Sabtu (6/07/2024) lalu, saya girang bukan kepalang. Ini karena untuk pertama kalinya, suami berkenan nonton film bareng bersama keluarga. Putri saya pun sangat antuasias menyambut keinginan ayahnya. "Yes, akhirnya kita nonton juga bareng Ayah!"
Suami saya memang tidak terlalu suka nonton film di bioskop, khawatir ngantuk dan tertidur, katanya. Saya berusaha meyakinkannya bahwa beliau tidak bakal mengalami hal tersebut, karena saya pilihkan film komedi berbahasa Jawa garapan Bayu Skak.
Sengaja saya pilihkan film yang baru rilis tanggal 4 Juli 2024 lalu, karena genre yang diusung bisa diterima oleh semua kalangan dan tertera panduan untuk usia 13 tahun ke atas.Â
Sebelumnya saya dan putri sudah pernah nonton film berbahasa jawa garapan Bayu Skak beberapa tahun lalu, seperti Yo Wes Ben. Jadi saya tak ragu memilihkan untuk ditonton bareng.
"Ayah gak bakal keganggu nonton terjemahan di layar, bisa fokus nyimak filmnya, palingan yo ngerti artine selama filme main." Saya mengerling pada suami.
Karena ada agenda berbeda sebelum jam tayang putar, saya suami dan putri janjian langsung ketemu di XXI Samarinda Square usai melakukan kegiatan masing-masing.
Meski datang terlambat sekira 10 menit saat film diputar, tetap tidak menyurutkan kegembiraan saya menikmati akhir pekan bersama keluarga.
***
Sebagaimana saya kutip dari laman 21cineplex.com bahwa sinopsis film yang diproduseri oleh Chand Parwez Servia dan dan Riza Servia ini, mengisahkan Bagas (Bayu Skak), Lenni (Nadya Arina), Dicky (Firza Valaza), Juna (Benidictus Siregar), dan Andrew (Indra Pramujito) yang dipersatukan ketika mendaki Gunung Madyopuro.Â
Mereka gagal mematuhi mitos rombongan pendakian gunung tersebut, yang harus beranggotakan genap dan dilarang menoleh ke belakang atau akan ada yang mengikuti!
Sepanjang perjalanan mereka terus dihantui hingga akhirnya sadar kalau salah satu dari mereka berlima bukanlah manusia. Siapa yang hantu di antara mereka?
Disinilah cerita ini menjadi menarik, kocak poool dan mengharukan.
Menarik
Saya berpendapat film ini menarik, karena sangat jarang ada film Indonesia yang hampir seluruhnya menggunakan bahasa lokal atau daerah, seperti bahasa Jawa yang digarap apik oleh Bayu Skak.Â
Kalaupun ada, sebagian besar tetap menggunakan bahasa Indonesia sebagai dialog dan hanya beberapa bahasa daerah sebagai sisipan sebagai bahasa pendekatan latar cerita agar lebih mengena.
Karena film ini menggunakan dialog berbahasa Jawa dan sedikit menyisipkan bahasa Indonesia, saya acung jempol kepada Bayu Skak yang berani menjadi sutradara untuk membesutnya. Ya, out of the box.
Film seperti ini tetap mendapat penggemar dan melekat di hati para pencintanya.
Kocak
Bahasanya mudah dicerna, biasa digunakan dalam obrolan sehari-hari, meski sebagai orang yang berasal dari Jawa Tengah dengan kebiasaan bahasa jawa halus, guyon ala ceplas ceplos bahasa jawa timuran membuat saya dan penonton lainnya terpingkal-pingkal.
Ditengah mencekamnya suasana horor selama mereka melakukan pendakian di Gunung Madyopuro, penonton dibuat ngakak tanpa jeda gegara ceplas-ceplosan para pemainnya.
Saya paham saja, bahwa ocehan mereka itu 'kasar' bagi telinga orang jawa yang terbiasa menggunakan bahasa ngoko alus. Tapi disitulah kocaknya, clethukan 'kasar' yang mewarnai dialog mereka berlima, bisa jadi mewakili orang yang pengen ngumpat tapi tak sanggup mengucapkannya dari mulut sendiri.
Bahkan ada obrolan yang njijik'i bagi saya tentang Juna yang mau, sedang atau selesai buang air besar di pendakian, toh saya tetap ngakak lepas tanpa bisa ditahan gegara makian teman-teman Juna yang berbahasa jawa timuran itu.
Mengharukan
Meski kelucuan menghiasi sepanjang film dan suasana mak sheeeer karena ada hantu - bahkan saya menjerit dibuatnya, film ini bukanlah komedi horor belaka.
Dalam beberapa dialog, ada sisipan nasihat yang menyentuh. Ada kisah haru dibalik kocaknya para pelaku. Mereka membawa kisah kehidupan masing-masing dalam pendakian gunung ini.
Kisah haru antara Lenni dengan Ibunya, Dicky dan debt collector yang selalu mengejarnya, Andrew dan kekasihnya, Juna dan pengalaman perundungan. Mitos tentang 'ojo noleh memburi' alias jangan menoleh ke belakang selama pendakian, merupakan kata kunci dari perjalanan hidup.
Kisah masing-masing tokoh cerita membuat saya menitikkan air mata. Meski kemudian tertawa terbahak lagi gegara kelakuan mereka, perasaan saya bagai roller coaster dibuatnya.
Saya tidak ingin membocorkan isi film ini, tetapi recommended untuk ditonton bareng teman, sahabat, keluarga atau anak-anak asuhan.Â
"Jane lucu banget, tapi kok yo gawe nangis juga ya,"Â suami berkomentar saat kami bergandengan tangan menuruni tangga Studio 1 menuju pintu keluar.
Aah, rupanya ia tetap terjaga dan menikmati selama film tayang. Sukses, dong!Â
Semoga kelak bisa ngajak beliau nonton film-film berikutnya!
Selamat menyaksikan, pembaca!
Salam sehat dan selalu bahagia
***
Artikel 15 - 2024
#Tulisanke-565
#ArtikelFilm
#SekawanLimo
#NulisdiKompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H