Biasanya Ibu akan mengajak anaknya untuk menyiapkan sajian berbuka puasa. Sedangkan Ayah mengajak anaknya untuk berburu takjil.Â
Tidak hanya orang tua, sang kakak juga biasanya ikut terlibat mengajak adiknya untuk ngabuburit. Seperti mengajaknya bermain di teras rumah, atau bahkan pergi ke taman kota untuk bermain perosotan hingga ayunan.
Saya ingat betul tradisi ngabuburit yang tertanam sejak kecil sangatlah menyenangkan. Meskipun sederhana, tetapi sangat membekas dan berkesan. Tak bisa terlupakan bahkan selalu bikin rindu. Rasanya ingin kembali ke masa kecil.
Biasanya, sepulang mengaji, Ayah dan Ibu mengajak saya ke taman kota. Menaiki perosotan dan ayunan. Bermain gelembung balon yang dibeli dari abang-abang yang berjualan di sana. Lebih menarik lagi saat menonton arena tamiya yang dikerumuni anak laki-laki.
Mata ini langsung berbinar melihat tamiya yang silih berganti berjalan di jalurnya. Sesekali terlihat raut kesal saat ada tamiya yang malah ke luar dari jalurnya.
Anak-anak zaman sekarang sepertinya tidak mengalami kegiatan ngabuburit yang menyenangkan seperti itu. Melihat keponakan sendiri saja lebih asyik menatap layar ponsel sembari main game online.
Sudah 26 tahun menjalankan tradisi ngabuburit, saya tersadar bahwa ternyata lokasi favorit ngabuburit saya justru adalah Kampus. Mulanya saya berpikir bahwa ngabuburit di masa kecil adalah momentum paling berkesan selama Ramadan. Namun ternyata, kegiatan di kampus lebih menyenangkan! Mungkin karena sudah diimbangi dengan pola pikir yang lebih dewasa. Membuat saya tersadar bahwa ngabuburit tak boleh hanya kegiatan asal saja.Â
Pikiran ini muncul ketika tidak sengaja melihat sebuah foto lama yang ada di galeri ponsel. Tepatnya pada tahun 2015, 2016, 2017, dan tahun 2019. Masa-masa saat menempuh kuliah S1 di universitas negeri yang ada di Priangan Timur.
Selama empat tahun berstatus mahasiswa, saya tersadar bahwa selama empat tahun pula saya menjalankan tradisi ngabuburit di tanah rantau. Jauh dari orang tua kadang membuat merasa sepi bahkan jadi galau sendiri.Â
Rasa sepi itu terpatahkan dengan mengisi waktu ngabuburit dengan kegiatan positif yang menyenangkan sekaligus bermanfaat. Senasib hidup sendirian di tanah perantauan, membuat mahasiswa berkumpul di Kampus.Â