pegawai kantoran hanya memakai baju kerja bebas di hari Kamis sampai Sabtu saja. Sedangkan hari Senin sampai Rabu menggunakan seragam yang menjadi ketentuan dari kantor.

Jadi, pegawai kantor itu bisa menyesuaikan baju kantor bebas yang harus ia miliki untuk dipakai pada hari Kamis sampai Sabtu. Tak lupa menyiapkan baju hari Minggu ketika berlibur atau jalan-jalan keluar untuk rehat dari aktivitas pekerjaan.

Lain halnya jika seseorang yang berprofesi sebagai selebriti. Tampil di televisi setiap hari. Membuat konten di media sosial. Membuat dirinya harus memperhatikan penampilan. Termasuk dalam hal berpakaian. Bisa terbilang hanya memakai baju sekali pakai. 

Ilustrasi lemari pakaian. (Sumber: Shutterstock via kompas.com) 
Ilustrasi lemari pakaian. (Sumber: Shutterstock via kompas.com) 

So, semuanya dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Terpenting adalah tidak berlebihan untuk apapun juga. Termasuk dalam berpakaian. Secukupnya saja sesuai dengan kegunaannya masing-masing. Seperti pakaian formal, santai, ke undangan, olahraga, dan pakaian lain sesuai kegunaannya.

Jangan sampai konsumtif dalam membeli pakaian sampai menimbulkan banyak permasalahan. Mulai dari lemari yang penuh dan pengeluaran yang tidak bisa dikontrol. Alhasil hanya meningkatkan stres hidup di tengah-tengah permasalahan hidup lainnya.

Lewat artikel ini, bukan serta merta untuk mengajak pembaca menerapkan prinsip ini. Namun mengingatkan untuk tidak menganggap aneh orang-orang di sekeliling yang hanya terlihat memakai baju atau barang itu-itu saja. Ada banyak alasan hanya memakai pakaian itu. Tidak sepatutnya untuk digunjingkan apalagi dicap orang aneh atau pelit. 

Yuk, normalisasi memakai baju itu-itu aja mulai dari sekarang!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun