Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Artikel Utama

Orangtua Suportif di Usia Ideal Anak Belajar Puasa

4 Maret 2024   14:40 Diperbarui: 12 Maret 2024   03:27 1609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berbuka puasa bersama anak. (Sumber: Shutterstock via kompas.com) 

Tak terasa sebentar lagi akan memasuki bulan suci Ramadan. Suasana Ramadan yang khas sudah terasa sejak sekarang.

Terlihat dari ramainya iklan bertema puasa di televisi. Supermarket pun sudah dipenuhi dengan kue-kue kaleng khas Idul Fitri.

Menyambut penuh sukacita bulan suci Ramadan adalah hal yang dirindukan. Momentum hangat yang bisa dirasakan oleh seluruh umat muslim di muka bumi.

Momentum tertentu yang hanya bisa dilaksanakan dan dirasakan saat bulan Ramadan saja. Mulai dari buka bersama, sahur bersama keluarga, ngabuburit mencari takjil, sampai berbagai takjil ke pengandara yang berlalu lalang.

Menikmati suasana puasa bersama keluarga menjadi momentum yang paling indah. Menyiapkan sajian untuk berbuka, tarawih bersama, sahur bersama, sampai menyiapkan seragam untuk hari raya.

Flashback sejenak saat kita masih kecil ketika orangtua untuk pertama kalinya mengenalkan puasa kepada kita. Perlahan kita dilibatkan dalam momentum puasa. Yang paling ditunggu adalah mendapatkan amplop THR yang biasanya dibagikan saat berkumpul di rumah nenek.

Sebenarnya, kapan usia ideal si kecil belajar puasa? Apakah dulu ketika orangtua kita mengajak kita berpuasa dengan metode yang sudah benar?

Bagi si kecil yang tumbuh kembang di lingkungan yang menaati aturan agama Islam, ia pasti mulai bertanya-tanya terkait puasa. Apalagi ketika ada temannya yang bertutur penuh bangga sedang melaksanakan puasa dan berniat menuntaskan sampai adzan Maghrib.

Responsnya akan berbeda-beda. Ada yang cuek saja. Namun, adapula yang menjadi tertarik untuk ikut puasa di esok hari.

Memang terkadang lebih mudah mengajarkan kebenaran sedari dini. Dibandingkan mengajak pada hal-hal baik pada orang dewasa. 

Menurut pakar psikologi, yaitu Dra. Adriani Purbo, M.Psi. yang dikutip dari laman resmi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, si kecil sudah bisa dikenalkan terkait konsep berpuasa sejak usia 3 tahun.

Tentunya pengenalan tidak langsung dengan mengajak si anak berpuasa. Biarkan si anak mengenal terlebih dahulu dengan merasakan langsung suasana bulan Ramadan.

Jika dirasa sudah memungkinkan untuk belajar puasa, anak bisa bertahap melakukan ibadah puasa. Misalnya hanya dibatasi untuk tidak mengkonsumsi makanan pokok saja. Seperti tidak makan nasi.

Bisa juga dengan membatasi waktunya saja. Karena baru belajar, si kecil cukup diajak berpuasa sampai setengah hari saja. Misalnya sampai pulang sekolah. Sekitar empat atau lima jam saja.

Setelah itu, biarkan si kecil untuk berbuka layaknya orang dewasa berbuka puasa saat terbenam matahari.

Perlu untuk digarisbawahi bahwa mengajarkan puasa kepada anak tidak hanya sekadar menahan haus dan lapar saja. Orangtua harus menjelaskan pula keutamaan dan alasan mengapa agama Islam mewajibkan umatnya untuk berpuasa.

Dengan pemahaman yang dikemas menggunakan kalimat yang sederhana, anak akan merasa bahwa puasa bukanlah sebuah aturan yang di mana jika melanggar akan mendapatkan dosa. Kesalahannya adalah pemahaman yang tertanam sejak dini bahwa jika melanggar adalah masuk neraka. 

Memang seperti itu. Tapi jika orangtua menerapkan pemahaman seperti itu kepada sang anak, anak akan merasa bahwa ibadah adalah keterpaksaan semata. 

Berilah pemahaman bahwa puasa bukan hanya sekadar wajib bagi setiap umat muslim, tetapi juga karena sebagai bentuk syukur dan pengingat atas segala nikmat yang Tuhan beri. Tentunya orangtua harus menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh si kecil.

Dengan begitu, anak tidak berpikir bahwa puasa adalah kewajiban yang menakutkan karena ada surga dan neraka. Tetapi anak mencerna dengan jelas alasan mengapa dia harus berpuasa. Pemahaman itu akan ia tanam sampai dewasa.

Saat di fase dewasa, anak sudah bisa berpikir sendiri sehingga memperdalam prinsip yang tertanam sejak dulu terkait kewajibannya untuk berpuasa di bulan Ramadan. 

Perlahan, puasa bukan hanya sekadar wajib ia laksanakan. Tetapi karena memang dia membutuhkan puasa sebagai bentuk syukur atas segala kenikmatan.

Selain itu, orangtua harus suportif dengan melibatkan anak pada kegiatan-kegiatan di bulan Ramadan. Anak akan merasakan suasana Ramadan seutuhnya. Ia akan berpikir bahwasanya Ramadan tidak hanya sekadar berpuasa saja.

Dengan mengajaknya sahur bersama-sama. Melengkapi gizi sang anak pada saat waktu sahur dan berbuka. Termasuk minum susu yang biasanya begitu sulit untuk anak-anak tinggalkan karena masih dalam masa pertumbuhan.

Tak lupa berburu takjil menjelang berbuka puasa. Biarkan si kecil memilih takjil favoritnya. Sebagai motivasi dan penyemangat menantikan adzan Maghrib.

Jangan hanya mengajarkan. Tetapi juga orangtua harus memberikan contoh. Mengisi kegiatan yang positif saat berpuasa. Ajak si kecil bermain dengan kegiatan yang tidak terlalu menguras energi. 

Lebih baik lagi dengan mengaji bersama sembari mengajarkan si kecil mengenal huruf Hijaiyah. Orangtua juga bisa menceritakan Nabi dan Rasul yang wajib diketahui kepada sang anak. Tentunya dengan bahasa dan ekspresi yang menyenangkan kepada si kecil.

Tak lupa untuk mengajak anak sholat tarawih. Baik itu di rumah ataupun di mesjid. 

Semuanya memang terasa sulit. Apalagi untuk anak yang masih tak bisa mengontrol moodnya.

Detik ini, ia sangat semangat dan antusias untuk berpuasa. Tetapi beberapa menu kemudian antusiasnya hilang karena tergoda es krim di warung sebelah.

Maka dari itu, yang paling terpenting adalah mencontohkan kepada sang anak. Tidak hanya mengenalkan dan mengajak anak untuk belajar, tetapi orangtua harus memberikan contoh sebagai cerminan yang baik bagi si anak.

Anak bukanlah pendengar yang baik. Anak tidak mudah menurut hanya sekadar diberi perintah. Namun anak adalah peniru yang baik. Anak-anak akan mengikuti dan meniru apa yang ia lihat dari sekelilingnya.

Meski banyak para ahli yang menyebutkan untuk mengajak anak berpuasa sejak dini, bukan berarti setiap anak di usia tersebut dalam keadaan siap untuk menjalani ibadah puasa. Yang paling tahu terkait kondisi sang anak hanyalah orangtuanya.

Maka dari itu, sebagai orangtua yang paham betul bagaimana kondisi dan karakter si kecil, dapat mengukur kapan waktu yang tepat mengajaknya puasa.

Metode belajarnya pun akan berbeda-beda. Mungkin hanya dibatasi tidak mengkonsumsi makanan pokok saja karena si kecil sering mengeluh sakit perut. Atau bisa juga hanya puasa beberapa jam saja.

Jangan pernah paksa anak untuk berpuasa. Apalagi sampai membandingkan dengan anak-anak seusianya. Karena kesiapan setiap anak itu berbeda-beda. Cara penanganannya pun berbeda.

Lakukan secara perlahan saja. Biarkan si anak merasakan suasana hangat selama bulan Ramadan. Sampai akhirnya si kecil dirasa siap untuk mulai melakukan ibadah puasa.

Tentunya tetap harus dengan pengawasan orangtua. Selalu pantau anak saat puasa terutama saat ia sedang bermain di luar. Jika sudah terlihat pucat karena aktif berkegiatan yang mengurus energi, orangtua dapat membujuk anak untuk tidak memaksakan melanjutkan puasa.

Tidak ada yang instan, termasuk mengajarkan si kecil berpuasa. Peran orangtua yang suportif sangat dibutuhkan dalam proses si kecil belajar puasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun