Singkat cerita, Pamannya menemui dirinya di rumah persembunyian Loh Kiwan. Ia memberikan uang dan berkas-berkas untuk kabur ke Belgia. Sang Paman mengaku bahwa uang tersebut adalah hasil dari menjual jasad Ibunya ke sebuah rumah sakit.
Mendengar itu, Loh Kiwan sangat hancur dan merasa bersalah. Ia sangat ingin mengakhiri hidupnya. Namun Pamannya mengingatkan bahwa ini adalah mandat dan keinginan Ibunya untuk mau menukarkan nyawanya demi kehidupan Loh Kiwan yang lebih baik di Belgia.
Dengan modal seadanya, Loh Kiwan terbang ke Belgia dan berusaha untuk mendapatkan hak suaka di sana. Ternyata untuk mengurus perizinan tinggal di Belgia sangatlah susah dan butuh waktu yang panjang. Apalagi dirinya adalah seorang pembelot Korea Utara.
Tidak kenal siapa-siapa dan kesulitan berkomunikasi, membuat Loh Kiwan harus bertahan seorang diri dengan keadaan yang memprihatinkan. Memungut makanan sisa, sampai tidur di toilet umum agar tidak terkena badai salju di luar sana. Untuk bertahan hidup, ia memungut botol kaca bekas yang dapat ia tukar dengan uang koin di sebuah supermarket.
Suatu malam, wc umum tempatnya berteduh sedang diperbaiki. Ia pun kebingungan harus ke mana.Â
Saat menghangatkan tubuh di dekat perapian yang ia dirikan, datanglah segerombol preman yang menghajarnya sampai babak belur. Tak bisa melakukan perlawanan, Loh Kiwan berlari sempoyongan ke sebuah tempat laundry. Ia jatuh pingsan di dekat sebuah mesin cuci.
Saat tak sadarkan diri, Loh Kiwan didekati seorang wanita cantik yang mabuk berat dan berniat untuk mencuri dompetnya. Dalam sekejap mata, Loh Kiwan kehilangan uang peninggalan Ibunya.
Bermodal bukti cctv di tempat laundry tersebut, Loh Kiwan melapor ke polisi dan akhirnya bertemu dengan wanita pencuri itu. Ternyata wanita itu adalah orang Korea bernama Marie Lee.
Tentunya Marie Lee bukanlah seorang pembelot seperti Loh Kiwan. Sejak kecil Marie memang tinggal di Belgia. Ia lahir dari keluarga berada, namun memutuskan untuk hidup sendirian tanpa campur tangan Ayahnya. Marie dan sang Ayah tidak lagi menjalin hubungan harmonis sejak kematian Ibunya. Marie menyalahkan Ayahnya atas kematian sang Ibu. Sedangkan Sang Ayah masih berusaha untuk dapat menerima takdir kematian istrinya.
