Mungkin ada di antara kita yang masih bingung untuk memutuskan perihal pernikahan. Atau mungkin bisa saja ada yang masih takut untuk menjalani rumah tangga.Â
Kebingungan dan ketakutan akan membangun rumah tangga tidak serta merta tanpa alasan. Salah satu pemicu yang kerap dikonsumsi masyarakat Indonesia hampir setiap hari adalah isu perselingkuhan yang berakhir perceraian.
Selingkuh bagai kebiasaan yang mudah ditemukan pada lingkungan sekitar. Apalagi akun dan acara gosip terus menggodok perselingkuhan selebriti. Publik disuguhkan sarapan, makan siang, dan makan malam dengan santapan isu perselingkuhan.
Banyak orang yang memiliki prinsip bahwa pengkhianatan atau perselingkuhan adalah kesalahan yang tidak bisa ditoleransi. Seseorang mungkin bisa dengan mudah memaafkan pasangannya yang selingkuh. Namun itu tidak berarti Ia akan kembali memberikan kepercayaan untuk kembali membina hubungan. Hampir rata-rata korban perselingkuhan memutuskan untuk bercerai daripada harus hidup dengan pelaku pemberi luka paling dalam.
Menurut laporan Statistik Indonesia, jumlah kasus perceraian di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 516.334 kasus. Dari data yang ada, angka ini menunjukkan bahwa kasus perceraian di Indonesia meningkat 15,31% dibandingkan tahun sebelumnya. Di mana pada tahun 2021 kasus perceraian mencapai 447.743 kasus.Â
Data menyebutkan bahwa kasus perceraian di Indonesia pada tahun 2022 dipicu karena perselisihan dan pertengkaran. Tercatat ada 284.169 kasus atau setara dengan 63,41%
Perceraian akan berdampak sangat besar kepada sang anak. Anak akan mengalami fase kebingungan untuk mencerna perubahan yang signifikan pada keluarga kecilnya. Berawal dari mempertanyakan sosok ayah/ibu yang tiba-tiba tidak pernah ada di rumah. Sampai akhirnya mungkin anak korban perceraian akan mengalami hidup berpindah-pindah. Seminggu di rumah ayah, berikutnya bersama Ibu. Lebih parahnya lagi jika sang anak harus berada pada adegan kedua tangannya di tarik berlawan oleh kedua orang tuanya.
Anak yang sudah berada di umur dewasa pun tetap akan mendapatkan dampak dari perceraian kedua orang tuanya. Apalagi bila sang anak masih berada di usia 7-13 tahun yang masih membutuhkan kehadiran ke dua orang tuanya.
Dikutip dalam halodoc.com ada beberapa dampak psikologi pada anak ketika orang tua memutuskan untuk bercerai. Pertama, sang anak akan cenderung menjadi pendiam. Saat masih tinggal dengan orang tua yang lengkap, anak begitu ceria, banyak bertanya, dan mudah beradaptasi dengan lingkungannya. Namun usai adanya perceraian orang tuanya, membuat sang anak akan terus bertanya-tanya di dalam hati dan pikirannya. Membuat dirinya banyak melamun, murung, dan berdiam diri saja.
Dampak yang kedua berbeda dengan dampak sebelumnya. Di mana anak menunjukkan sikap yang lebih agresif. Anak memilih untuk meluapkan atau mengekspresikan emosinya dengan menjadi lebih agresif bahkan mengganggu, merugikan, atau mencelakai orang lain.
Selain itu, muncul rasa tidak percaya diri dan pesimis terhadap cinta. Anak akan mengalami fase berpikir yang membandingkan nasibnya dengan nasib temannya. Seperti, mengapa teman-temannya bisa berlibur dengan kedua orang tuanya, sedangkan ia hanya bisa berlibur dengan salah satunya saja atau bergantian. Perbedaan dengan lingkungannya membuat dia kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri. Seolah berbeda dalam aspek ini adalah sebuah kesalahan yang membuat dirinya sedih.
Ketidakpercayaan diri membuat anak akan pesimis terhadap cinta. Apalagi dia sudah dipertontonkan adegan orang tuanya yang dulu romantis, lalu berubah saling menjauh. Anak tidaklah pintar dalam hal mendengarkan. Tetapi anak begitu pandai dalam meniru. Melihat yang terjadi pada orang tuanya membuat dia menjadi tidak percaya dengan arti dan makna cinta.
Perbedaan yang dia alami membuat dirinya menjadi membenci dan menyalahkan dunia. Akan timbul pertanyaan seperti, "mengapa harus orang tuaku yang bercerai?" Berujung mempertanyakan salah dirinya apa sehingga harus bernasib seperti ini. Padahal sudah jelas bahwa anak adalah korban, bukan sebagai pelaku yang membuat kesalahan.
Menyikapi dampak psikologi imbas dari perceraian, orang tua harus mau untuk menurunkan ego. Mungkin saat itu keduanya masih dalam keadaan emosi akan kesalahan satu pihak atau keduanya. Namun orang tua harus menyadari bahwa anak membutuhkan keduanya untuk dapat melewati masa sulit seperti ini.
Perubahan signifikan yang membuat sang anak merasa tidak nyaman dengan keadaan baru yang datang secara tiba-tiba. Tak pernah terbesit sebelumnya ia akan mengalami fase kedua orang tuanya bercerai. Maka tentu tidak akan ada persiapan untuk mampu mengantisipasi dampaknya.
Meski sulit untuk membangun komunikasi dengan mantan pasangan, tetapi tetap saja harus diupayakan kerja sama untuk mementingkan hati sang anak. Keduanya harus tetap mengasuh secara bersama-sama atau yang dikenal dengan co-parenting. Sehingga sang anak tidak merasa kehilangan apa-apa meski kini orang tuanya berbeda tempat tinggal. Anak tetap merasa dicintai meski orang tuanya sudah berpisah.
Menjadi pendengar yang baik untuk anak adalah salah satu upaya paling sederhana yang dapat dilakukan untuk menanganinya. Biarkan sang anak mencurahkan isi hatinya. Jika dia menanyakan sesuatu, maka orang tua menjawabnya sesuai dengan kenyataan yang ada. Tidak perlu ada yang disembunyikan. Rumah tangga bukan hanya tentang ayah dan ibu, tetapi juga ada kehadiran anak untuk melengkapi kehangatan rumah tangga. Maka sudah semestinya jika rumah itu tidak utuh lagi, anak perlu mendapatkan penjelasan.
Berikan pengertian pada sang anak bahwa tidak akan pernah ada yang namanya mantan anak, mantan Ibu, ataupun mantan ayah. Usahakan untuk tidak membuat sang anak merasa kehilangan apapun. Karena sejatinya anak merasa takut akan kehilangan salah satu bahkan kedua orang tuanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H