Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dear Gen Z, Jangan Terjebak Fenomena FOMO, YOLO, dan FOPO!

13 Agustus 2024   17:00 Diperbarui: 13 Agustus 2024   18:28 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cemas dampak dari FOMO, YOLO, dan FOPO. (Sumber: shutterstock kompas.com) 

Tuntutan fenomena YOLO karena ada tuntutan dari FOPO. Di mana seseorang merasa takut dengan pendapat dari orang lain. Daripada orang lain mencap dirinya kudet (kurang up date) atau bahkan kampungan karena tak membagikan postingan yang keren, alhasil YOLO menjadi alasan untuk mendapatkan validasi dari orang lain.

Sebelum membahas dampak dari ketiga fenomena sosial ini, kita harus tahu dulu penjelasan yang lengkap terkait dengan FOMO, YOLO, dan FOPO. 

Ilustrasi scroll media sosial. (Sumber: Diabetes.uk via kompas.com) 
Ilustrasi scroll media sosial. (Sumber: Diabetes.uk via kompas.com) 

FOMO singkatan dari Fear of Missing Out. Fenome FOMO muncul karena faktor psikologis dan sosial yang mempengaruh presepsi dan perilaku seseorang. Seseorang yang mengalami FOMO, sedang merasa takut tertinggal karena tidak mengikuti aktivitas tertentu. Aktivitas ini bisa berupa seperti beria terbaru, tren yang sedang ramai, dan kegiatan lainnya yang sedang viral di mana-mana. 

Peranan media sosial sangat mempengaruhi fenomena FOMO. Di mana media sosial begitu cepat berubah-rubah segala informasi yang dibagikan di sana. Tidak mudah untuk diprediksi. Ketika 5 menit saja seseorang meninggalkan dunia media sosial, lalu saat kembali membuat media sosial, dia akan mendapatkan informasi terbaru yang sudah update sejak 5 menit yang lalu. Hal ini sangat memungkina seseorang merasa cemas karena telat mendapatkan informasi.

Rasa cemas dan ketidakbahagiaan pun bisa diakibatkan dari fenomena FOMO imbas dari media sosial. Melihat teman yang membagikan kehidupan pribadinya dalam media sosial, terlihat begitu menarik dan membuat iri hati. Yang terjadi adalah membandingkan kehidupan pribadi dengan kehidupan orang lain di media sosial yang sebenarnya belum tentu keberannya seperti apa. Bisa saja hanyas sebuah jepretan yang di edit dan penuh settingan semata.

Ilustrasi YOLO. (Sumber: kompas.com)
Ilustrasi YOLO. (Sumber: kompas.com)

Sedangkan YOLO adalah singkatan dari You Only Live Once. Sama seperti FOMO, bahwa YOLO juga terjadi karena faktor psikologis dan sosial yang memengaruhi persepsi dan perilaku individu. Namun bedanya, YOLO menganggap bahwa menikmati kehidupan adalah yang utama sehingga bisa bebas melakukan apapun sesuka hati. 

Fenoma YOLO terjadi bisa saja terpicu karena adanya fonemena FOMO. Seseorang yang merasa tertinggal, mencoba untuk menggapai sesuatu itu agar tidak ketinggalan dari orang lain. Alhasil, cara ampuhnya adalah dengan alasan untuk menikmati kehidupan.

Misalnya ketika seseorang melihat temannya sedang liburan di suatu tempat wisata yang sedang viral. Tempatnya bagus dan tentu sedikit menguras isi rekening. Berbekal rasa tidak ingin ketinggalan up date, apapun caranya harus pergi berlibut ke tampat wisata itu. Dengan dalih hidup hanya sekali, maka harus dinikmati. Jangan sampai disia-siakan.

Padahal, budget yang dikeluarkan tidak sesuai dengan isi saldo rekening. Belum lagi jatah cuti di kantor yang sudah habis. Alhasil harus pinjam sana-sini dan terpaksa bolos kerja dengan ganjaran potong gaji. Bukannya mendapatkan kebahagiaan, justru malah mengundang masalah baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun