Tak ada hentinya membahas jejak yang ditinggalkan kolonial Belanda di daerah Sumedang. Nampaknya pada zaman dulu, Sumedang kerap dijadikan markas oleh kolonial Belanda. Mungkin karena letak strategis Sumedang yang berada di dataran yang cukup tinggi dan dikeliling pegunungan. Hal tersebut membuat Sumedang cocok dijadikan sebagai tempat pertahanan. Baik itu untuk mengintai musuh, ataupun untuk menyimpan amunisi senjata.
Peninggalan Belanda yang paling di kenal oleh banyak orang untuk di daerah Kabupaten Sumedang adalah benteng atau gua Gunung Kunci. Akses yang mudah dan terletak di tengah kota, menjadi alasan benteng di Gunung Kunci lebih populer dibandingkan benteng lainnya. Pemerintah juga terlihat lebih konsisten melakukan perbaikan-perbaikan untuk wisata sejarah Gunung Kunci.
Padahal, masih ada benteng peninggalan Belanda yang letaknya juga masih ada di pusat kota Sumedang. Perbedaannya adalah dari kemudahan aksesnya saja.
Jika pengunjung ingin berwisata ke benteng yang ada di kawasan Gunung Kunci, maka sangat banyak akses jalan dan pilihan transportasinya. Cukup menggunakan google maps untuk memandu perjalanan pengunjung, maka pengunjung dengan mudah sampai ke tujuan. Meskipun tidak menggunakan bantuan Mbah google maps, dengan bertanya kepada warga Sumedang, sudah dipastikan pengunjung bisa tahu jalan yang benar arahnya ke mana. Mungkin pengunjung akan di arahkan untuk menaiki angkutan umum nomor 03, atau agar lebih mudah tinggal minta antar abang-abang ojek online.
Sedangkan benteng peninggalan kolonial Belanda yang ada di Gunung Gadung, tidak terlalu populer untuk warga Sumedang sekalipun. Akses menuju benteng tersebut terbilang lumayan sulit meski berada di pusat kota. Pemerintah juga nampaknya belum sepenuhnya memperhatikan lebih jauh untuk menjadikan benteng ini sebagai destinasi wisata di Kabupaten Sumedang.
Gunung Gadung berada di Desa Sukajaya, Kecamatan Sumedang Selatan. Untuk pergi ke Gunung Gadung, dari arah Alun-Alun Sumedang, pengunjung bisa beranjak ke daerah makan Cut Nyak Dhien. Lalu pengunjung bsia belok ke kanan menuju arah Kampung Toga.
Menariknya, pengunjung akan melihat dua benteng sekaligus di kawasan Gunung Gadung. Jaraknya hanya sekitar 500 sampai 750 meter saja. Kedua benteng tersebut dinamakan Benteng Pasir Kolecer dan Benteng Pasir Laja.
Sekilas, kedua benteng yang ada di Gunung Gadung seperti kembar atau mirip. Namun jika ditelaah lebih dalam lagi, banyak perbedaan antara kedua benteng tersebut.
Menurut catatan sejarah, Benteng Pasir Kolecer dibangun sekitar tahun 1907 oleh kolonial Belanda. Pembangunan benteng tersebut dibantu oleh warga Sumedang. Meski mendapatkan upah dari Belanda, tetapi upah yang didapatkan sangat jauh dari kata sejahtera. Bahan-bahan untuk pembangunan benteng pun asli dari warga sekitar yang dibeli oleh Belanda.
Benteng Pasir Kolecer pertama kali ditemukan oleh tim dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang. Pada saat pertama kali ditemukan, benteng tersebut sama sekali tidak terlihat. Benteng Pasir Kolecer tertimbun oleh reruntuhan tanah longsor dan dikeliling semak-semak liar.
