Ugi, nama yang selalu diriku sebut. Telinga pendengar terbaik setiap pagi bersama sebaris senyum sumringahku gegara tingkahnya yang lucu.
Tak dinyana terselip rasa iri. Â Tersisihkan tak tersapa oleh kamu yang ada di sana.
Ah, seandainya dirimu tahu gelak tawa 'kan pecah andai kau ada di sini bersamaku.
Sorot mata Ugi  menatap tajam. Seakan mengejek dengan suka cita gegara mencium aroma tubuhku yang mendulang rindu padamu.
"Ugiiiii, dasar anabul kolokan!" Teriakku sambil mengelus gemas tubuh berbulu yang mengeong tak henti.
"Ugi, maafkan aku yang tak berbaik hati padamu," ujarku sembari menggendongnya dan meletakkan anabul belang telon itu kepangkuanku.
Di setiap gigitan daging ayam yang menempel pada tulang-tulang lunak, aku menghabiskannya dengan menyesap seluruh sari pati tanpa berbagi pada Ugi, yang memandang penuh harap atas bagian putih mengeras itu.
"Ugi, yang doyan tulang nggak cuma kamu!" Senyumku mengembang mengejeknya yang loncat turun, memilih bergelung di antara kedua kakiku.
Ah, pagi ini sesapan sayap ayam hanya menyisakan tulang-tulang kecil yang pasti tak mengenyangkan perutnya.
Dia mendengkur kegirangan dalam elusan lembut dipangkuanku lagi. Apakah Ugi merasakan kerinduanku padamu melalui getaran pori-poriku?