Soe Hok Gie, nama yang disebutkan oleh salah satu senior di Lembaga Pers Mahasiswa Gemercik. Kala itu, aku baru menyematkan label maha pada status siswa. Tahun 2015 di salah satu perguruan tinggi negeri yang ada di Priangan Timur, memperkenalkan aku dengan seorang nama aktivis yang pelafalan namanya saja begitu asing untuk disebut.
Tidak tahu pasti tepatnya tanggal berapa, yang kuingat sore itu adalah bulan September 2015. Sepulang kuliah, aku bergegas ke sekretariat LPM Gemercik yang ada di belakang gedung kampus yang nampak tak terawat. Memenuhi kewajiban sebagai calon anggota untuk hadir di hari piket.
Memilih aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers Mahasiswa (Persma) dengan penuh pertimbangan yang matang. Apalagi niat untuk meneruskan hobi seni sejak SMA dalam kegiatan teater begitu besar dan sulit untuk dihindari.
Sebenarnya bisa saja mendaftar lebih dari satu UKM, tetapi tanggungjawab besar untuk melakoni semuanya. Terutama pembelajaran kuliah sampai menjadi sarjana tetap menjadi prioritas.
Berkegiatan dalam UKM sebagai pelepas suntuk pasca belajar sekaligus menambah kemampuan dan pengalaman. Aku berpikir untuk aktif pada satu UKM saja, daripada tergabung dibeberapa UKM tapi hanya menjadi anggota pasif.
Mulanya memang sulit. Apalagi saat harus melewati anak-anak teater yang berlatih olah sukma di taman belakang kampus. Ingin rasanya bergabung, langsung duduk bersila, membuat badan rileks, dan perlahan memejamkan mata. Namun tetap saja harus berpegang teguh pada keputusan yang sudah dipilih.
Mengikuti UKM Persma akan menambah skill menulis. Harap ku saat itu seperti itu. Meski akhirnya segudang pengalaman yang aku dapatkan dan sampai saat ini begitu berkesan dan bermanfaat.
Terlihat calon anggota yang lain sudah duduk di depan sekretariat. Bermodal kursi dan meja yang dirangkai oleh senior dari kayu-kayu bekas pembangunan kampus. Kegiatan menulis ataupun liputan dilakukan pada saat kumpulan wajib yang disebut Pelatihan Jurnalistik (Penatik). Sedangkan kegiatan di hari piket memang diperuntukkan untuk mempererat kekeluargaan dan mengenal satu sama lain.
Obrolan kalangan mahasiswa dengan saat SMA memang berbeda. Entah karena aku ada di UKM Persma, atau memang semua mahasiswa seperti itu (?). Biasanya bergosip kabar terbaru yang diunggah Lambe Turah, tetapi kini membahas isu-isu yang sedang hangat.
Salah satunya yang sedang ramai adalah pembegalan payu dara yang terjadi di sekitaran kampus. Tepatnya di sekitaran kossan mahasiswa. Sudah sering terjadi dan tak mengenal adanya matahari atau tidak. Bahkan pelaku begitu entengnya melakukan pelecehan di tempat ramai, lalu tancap gas dengan motornya.
Di tengah-tengah keasyikan kami berdiskusi, salah satu senior memberikan pertanyaan. "Tahu Soe Hok Gie?" tanyanya.
Kami para mahasiswa baru saling melempar pandangan. Tidak ada yang tahu bahkan mungkin baru pertama kali mendengar nama asing itu.
Melihat raut-raut kami yang kebingungan, membuat senior itu kecewa. "Aduh, masa anak pers mahasiswa gak tahu Soe Hok Gie!"
Senior itulah yang pertama kali mengenalkan ku pada sosok Soe Hok Gie. Ia menceritakan bagaimana keberanian Gie dalam menuliskan kebenaran. Tak hanya tulisannya yang keren, tetapi pendirian dan cara berpikirnya yang luar biasa.
Kata senior ku, kami belum sah menjadi mahasiswa jika belum menonton film Gie. Maka dari itu, sang senior memberikan file film Gie yang dimasukkan ke ponsel kami masing-masing lewat kabel usb yang tersemat di laptopnya.
Ketidaktahuan kami pada Soe Hok Gie menambah PR baru. Senior memberi tugas agar kami menonton film Gie. Lalu di piket minggu depan, kami akan berdiskusi dan membedah film Gie bersama-sama.
Menonton film bukanlah hal yang berat untukku. Malah, aku sangat suka menonton film. Tugas dari senior sama sekali tidak memberatkan. Dengan semangat dan antusias tinggi, sesampainya di kossan langsung bercengkerama di depan layar laptop.
Lewat file film bajakan itu, aku perlahan mengenal sosok Gie. Senior ku benar, Gie memang berbeda. Perjalanannya sejak kecil, lalu saat menjadi mahasiswa, dan sampai menjadi seorang Dosen begitu diiringi dengan prinsipnya yang teguh. Tidak suka penindasan, tidak suka penyelewengan, dan tak gentar menyuarakan ketidakadilan.
Usai menonton film Gie, aku hanya terus bertanya-tanya di dalam hati. "Apakah di zaman sekarang, ada sosok mahasiswa yang seperti Soe Hok Gie?"
Perjalananku mengenal sosok Gie tidak hanya sampai di situ saja. Saat libur semester, aku kembali ke kampung halaman. Lalu mengisi waktu libur dengan menjelajahi kios-kios buku yang ada di Jatinangor.
