Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Review Film "Yuni", Perempuan dalam Belenggu Patriarki

19 November 2023   09:00 Diperbarui: 19 November 2023   09:05 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arawinda Kirana dalam film Yuni karya sutradara Kamila Andini.(Dok. Disney+ Hotstar via kompas.com) 

Dalam perjalanan untuk menemukan jawaban dari segala keresahannya, Yuni bertemu beberapa tokoh yang membuat ia berani melawan belenggu patriarki. Salah satu guru favorit Yuni di sekolah memberikan doktrin agar Yuni mau melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi dengan bantuan beasiswa karena melihat potensi yang dimiliki Yuni. Meski dorongan gurunya tersebut harus berbanding terbalik dengan sikap dari kepala sekolah yang mengatakan bahwa percuma memberi motivasi pada muridnya jika keluarganya hendak mengawinkan anaknya.

Tokoh janda nyentrik yang khas dengan ucapannya "freedom abis" memberi pengaruh pada keputusan Yuni. Dari sosok Suci, Yuni berhasil mendapat gambaran bahwa pernikahan dini tak melulu menjadi solusi bahkan dapat menjadi boomerang baginya. Yuni mendapatkan bekal dari kasus Suci mengenai KDRT dan paksaan lingkungan untuk mendapatkan keturunan di usia yang masih amat dini. Namun siapa sangka bahwa kehidupan memang sangatlah keras. Bukannya mendapat pembelaan dari lingkungan, Suci malah mendapat tanggapan negatif karena dituding terlalu lebay atas pengakuan KDRT yang dialaminya.

Bak rangkuman semua isu perempuan di tengah-tengah stigma masyarakat, itulah yang dimiliki film Yuni. Yuni berhasil memaparkan kegelisahannya sebagai perempuan. Ia seolah mencari jawaban dari pertanyaan "Bagaimana menjadi seorang perempuan?" Pernikahan dini, KDRT, LGBT, seksual, keperawanan, cita-cita, mimpi, pendidikan dan segudang pokok pembahasan perempuan harus berhadapan dengan pandangan masyakat dan lingkungan dengan kedok "PAMALI."

PENUTUP

Ekspresi bahagia Arawinda Kirana usai jumpa pers di XXI Epicentrum Kuningan, Jakarta Selatan (6/12/2021).(Sumber: KOMPAS.com/Revi C Rantung)
Ekspresi bahagia Arawinda Kirana usai jumpa pers di XXI Epicentrum Kuningan, Jakarta Selatan (6/12/2021).(Sumber: KOMPAS.com/Revi C Rantung)

Di tengah-tengah maraknya isu pelecehan seksual yang hampir setiap hari bermunculan ke permukaan, film Yuni dapat menjadi bahan diskusi bersama.

Sebuah potret nyata bahwa perempuan masih belum mendapatkan ruang aman untuk dirinya beraktivitas, berperilaku bahkan mengambil keputusan. Nyatanya banyak sekali perempuan yang memilih untuk tunduk pada patriarki dan menyerah tanpa memperjuangkan mimpinya. Seolah perjalan dari sekolah, lulus, menikah dan memiliki anak adalah tahapan wajib bagi perempuan. Perempuan memang memiliki pilihan, namun pilihan mereka masih sangatlah sempit atau bisa terbilang seolah dibuat sempit. Lalu jika seperti itu, apa bedanya dengan tidak ada pilihan?

Perempuan masih dipandang sebagai barang yang dapat dibeli. Jika terbukti masih perawan akan mendapatkan nominal fantastis, tapi jika sudah tidak perawan jangan harap akan mendapat perlakuan baik dari lingkungannya. Pendidikan masih hanya sekadar formalitas bagi perempuan, sehingga tak perlu jauh-jauh bersusah payah mendapat gelar sarjana karena stigma masyarakat memandang kodrat perempuan adalah mengurusi rumah tangga yang di mana tidak ada ilmunya di sekolah.

Padahal sejatinya, kodrat perempuan adalah menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. Perihal mengurusi rumah tangga, bukankah dapat juga dilakukan laki-laki? Maka tak bisa terbilang sebagai kodrat perempuan. Perempuan masih sangat minim mendapatkan kebebasan untuk memilih atau menentukan apa yang ia mau. Perempuan masih dihadapkan pada pilihan dan pemikiran yang sempit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun