Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

UKT Mencekik, Rakyat Menjerit

20 Mei 2024   19:00 Diperbarui: 25 Mei 2024   15:31 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
BEM USU berdialog dengan rektor USU saat unjuk rasa kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) di Biro Rektor USU, Rabu (8/5/2024)(Rahmat Utomo/Kompas.com) 

Asas keterjangkauan dalam pendidikan tinggi sudah diatur dalam Pasal 3 huruf i UU Nomor 12/2012. Di mana pendidikan tinggi harus terjangkau oleh kelangan masyarakat secara adil. Adil di sini bukan berarti sama rata, di mana ada patokan biaya yang disamaratakan untuk seluruh calon mahasiswa atau yang sudah berstatus mahasiswa. Namun adil dalam penetapan nominal UKT yang dibebankan. Yang di mana disesuaikan dengan pendapatan dari orangtua atau wali dari mahasiswa yang bersangkutan.

Sekalipun ada kesalahan dalam hal verifikasi, yang dimana nominal UKT yang harus ditanggung oleh mahasiswa melebihi dari pendapatan orangtua atau walinya, maka mahasiswa tersebut harus bisa melakukan sanggahan pada masa sanggah. Dengan begitu, tim verifikasi bisa mengecek ulang, apakah nominal UKT yang dibebankan sudah sesuai ketentuan atau tidak. 

Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman demonstrasi  menolak kenaikan UKT,  Jumat (26/4/2024) sore.(KOMPAS.COM/FADLAN MUKHTAR ZAIN)
Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman demonstrasi  menolak kenaikan UKT,  Jumat (26/4/2024) sore.(KOMPAS.COM/FADLAN MUKHTAR ZAIN)

Pihak kampus tentunya harus menyediakan layanan pengajuan bagi mahasiswa yang merasa keberatan dengan UKT yang ia tanggung. Bukan malah menatap sinis para pendemo, sampai mengancam DO bagi para mahasiswa yang vokal menuntut keadilan. Apalagi sampai menyertakan pihak kepolisian untuk menangkap mahasiswa yang bersangkutan.

Pikiran kampus hanya bisa dijangkau oleh anak orang kaya harus dibuang jauh-jauh. Prinsip buruk yang melekat ini justru malah menjatuhkan mental para anak bangsa. Mereka akan cenderung mengubur mimpi rapat-rapat karena harus berada pada sistem yang tidak mendukung mimpi-mimpinya.

Jika memang kuliah adalah pilihan, maka seharusnya lowongan pekerjaan pun tidak dipatok harus bergelar sarjana. Bahkan kini untuk lolos menjadi ASN dan BUMN, pelamar harus menyertakan berbagai persyaratan. Mulai dari ijazah terakhir sampai sertifikat kemahiran bahasa asing seperti TOEFL.

Kuliah menjadi tuntutan keadaan karena perusahaan swasta sampa instansi pemerintahan menuntut para pelamarnya untuk bergerlar. Dengan begitu, pendidikan tinggi bukan lagi dijadikan pilihan. Pilihan untuk melanjutkan studi atau tidak. Karena kini semua orang dirasa sudah pada tahap membutuhkan pendidikan tinggi agar bisa bersaing pada seleksi pelamaran pekerjaan.

Rasanya kurang elok seorang pegawai pemerintahan yang fokus pada dunia pendidikan memberikan pernyataan pendidikan tinggi termasuk kelompok tersier. Bagai mencari istilah halus yang enak untuk didengar dicampur teori-teori ekonomi. Padahal jelas menyatakan bahwa bangku perkuliahan hanya terbuka untuk orang-orang yang memiliki cuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun