Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Belum atau Tidak Menikah Bukan Berarti Tidak Bahagia

11 Februari 2024   06:30 Diperbarui: 16 Februari 2024   03:45 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah mengalami fase mendapatkan pertanyaan 'kapan menikah' ? Atau mungkin malah kamu yang sering menanyakan pertanyaan itu kepada orang lain?

Pertanyaan kapan menikah biasanya sering ditanyakan di pertemuan keluarga atau acara reunian. Perkumpulan itu biasanya sebagai ajang membandingkan kesuksesan satu sama lain.

Misalnya cucu pertama sudah mendapatkan pekerjaan oke dan tinggal di luar negeri. Sedangkan cucu kedua sedang menjalani kuliah S3 di luar negeri dengan full beasiswa. Ada pula yang menunjukkan kemesraan dengan keluarga kecilnya. Seolah ingin menunjukkan bahwa mereka adalah keluarga yang harmonis.

Begitu pula saat reunian dengan teman saat sekolah dulu. Pertanyaan pertama tak jauh dari masalah pekerjaan. Bekerja di mana, berapa lama, dan penempatan di mana. Tak mau kalah, satu per satu akan memberikan informasi terkait pencapaian kariernya selama ini.

Pertanyaan kedua biasanya seputar keluarga. Menanyakan istri atau suami. Pekerjaan pasangan masing-masing apa, dan sudah memiliki anak berapa beserta usianya berapa. 

Nah, lain halnya bagi yang tak kunjung terlihat ada rambu-rambu untuk menikah. Biasanya akan menjadi bahan ledekan dengan ucapan usil, "Gak capek sendiri mulu?" atau "Enak tahu kalau bobo ada yang nemenin".

Bagi beberapa pihak, mungkin pertanyaan terkait pernikahan bukanlah hal yang sensitif. Biasanya memasang muka tertawa sambil bertutur dengan candaan.

Namun yang perlu diingat, ada beberapa pihak yang menganggap bahwa pertanyaan terkait kapan menikah adalah hal yang sangat sensitif. Tak jarang setelah itu, ia jadi begitu enggan untuk ikut di acara kumpulan keluarga ataupun reunian bersama teman-temannya.

Sebenarnya, jika melihat dari sisi si penanya, kita bisa berpikir positif. Dalam artian si penanya memang menaruh simpati. Menunjukkan rasa kepeduliannya selaku saudara atau teman.

Lain halnya kalau pertanyaan itu dilontarkan hanya untuk bahan candaan apalagi dengan ucapan-ucapan yang tidak mengenakan. Seperti cap 'tidak laku' atau lebih parahnya lagi 'perjaka/perawan/gadis lapuk'.

Mau sifatnya becanda atau tidak, sebenarnya tidak perlu sampai menghakimi seseorang dengan seenaknya memberi sebutan tidak pantas. Karena sejatinya, kita tidak pernah tahu alasan seseorang itu belum menikah.

Banyak faktor yang bisa dijadikan alasan seseorang belum memutuskan untuk menikah. Misalnya karena memang belum bertemu dengan jodohnya.

Segala upaya sudah dilakukan. Mulai dari meminta bantuan kerabat untuk dicarikan jodoh, sampai berusaha mencari pasangan lewat applikasi dating. Namun apa daya, jika memang belum waktunya untuk bertemu sang tulang rusuk, hanya penantian dan berusaha lagi yang bisa dilakukan.

Alasan yang lebih sensitif seseorang belum memutuskan untuk menikah karena memang memiliki trauma. Entah datang dari masa kecilnya, melihat kedua orangtuanya yang tidak harmonis atau mungkin keluarga kakaknya yang ternyata tak seindah saat masa pacaran.

Mungkin bisa saja karena ia pernah gagal menikah sehingga menyimpan rasa tidak percaya jika harus membangun hubungan kembali.

Maka dari itu, tidak sepatutnya seseorang menghakimi orang yang belum menikah. Apalagi dengan menyimpan spekulasi negatif. Seperti, 'kayanya dia kaum pelangi' atau pikiran negatif lainnya.

Seseorang yang memutuskan belum menikah dengan berbagai alasannya, bukan berarti dia tidak bahagia. Bahagia atau tidaknya seseorang bukan terlihat dari kehidupan yang dipamerkan lewat media sosial.

Standar bahagia seseorang pun berbeda. Mungkin ada yang bahagia dengan memiliki pasangan yang supportif dalam menjalankan kehidupan. Namun ada pula yang lebih bahagia menjalani kehidupan sendirinya sampai akhirnya menemukan orang yang tepat.

Sering terjadi pula, respons seseorang dalam menanggapi seseorang yang belum menikah malah terlalu berlebihan. Padahal yang bersangkutan sama sekali tidak mendambakan atau membutuhkan respons yang terlalu berlebihan itu.

Biasanya, respons berlebihan datang dari keluarga atau saudara terdekat. Responsnya dalam bentuk mengucapkan kalimat prihatin atau kasihan dengan mimik wajah yang penuh iba.

Misalnya ada saudara yang menanyakan kepastian akan menikah pada saudaranya yang dirasa sudah cukup umur untuk menjalankan ibadah rumah tangga. Namun sang penanya seolah begitu prihatin melihat saudaranya belum menikah. Padahal bisa saja yang bersangkutan sama sekali tidak masalah dengan statusnya dan bahkan sangat enjoy menjalani kesendiriannya.

Kembali lagi pada tujuan hidup orang yang berbeda-beda. Tidak bisa dipukul rata. Apalagi pemikiran anak zaman dulu dengan sekarang berbeda.

Dulu, mungkin orang tua kita banyak yang memutuskan menikah di usia muda. Khususnya perempuan. Lulus SMA atau masih kuliah, disimpulkan sudah waktunya untuk menikah. Maka ketika ada pria yang meminang, tidak ada alasan untuk menolak. Apalagi jika bibit , bebet, dan bobotnya menjamin.

Lain halnya sekarang. Dengan dalih mumpung masih muda, ingin melakukan apapun sebelum terikat pada sebuah hubungan pernikahan. Melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya, berkarir sampai ke luar negeri, ataupun melakukan perjalanan ke manapun yang diimpikan. Tidak memandang gender. Laki-laki ataupun perempuan memilki kesempatan yang terbuka lebar untuk memilih jalan hidupnya.

Menjelang bulan Ramadhan, sepertinya kaum-kaum yang belum menikah harus bersiap dicecar dengan pertanyaan serupa. Baik itu saat acara halal bihalal keluarga ataupun saat buka bersama. 

Saya pribadi sebenarnya tidak terlalu memikirkan pandangan orang lain terhadap saya. Termasuk terkait dengan pertanyaan mengapa belum menikah. 

Namun berbeda jika ada seseorang yang mencampur adukkan antara status seseorang dengan pekerjaan. 

Tepatnya lebaran tahun lalu. Ada satu pertanyaan yang sampai saat ini saya ingat. Mungkin saat itu saya memang sedang sensitif atau mungkin memang saya tidak menemukan korelasi antar unsur itu.

"Umur sudah matang. Sudah S2. Sudah jadi dosen pula. Kok belum menikah?"

Saya hanya bisa mengerutkan dahi sembari berpikir korelasi dari semuanya. Memangnya mengapa jika perempuan S2 belum menikah? Memangnya ada yang salah jika seorang dosen belum menikah?

Tidak sampai disitu saja. Pertanyaan itu beranak menjadi sebuah pernyataan yang bikin saya semakin geleng-geleng kepala. "Tuh kan, gak usah S2. Cowok-cowok jadi minder kalau perempuannya berpendidikan tinggi. Mana kerjanya juga dosen."

Duh, duh, duh. Semoga tahun ini saya tidak lagi menemukan pertanyaan dan pernyataan seperti itu.

Selama mendapatkan pertanyaan-pertanyaan terkait pernikahan. Jawaban yang tepat untuk menanggapi itu semua hanyalah dengan senyuman saja.

Jika kita berdalih dengan alasan, "Belum ada yang cocok." Besar kemungkinan akan berujung dijodohkan-jodohkan oleh si penanya. Kalau memang tidak keberatan untuk dijodohkan, bisa menggunakan jawaban ini. Tapi jika tidak suka dengan unsur perjodohan, lebih baik untuk menghindari jawaban klise ini.

Yang paling tepat adalah memberi tanggapan dengan senyuman manis sembari berkata, "Iya, doain aja."

Sudah cukup. Tidak perlu untuk diperpanjang. Si penanya pasti hanya akan menjawab dengan memberikan bantuan doa. Sesuai dengan jawaban kita.

Tidak perlu diambil pusing dan kembali pada tujuan masing-masing. 

Pada intinya, jika ingin menanyakan terkait pernikahan kepada seseorang. Pergunakan kalimat yang tidak menyinggung. Barangkali yang bersangkutan memang tidak nyaman dengan pertanyaan pernikahan.

Kita tidak pernah tahu alasan seseorang tersebut belum menikah. Jadi jangan sampai mengambil kesimpulan seenaknya saja. Apalagi sampai mencampuri urusan orang lain yang tidak ada kaitannya dengan diri sendiri.

Pastikan pula pertanyaan yang diberikan bukan unsur basa-basi apalagi hanya untuk menguji dan keisengan semata. Jika memang ingin menanyakan pertanyaan tersebut, pastikan memang bentuk kepedulian karena ingin melihat seseorang itu bahagia dengan pasangan sejatinya.

Namun yang perlu diingat, seseorang yang belum menikah, bukan berarti tidak bahagia. Jangan samakan standar bahagiamu dengan orang lain. Jangan samakan tujuan hidupmu dengan orang lain.

Semua orang memiliki tujuannya masing-masing. Semua orang memiliki cara bahagia yang berbeda-beda.

Dan yang perlu digaris bawahi, seseorang memiliki waktu yang berbeda-beda. Apalagi perkara jodoh yang sudah digariskan Tuhan sebelum manusia lahir ke bumi. 

Jangan samakan waktumu dengan orang lain. Semua orang sudah memiliki waktunya masing-masing. Ada yang bertemu dengan jodohnya usai lulus kuliah. Ada yang bertemu dengan cinta sejatinya saat sudah mapan. Dan waktu-waktu lainnya yang sudah ditakdirkan Tuhan.

Kadang, ucapan orang lain itu menggelikan. Seseorang yang belum menikah di usia 25 ke atas dibilang, "Kasihan sudah tua tapi tak kunjung menikah."

Lain halnya jika seseorang yang meninggal di usia 25 tahunan akan diberikan rasa iba, "Kasihan. Padahal masih muda, tapi malah meninggal."

Muda atau tuanya seseorang tidak dilihat dari bilangan umur. Tidak bisa juga dinilai oleh orang lain atau bahkan diri sendiri. Namun Tuhan yang Maha Mengetahui kapan seseorang benar-benar siap untuk dipertemukan dengan jodohnya ataupun kematian. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun