I usually write everything in English. It is so much more easier to express my feelings and it comes naturally out of my brain what I want to say. However, I am so aware this a platform for Indonesian writing so I'm here trying to explore more my writing in Indonesian although it's gonna be really cringe and it just does not come naturally. At least I'm trying, right?
Sebenernya apa yang aku tulis disini lebih seperti sebuah curhat tapi bukan sebuah curhat menye ala anak-anak jaman sekarang. Aku mau sharing soal mental illness yang aku alami. Apa yang aku tulis disini sangat subjektif dan tidak butuh judgement dari pembaca karena aku murni hanya ingin sharing. Bisa dibilang ini juga sebuah terapi untuk bisa cope up dengan apapun yang terjadi.Â
Apa yang akan aku tulis juga akan mengarah ke suicide karena ini bagian dari perjalananku. It's a part of me that sucks like shit but it exists and I don't want to deny it. Kalau disini aku bisa mendapat sebuah support, itu akan lebih baik dan semoga tidak ada komen-komen atau tanggapan-tanggapan negatif. Mentall illness bukan sebuah lelucon biarpun itu terlihat tidak masuk akal. Jadi, sebelum saya memulai, please be on my shoes and try to see things from my perspective.
Sejak kapan? Hmm... ntahlah. Tapi, aku mulai merasa ada yang salah sejak 3 atau 4 tahun yang lalu. Aku sangat takut sendiri dan setiap kali aku sendiri banyak pikiran-pikiran jelek yang menghantuiku dan membuatku merasa kehilangan semuanya. Tentu saja ada yang memacu hal itu terjadi yaitu, ketika aku putus dengan pacarku
. Terdengar cheesy ya tapi itu sebabnya aku ingin kalian melihat ini dari perspektif ku dulu. Aku sangat luar biasa sayang dengan pacarku waktu itu dan ketika dia memutuskan untuk putus tanpa alasan yang jelas (kami tidak pernah mengalami masalah dengan orang ketiga waktu itu), aku merasa aku bukan apa-apa. Perasaan ini tidak enak ini terus tumbuh dan berkembang karena aku hanya membiarkannya saja. Setiap kali cerita ke orang, mereka akan bilang, "Gapapa, nanti juga move on kok." Sayangnya, yang menjadi masalah bukanlah soal move on tapi rasa apresiasi diri yang sudah hilang dan tekanan terhadap diri sendiri.
Sekitar tiga tahun yang lalu, suatu malam aku merasa luar biasa gelisah tanpa ada sebab. Waktu itu aku sedang mengerjakan tugas kuliah dan merasa baik-baik saja. Kegelisahan tersebut muncul tiba-tiba dan aku merasa sangat buruk. I felt like the world was crushing down. There were these voices in my head telling me I was useless and unloved. Nobody wanted me. My life sucked.Â
Dan, malam itu bayang tentang mantan pacarku muncul lagi dan suara di kepala ku mengatakan, "That's why he left you. You're miserable. He doesn't appreciate you." Pikiran-pikiran ini terus menghantuiku dan menyebabkan aku mulai sesak napas, tanganku bergetar, dan keringat dingin. Aku menangis dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Terlalu lelah, akhirnya aku tidur dan ketika aku bangun, aku merasa seperti biasa.Â
Hal seperti ini kemudian terjadi berulang-ulang kali. Aku sadar ada yang salah dengan diriku maka aku menemui seorang dosen di fakultas psikologi. Aku menceritakan apa yang aku alami dan simtom-simtom fisik lainnya. Dosen tersebut mengatakan aku mengalami Generalised Anxiety Disorder dan Panic Attack. Hal ini dikarenakan trauma di masa lalu dan beliau bertanya apakah aku sering mengalami kekecewaan. Well, I got a lot of disappointment in family and high schools, and also my breakup. Saat itu, beliau hanya menyarankan agar aku jangan terlalu sering sendiri dan setiap perasaan tidak enak datang, aku harus cerita ke seseorang.Â
Aku berusaha untuk cerita. Sayangnya, di Indonesia belum begitu banyak orang yang sadar tentang mental illness dan hal ini menyebabkan aku selalu dianggap remeh. Cerita-ceritaku dan semua kegelisahanku dianggap berlebihan. Ada beberapa orang yang aku percaya dan mereka memahani apa yang aku alami tapi aku merasa terlalu membebani mereka dengan cerita dan perasaan-perasaan ku yang sangan depresif ini. Aku mulai membatasi diriku untuk bercerita mereka. Tapi sayangnya, hal ini menjurus ke sesuatu yang jauh lebih buruk. Suicidal behaviour.
Aku mengalami sangat banyak kekecewaan. I felt I was taken for granted. Unwanted. Depressed. Burdening others. Useless. I cared to a lot of people but I got none. Nobody really cared about me -about what I was going through. Nobody understood this anxiety was shit that it eroded every will to live within me. Lelah untuk merasa kecewa dan tidak berguna, lelah untuk merasa sakit, aku memutuskan untuk menyelesaikan semuanya. So, I tried to drink poison. Waktu itu aku juga sedang menelepon temanku dan menangis.Â
Aku merasa capek untuk hidup. Aku kehilangan esensi tentang hidup. I wanted to say goodbye to her and thank her for being with me through my hardest moments in life. That time, I already felt shit inside my body. It was burning inside and I felt so nausea. My hands shook so bad and I started thinking, "Is it happening?" There was a huge relief inside knowing that I was about to end everything. Indeed it was so painful but I couldn't enjoy more.
 Saat itulah, salah teman dekatku yang lain datang dan membuatku memuntahkan semuanya. Dia membawaku ke rumah sakit dan saat itu, aku melihat dia menangis and it hurt me. She kept saying, "Why did you do this? We all love you. We need you." And I was thinking that they might say that but it was useless when nobody understood the pain I was through.
Sejak saat itu, teman-teman dekatku mulai lebih care. Setiap kali aku memberitahu mereka aku merasa anxious, mereka akan datang dan mengajak ku membahas hal-hal lain. Mereka mengalihkan perhatianku dari perasaan-perasaan jelek yang semakin buruk di dalam diriku. Saat ini aku memiliki seorang pacar.Â
Aku menjelaskan kepada dia apa yang aku alami dan cara mengatasinya. Aku bukanlah orang yang bisa didiamkan ketika ada masalah. Aku harus membicarakan masalah tersebut tentang apa penyebabnya dan apa yang sekarang kita harus lakukan. Intinya sih komunikasi membuatku merasa jauh lebih baik. Tapi, kenyataan tidak berjalan sesuai harapan.Â
Setiap kali kita memiliki masalah, dia memutuskan untuk benar-benar dian dan tidak mengatakan apapun. I know generally speaking it is very normal but I'm not in that generally-speaking club. The moment he decided to keep quiet, it kills me. I have no idea what is going on or what I should do. I always remind him that my anxiety is not a joke and I need him to help me by keeping the communication good. It is not his fault when it doesn't happen because it is just not his way to solve things by straight talk. But, it is important for me to feel I'm worthy.Â
One day, I told him I was suicidal. I told him that my anxiety was so bad that it killed all the good things inside me. When it kicked in, it was impossible for me to feel I had a good life. He didn't take it seriously. One day, he did me a silent treatment for I didn't know why. I kept calling his phone but he didn't answer it. It made me crazy. All the bad feelings were accumulated and it triggered me to feel I was nobody to him. My life wasn't worth anything. He didn't want me. He didn't care about my health.Â
He took me for granted because he just wanted me when I was happy. He was never there when I was on my lowest point. So, I grabbed a knife and tried to cut my wrist. I couldn't feel anything. Not even the pain. I texted my friend that I needed help. My friend came and he took care of me. He brought me to my boyfriend's house and there I met him. He asked me what happened with my wrist and I told him everything. I asked for a breakup but he said he would take care of me better next time.Â
Intinya, tidak ada yang banyak berubah. Aku masih hidup. Aku merasa mati juga. Aku masih mencoba untuk mati. Mungkin bagi kalian ini pathetic, dosa, taboo, bodoh, atau apapun itu. Aku tidak peduli. Aku merasakan apa yang aku rasakan. Aku tahu apa yang aku rasakan. Kalian tidak tahu apa yang aku rasakan dan aku lalui jadi aku tidak peduli dengan bad judgement yang kalian lempar ke aku. Â You are not in my shoes. Tapi, untuk kalian yang mencoba mengerti, aku mengucapkan terima kasih.
 Rangkulah teman-teman kalian yang mengalami hal yang aku alami. Kadang, alasan mereka terdengar bodoh dan tidak masuk akal untuk kalian tapi tugas kalian bukan untuk mengatakan bahwa apa yang mereka rasakan tidak penting. Kehadiran kalian dan support kalianlah yang penting. Mencoba untuk mengerti. Jangan lelah mendengar curhatan mereka. There is no better way to help a depressed friend than being a good and supportive companion. Your presence means so much to their life.
nb. Mungkin kalian ada yang bertanya-tanya apakah orangtua saya tahu tentang hal ini atau tidak dan mereka tidak tahu apa-apa. Aku tinggal di kota yang berbeda dengan orangtuaku. Aku tidak ingin membebani mereka (ya ini bodoh but please don't judge). Terapi profesional? Ntahlah. WhhatI feel currently is like trash. My boyfriend is amazing though he's not perfect. Intinya, aku sendiri. Tapi menulis disini memberi sedikit kelegaan. Aku masih akan menulis tentang perjalananku dengan kecacatan jiwa ini. If you want to shame me by saying it's sinful, it's not gonna work. I welcome open-minded criticisms honestly.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H