Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Review Film Dear Nathan Thank You Salma: Predator Seksual Berkedok Aktivis Kampus

12 Maret 2023   23:48 Diperbarui: 12 Maret 2023   23:52 1638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul: "Dear Nathan: Thank You Salma"
Sutradara: Kuntz Agus
Produser: Gope T. Samtani
Penulis Skenario: Bagus Bramanti & Gea Rexy
Adaptasi Novel: Erisca Febriani
Pemeran: Amanda Rawles, Jefri Nicol, Ardhito Pramono, Indah Permatasari, Susan Sameh
Tanggal Rilis: 13 Januari 2022
Durasi: 112 Menit

Sumber: Netflix
Sumber: Netflix

Kisah Nathan dan Salma berakhir di film ini dan sudah dapat disaksikan lewat Netflix. Chemistry Amanda Rawles sebagai Salma dan Jefri Nicol sebagai Nathan tak perlu dipertanyakan lagi setelah berhasil membuat penonton baper pada film sebelumnya. 

Duet aktor papan atas ini berhasil menarik banyak penonton di film Dear Nathan (2017) dan Dear Nathan: Hello Salma (2018). Tak berakhir sampai disitu saja, pengikut perjalanan romansa Salma dan  Nathan kembali dibuat penasaran dengan bagaiman akhir dari kisah keduanya. Apakah akan happy ending atau sebaliknya?

Diadaptasi dari novel karya Erisca Febrianti, kini kisah Salma dan Nathan tidak lagi memakai seragam putih abu, tidak juga berlatar pergolakan hati Salma menentukan jurusan kuliahnya. Tapi kini keduanya berada di fase pendewasaan diri. 

Salma dan Nathan dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang lebih pelik dari biasanya. Tidak hanya sekadar cinta segitia pada umunya, tapi Nathan dan Salma berusaha menunjukkan sikap dewasanya dalam menjalani hubungan mereka.

Konflik bermula pada Nathan yang kini menjadi mahasiswa teknik mesin yang aktif mengikuti kegiatan mahasiswa. Nathan ibarat mahasiswa yang sedang semangat-semangatnya melakoni perannya sebagai agen perubahan. Ia terlibat berbagai kajian dan aksi untuk menyuarakan suara orang-orang lemah. 

Namun berbeda dengan Salma, mahasiswi sastra yang memandang bahwa menyuarakan pendapat tidak perlu turun ke jalan. Hanya lewat sosial media atau menuliskan dalam sebuah karya, itu sudah cukup menjadi bentuk baktinya pada negara. Namun Nathan tidak seperti Salma yang bisa menulis, ia merasa hanya dengan turun ke jalanan suara-suara rakyat akan didengar.

Perang dingin keduanya membuat laki-laki baru masuk dalam kehidupan Salma. Afkar, kakak tingkat sekaligus ketua komunitas puisi di fakultas Salma digambarkan menjadi sosok yang sangat sempurna di mata perempuan. Selain itu, ternyata Afkar adalah sosok dibalik karya Gema Senja yang sedang digandrungi kaum hawa. Afkar dan Nathan adalah mahasiswa yang kontras berbeda. Secara penampilan sangat jauh berbeda. 

Nathan santai ala anak teknik, dengan rambut gondrong, kaos santainya, sepatu boot dan jeket denim atau jeket himpunannya. Sedangkan Afkar khas dengan kemeja yang dimasukan ke celana panjangnya, tak lupa ikat pinggang ikut menghiasi gayanya. Tak hanya penampilan, keduanya juga memiliki pemikiran yang berbeda. Nathan yang turun ke jalan dan Afkar yang bersuara lewat karya-karyanya.

Namun ternyata, film ini tak menitik beratkan pada kasus cinta segitiga. Permasalahan cinta segitiga ini harus berada di tengah-tengah konflik pelecehan seksual. Zanna yang diperankan Indah Permatasari berhasil menguras emosi dengan porsi aktinya yang sangat pas dinikmati penonton. 

Zanna adalah mahasiswa teknik mesin yang mengalami pelecehan seksual oleh salah satu aktivis kampus yang merupakan teman dari Nathan. Mengenyampingkan permasalahan pribadi, Salma dan Nathan membantu Zanna untuk mendapatkan keadilan.

Menonton film ini seperti bernostalgia dengan kehidupan kampus. Penonton disuguhkan dengan berbagai kegiatan di kampus. Perkuliahan, kajian, demo, lupa mengerjakan tugas dari dosen bahkan juga menggambarkan kehidupan anak kossan. Penonton kembali menelusuri kehidupan mahasiswa yang terlihat begitu menyenangkan namun ternyata pelik jika dijalankan.

Sesekali penonton akan tertawa ringan atas gombalan Nathan yang terdengar geli. Namun Nathan ya tetap Nathan. Ia digambarkan begitu berbeda dalam memperlakukan kekasihnya, Salma. 

Begitupula saat Afkar mencoba masuk pada hati Salma yang sedang gundah atas sikap Nathan yang selalu turun ke jalan. Nathan tak pernah marah pada Salma. Ia membebaskan Salma berkenalan, bertemu dan berteman dengan siapapun termasuk, Afkar. Tidak ada sedikitpun ancaman Nathan pada Afkar jika mendekati pacarnya. Itulah Nathan. 

Persaingan sengit antar Afkar dan Nathan dibalut dengan komedi yang mengasyikan. Keduanya memang sedang memperebutkan Salma, namun keduanya juga sedang dalam misi yang sama, yaitu memperjuangkan keadilan bagi Zanna. Sesekali guyonan pertengkaran mereka lontarkan saat berdiskusi perihal kasus Zanna. 

Kondisi ini begitu mencerminkan kedewasaan bahwa konflik pribadi tak sedikitpun melunturkan kebersamaan mereka. Nathan dan Afkar tidak perlu capek-capek menunjukkan sisi baiknya kepada Salma. Keduanya menjadi dirinya sendiri, dan  Salma yang akan menilai sendiri. Afkar berhasil mendapat dukungan publik untuk Zanna lewat live streaming di Youtube Channelnya. Sedangkan Nathan berhasil menggedor pintu fakultas bersama pasukan demonya untuk menuntut keadilan Zanna.

Kisah Salma dan Nathan memang banyak digandrungi remaja SMA. Segenap tim film ini begitu tepat dalam menyajikan penutup kisah Salma dan Nathan dengan mengangkat isu pelecehan seksual. Meski isu ini berat dan beberapa film Indonesia sudah mengangkat isu yang sama, namun film ini begitu mudah dipahami pesannya oleh penonton yang didominasi oleh remaja. Selain mendapatkan gambaran tentang kehidupan perkuliahan, penonton khususnya akan lebih berhati-hati dimanapun dan kapanpun. Karena pelecehan seksual dapat terjadi dimanapun dan oleh siapapun. 

Zanna bukanlah sosok mahasiswa hits yang gemar berpakaian terbuka. Dia mahasiswi penerima beasiswa yang sederhana dan menghambiskan waktu luangnya dengan berbagai kegiatan positif di kampus. Namun sesekali ia mendapatkan siulan atau godaan dari sekumpulan teman-teman kampusnya. Fenomena ini sering terjad di wilayah kampus. 

Kadang perempuan begitu takut bahkan enggan melewati sekumpulan laki-laki yang sedang asyik nongkrong, tapi malah memandangnya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Pelaku mungkin menganggap itu hanyalah candaan atau iseng semata, tetapi ruang gerak perempuan tak lagi aman dan bebas dengan perlakuan seperti itu. 

Peristiwa pahit tak sampai disitu saja. Zanna dipaksa melakukan hubungan oleh seniornya dalam mobil saat pulang dari kegiatan himpunan. Predator seksual berkedok aktivis kampus banyak terjadi di negeri ini. Pelaku adalah anak himpunan yang tidak hanya aktif dalam kegiatan kampus, tetapi juga pintar dan dicintai oleh lingkungannya. 

Nathan juga sangat menghormatinya sebagai sahabat dan teman sesama aktivis. Ia kerap mengerjakan tugas perkuliahan teman-temannya di tengah-tengah kesibukan menyiapkan aksi demonstrasi. Nathan hampir tak percaya bahwa temannya yang menjadi calon presiden mahasiswa itu terlibat dalam peristiwa keji. Nathan bahkan nyaris menganggap Zanna mengada-ngada. 

Tak hanya beradu dengan pelaku, Nathan juga harus bertengkar dengan teman-teman himpunannya. Terlebih teman-temannya tak ada yang mempercayai Nathan. Semua berbalik menyerang Nathan. Nathan begitu terlihat murka pada temannya-temannya. Mereka yang hampir setiap saat menentang segala kejahatan di negeri ini, tetapi ternyata mereka pula melakukan hal keji yang sama sekali tak menghormati dan membela teman satu angkatannya.

Gambaran tersebut menjadi himbauan bagi para penonton. Tak selamanya lingkungan yang terlihat aman akan memberi kita ruang yang aman. Tak selamanya kegiatan positif yang kita jalani akan memberi seluruh hal positif juga. Dan tak semua orang yang terlihat baik itu memang benar baik. Ia mungkin selama ini memakai topeng. Menggunakan segala kekuasaannya untuk menyakiti orang yang lemah. Maka waspadalah dimanapun, kapanpun dan pada saat bersama siapapun.

Akhir dari isu pelecehan seksual ini seperti menyentil bahwa memang tidak ada definisi menang bagi para korban pelecehan seksual. Pelaku yang memiliki harta dan tahta akan selalu menjadi pemenang. Itulah negeri kita. Orang lemah tidak ada artinya jika mendapat perilaku buruk dari orang lain. Sedangkan si kaya dan si penguasa bebas melakukan apapun tanpa pernah merasa takut. Dan konyolnya, si pembela yang benar seperti Nathan juga harus mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan karena membela korban. 

Alangkah lucunya negeri ini. Dan alangkah lucunya akhir dari kisah Zanna. Mungkin karena Zanna bukanlah tokoh utama, maka akhir dari kisah Zanna tak menjadi inti cerita. Tak semua korban pelecahan seksual berakhir indah seperti Zanna. Meski ia tak mendapatkan keadilan di kampus, tapi ia mendapatkan kesempatan lebih berharga daripada bersikukuh melanjutkan pendidikan di kampusnya itu. Sedangkan Nathan berproses menjadi laki-laki dewasa yang memang selama ini dicari oleh Salma. (Siska Fajarrany)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun