Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Review Film "Yuni", Perempuan dalam Belenggu Patriarki

19 November 2023   09:00 Diperbarui: 19 November 2023   09:05 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  • YUNI BERKARAKTER KUAT DENGAN BACKGROUND KELUARGA YANG SEPATUTNYA HADIR DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

    Arawinda Kirana dalam film Yuni karya sutradara Kamila Andini.(Dok. Disney+ Hotstar via kompas.com) 
    Arawinda Kirana dalam film Yuni karya sutradara Kamila Andini.(Dok. Disney+ Hotstar via kompas.com) 
    Yuni, si pecinta warna ungu adalah potret anak remaja pada umumnya. Ia ceria, punya banyak sahabat, banyak mimpi dan serba ingin tahu. Kecintaannya pada warna ungu bak memberi identitas yang tegas. Ia berani menggunakan outfit full berwarna ungu dari ikat rambut sampai tali sepatu. Meski ada penggambaran maniac pada warna ungu membuat Yuni selalu gatal ingin mengambil barang orang lain yang berwarna ungu. Kerap kali terlihat ia masuk ke ruang guru untuk terkena teguran atas perbuatannya mencuri barang warna ungu milik temannya. Keberaniannya menunjukkan bahwa ia tegas membuat identitas diri, ungu adalah warnanya. Meski ia marah saat diledek temannya bahwa ungu identik dengan warna janda.

    Bak remaja serba ingin tahu, ia juga kepo dengan dunia malam sehingga nekad datang ke klub malam ditemani adik kelasnya sang penjaga kios pulsa yang pemalu tapi diam-diam menyukainya. Tak henti sampai disitu, ada satu adegan dimana Yuni bersama teman-temannya mengobrol di atas rumput. Mereka membicarakan hal-hal yang dianggap sensitif padahal seharusnya menjadi bahan diskusi yang edukatif bagi seusianya.

    Pertanyaan nyeleneh dari Yuni tentang "emang perempuan bisa mastrubasi?" Atau "emang gak bisa bilang sakit pas ML? Kalau gitu gak bisa orgasme dong?" Ia gadis remaja yang pintar di sekolah, namun nampaknya pelajaran di sekolah tak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

    Penulis seperti ingin menyentil tentang seks edukasi pada remaja. Seolah-olah pendidik menggebor-geborkan bahwa remaja perempuan harus menjaga keperawanan, tapi remaja seperti kebingungan apa itu keperawanan.

    Meski stigma masyarakat mayoritas menolak keresahan Yuni, namun keluarga Yuni dibalut dengan tampilan yang beda. Penulis seperti ingin memperlihatkan bagaimana seharusnya orang tua memberikan ruang gerak pada anaknya untuk memilih dan menentukan. Meski jika dikaitkan dengan latar Yuni dan keluarganya terbilang tidak miskin-miskin amat. Orang tuanya bekerja di ibu kota. Yuni memiliki motor dan kamar tidur yang nyaman untuknya. Sejauh itu tak ada tanda-tanda ia hidup susah meski hanya hidup dengan neneknya. Mungkin kebebasan itu terwujud karena selama ini ia LDR dari orang tuanya sehingga terbiasa dalam memutuskan sendiri.

    Sifat labil anak remaja terus ditonjolkan. Tak ada hentinya ia bertanya pada orang tua dan neneknya, memeluk ibunya saat terlelap dan meminta disuapi ibunya. Yang lebih menyentuh adalah adegan di akhir cerita yang menggambarkan deep talk antara seorang remaja putri dengan ayahnya.

    Pertanyaan yang diajukan Yuni terdengar aneh namun bisa saja pertanyaan tersebut terlintas pada remaja yang sedang mencari jati diri. Sang ayah menjawab dengan bijak meski membuat penafsiran yang ambigu. "Memang hidup seperti apa yang tidak susah? Semua hidup punya susahnya masing-masing."

  • MERANGKUM ISU TENTANG PEREMPUAN DAN STIGMA MASYARAKAT

    Yuni adalah tontonan paket komplit yang disajikan begitu cerdas tanpa ada paksaan menggurui penikmatnya. Semua tekanan khususnya pada perempuan berhasil disentil dalam durasi film yang cukup singkat. Diskriminasi terhadap perempuan tetap menjadi barisan utama yang dibahas dalam film Yuni.

    Yuni adalah potret remaja perempuan yang memiliki segudang mimpi untuk dicapai namun terhalang oleh stigma masyarakat di lingkungannya. Pernikahan dini bagai sebuah solusi bagi perempuan agar bisa hidup bahagia dan sejahtera. Berlatar mengangkat derajat orang tua, memulihkan perekonomian keluarga, terhindar dari fitnah dan sederet alasan lainnya yang membuat perempuan harus memilih pilihan yang sempit dengan menikah sesuai lulus SMA.

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Film Selengkapnya
    Lihat Film Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
  • LAPORKAN KONTEN
    Alasan
    Laporkan Konten
    Laporkan Akun