Melihat pentingnya untuk melestarikan benteng tersebut sebagai saksi sejarah kekuatan Belanda di Indonesia, akhirnya tahun 1998 ditunjuk juru pelihara oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang. Juru pelihara bertugas untuk memelihara, menjaga, dan merawat Benteng Pasir Kolecer.
Dilihat dari desain benteng, Benteng Pasir Kolecer nampak seperti bunker persembunyian. Berdiri di atas bukit yang diapit oleh area persawahan dan lembah. Ketinggiannya sekitar 690 meter di atas permukaan laut.
Terdapat dua bangunan yang ada di Benteng Pasir Kolecer. Bunker pertama luasnya sekitar 5x6 meter. Sedangkan bunker yang kedua luasnya lebih besar, sekitar 5,6 x 7,5 meter. Dalam bunker yang kedua, terdapat pos pantau yang mengarah ke Selatan.
Saat ini, Benteng Pasir Kolecer menjadi cagar budaya di bawah perlindungan Kementerian Pendidikan dan  Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten.
Sekitar 500 sampai 750 meter dari Benteng Pasir Kolecer, terdapat benteng ke dua yang masih berada di kawasan Gunung Gadung. Benteng kedua bernama Benteng Pasir Laja.
Ada dua versi yang menyebutkan terkait tahun dibangunnya Benteng Pasir Laja. Ada yang menyebutkan tahun 1907 seperti Benteng Pasir Kolecer. Â Namun ada pula yang menyebutkan sekitar tahun 1915.
Benteng Pasir Laja dibangun di ketinggian 680 mdpl. Terdapat 3 bangunan. Dua bangunan pertahanan seluas 5x7 meter. Sedangkan bangunan yang ketiga dilengkapi dengan jendela bidik seperti lorong. Sepertinya bunker yang ketiga digunakan untuk mengintai musuh. Di mana jendela bidik tersebut digunakan sebagai celah mengintai.
Saat ini, Benteng Pasir Laja dikelilingi oleh lahan pertanian dan perkebunan. Menariknya, menurut warga sekitar, kerap berdatangan wisatawan dari Belanda. Wisatawan asal Belanda tersebut sengaja ingin berkunjung ke Benteng Pasir Laja untuk mengenang nenek moyang mereka.
Melihat kurangnya popularitas dari kedua benteng ini, seharusnya pemerintah memberikan perhatian lebih untuk dapat melestarikan dengan baik kedua benteng ini. Pasalnya, kondisi Benteng Pasir Kolecer dan Pasir Laja dalam keadaan masih berdiri kokoh. Hanya saja sudah tidak ada pintu untuk menutup benteng.
Banyaknya jejak peninggalan Belanda di Kabupaten Sumedang dapat dijadikan destinasi menarik. Selain berwisata, pengunjung mendapatkan pengetahuan sejarah.
Langkah awal yang harus dibenahi adalah mulai dari kemudahan akses menuju Gunung Gadung. Dengan kemudahan akses jalan dan banyaknya pilihan transportasi umum, minimalnya menggerakan wisatawan lokal terlebih dahulu.
Pemerintah daerah juga bisa mengundang influencer yang gemar membuat konten lewat media sosialnya. Bisa juga diadakan perlombaan untuk membuat video wisata sejarah yang ada di Kabupaten Sumedang. Dengan bantuan teknologi, pemerintah bisa dengan mudah memasarkan wisata Sumedang. Pemerintah bersinergi dengan para konten kreator untuk memajukan wisata sejarah ini.
Memperluas wisata sejarah di Kabupaten Sumedang akan memberikan dampak pula pada perekonomian warga sekitar. Warga sekitar bisa menawarkan layanan penginapan, pemandu wisata, ataupun menjual oleh-oleh khas Sumedang. Para pedagang akan senang menyambut program ini. Tidak hanya pedagang, transportasi pun ikut terkena dampak positifnya. Angkutan umum, becak, dan delman atau andong bisa dijadikan transportasi tradisional yang unik untuk membantu pengunjung sampai ke tujuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H