Semasa saya kuliah di Kota Lumpia dan sesekali mengunjungi atau menginap di rumah tante (adik ayah), biasanya ada penjual bakmi pikulan yang keliling gang.
Penjualnya memiliki kekhasan dalam memberikan tanda jika ia lewat dari rumah ke rumah, yaitu bunyi lonceng sapi dari kayu atau bumbu karena goyangan dari langkah kaki penjual dan pikulannya. Klunthuung... klunthuung... kluntuung!Â
Tante mentraktir saya sepiring bakmi jawa. Kadang saya memilih bakmi goreng, kadang bakmi kuah. Cara memasaknya dengan wajan, sumber panasnya dari arang. Saya menyebutnya anglo.
Anglo semacam kompor yang terbuat dari tanah liat atau terakota, ada celah terbuka sehingga arang tetap hidup karena pasokan udara. Penjual bakmi jawa pikulan ini sigap memasak bakmi sekaligus mengipas arang.
Semasa ayah masih ada di masa kanak-kanak, kami pernah makan bersama menikmati bakmi jawa dengan cara masak anglo ini.
Nah, Bakmi Godhog pilihan saya untuk makan malam di Jogja ini mengingatkan saya pada Tante dan Ayah. Setangkup rindu terbersit di benak mengenang mereka. Memori kebersamaan bercengkaram bersama keluarga dengan senda gurau di tengah obrolan, atau mendengarkan pengalaman dari penjual dalam melayani pelanggannya.
***
Saya memilih meja makan yang dekat dengan meja pajangan panganan ringan. Bila diperhatikan, meja tersebut merupakan bekas meja mesin jahit zadoel alias zaman doeloe. Hanya saja bagian atasnya dibuat tempat kaca tembus pandang berbingkai kayu untuk memajang aneka kue.
Saya tersenyum simpul, mengingat kenangan tentang Ibu yang suka menjahit baju-baju anak-anaknya. Pun saat saya mengumpulkan kain perca dan menyusunnya, agar kelak dibuat kain pel atau kain lap dapur.
Pandangan saya beralih ke dinding pajangan resto, penuh foto hitam putih dan dua sepeda onthel. Juga dinding belakang kasir, bagian atas dan samping meja-meja makan pengunjung yang bertuliskan aneka menu yang dijajakan, serta lukisan yang menambah estetika resto.
Tibalah pesanan Bakmi Godhog di meja saya.