Rupanya ada salah satu pemilik kios buku yang begitu mengagumi Soe Hok Gie. Aku mendapatkan informasi yang banyak darinya. Bahkan, Bapak itupun memberikan harga diskon saat aku membeli buku Catatan Seorang Demonstran yang merupakan buku harian Soe Hok Gie.
Membaca halaman demi halaman buku harian Gie semakin membuatku kagum dengan segala pemikirannya. Aku tidak bisa menggambarkan bagaimana bisa Gie memiliki pemikiran kritis sedalam itu. Pasti sudah banyak ribuan buku yang dibacanya semasa itu.
Tanpa adanya kecanggihan Mbah Google yang serba tahu, Gie memiliki banyak pengetahuan yang tercermin dari tulisan dan keberaniannya. Keputusannya untuk mengambil sikap dalam keadaan genting membuat diriku semakin larut dalam semua tulisan-tulisannya.
Soe Hok Gie adalah aktivis keturunan Tionghoa Indonesia yang menentang kediktatoran Presiden Soekarno dan Soeharto. Dilahirkan pada tahun 1942, tepatnya pada 17 Desember. Selama menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah pada tahun 1962-1969, ia habiskan waktunya untuk menulis, naik gunung, dan melakukan demonstrasi.
Kecintaannya pada gunung membuat dirinya menjadi salah satu pendiri Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Universitas Indonesia. Organisasi yang ia dirikan dengan teman-temannya sebagai bentuk kepeduliannya terhadap lingkungan.
Namanya mulai dikenal saat tulisan-tulisannya yang berani mengkritisi pemerintah termuat di berbagai surat kabar. Pemikirannya yang kritis mencerminkan kecerdasan intelektual yang ia miliki.
Saat Indonesia masih merangkak menjadi negara yang seutuhnya, Gie sudah tampil berani dengan pemikirannya yang luar biasa. Pemikiran Gie dipengaruhi oleh berbagai buku yang ia baca. Kondisi Indonesia juga masih sangat semrawut yang membuat dirinya terus berpikir.
Gie melihat banyak penindasan dan penyelewengan terjadi. Praktik-praktik politik tidak berjalan dengan semestinya. Kondisi itulah yang membuat Gie bergerak untuk menyuarakan kebenaran. Â Meski banyak yang mengagumi kecerdasannya, tetapi ada saja yang menganggap Gie adalah seorang pemberontak yang mengancam kursi kekuasaan.
Keberaniannya membuat Gie mendapatkan teror dan surat kaleng yang berisi ancaman. Namun tetap saja, tak ada satu ancaman yang bisa meruntuhkan idealisme yang sudah bersarang pada dirinya. Gie tetap aktif menulis walaupun semakin banyak orang-orang yang menganggapnya adalah sebuah ancaman.
Hanya mengenalnya lewat sebuah tulisan, Gie sudah membuatku jatuh hati pada pemikirannya. Prinsipnya yang teguh untuk memperjuangkan hajat orang banyak membuktikan ketulusan pada hatinya. Andai Gie masih ada, aku pasti sudah jatuh hati padanya.
Gie meninggal di usia yang muda. Di saat dia masih terus mengkritisi pemerintah. Di saat dirinya menjadi Dosen di kampus almamaternya.
Tepat satu hari sebelum umurnya bertambah menjadi 27 tahun, Gie menghirup gas beracun saat muncak ke Semeru. Gie dan gunung memang tidak bisa dipisahkan. Sampai pada akhirnya, puncak Semeru yang malah merenggut Gie dari dunia ini.
Tepat hari ini, 17 Desember 2023 adalah hari ulang tahun Gie. Biasanya aku dan beberapa teman komunitas pecinta Gie yang aktif dalam Instagram bysoehokgie sering memberitakan lagi perjuangan yang selama ini Gie inginkan untuk Indonesia.
Begitu pula dengan tulisan ini yang dibuat khusus mengenang sosok Soe Hok Gie. Dengan adanya tulisan ini, aku berharap orang-orang teringat pada sosok aktivis muda yang begitu berani menyuarakan kebenaran. Semoga masih ada aktivis-aktivis di zaman sekarang yang seberani Gie dan juga tidak masuk angin.
Kepergian Gie yang sudah 54 tahun tidak membuat karya-karya dan perjuangannya ikut mati. Gie tetap hidup dalam setiap prinsip insan yang memegang teguh keadilan. Namun sayangnya harapan Gie tentang pemerintahan Indonesia yang bersih dari korupsi masih belum tercapai. Politik yang tidak berpihak pada suatu golongan, ras, ataupun agama masih belum terwujud.
Harapan Gie memang sepenuhnya belum terwujud, tetapi perjuangan Gie belum berakhir. Perjuangannya akan diteruskan oleh kita semua yang masih waras dalam berkehidupan di masyarakat.
Terima kasih Gie. Salah satu alasan sampai saat ini masih menulis adalah karena dirimu.
Sekali lagi, selamat ulang tahun Gie. Terima kasih sudah lahir ke bumi.
"Saya mimpi tentang sebuah dunia di mana ulama, buruh, dan pemuda bangkit dan berkata, 'stop semua kemunafikan! Stop semua pembunuhan atas nama apapun.' Tak ada lagi rasa benci pada siapapun, agama apapun, ras apapun, dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik." --Soe Hok Gie-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H