Mereka gagal mematuhi mitos rombongan pendakian gunung tersebut, yang harus beranggotakan genap dan dilarang menoleh ke belakang atau akan ada yang mengikuti!
Sepanjang perjalanan mereka terus dihantui hingga akhirnya sadar kalau salah satu dari mereka berlima bukanlah manusia. Siapa yang hantu di antara mereka?
Disinilah cerita ini menjadi menarik, kocak poool dan mengharukan.
Menarik
Saya berpendapat film ini menarik, karena sangat jarang ada film Indonesia yang hampir seluruhnya menggunakan bahasa lokal atau daerah, seperti bahasa Jawa yang digarap apik oleh Bayu Skak.Â
Kalaupun ada, sebagian besar tetap menggunakan bahasa Indonesia sebagai dialog dan hanya beberapa bahasa daerah sebagai sisipan sebagai bahasa pendekatan latar cerita agar lebih mengena.
Karena film ini menggunakan dialog berbahasa Jawa dan sedikit menyisipkan bahasa Indonesia, saya acung jempol kepada Bayu Skak yang berani menjadi sutradara untuk membesutnya. Ya, out of the box.
Film seperti ini tetap mendapat penggemar dan melekat di hati para pencintanya.
Kocak
Bahasanya mudah dicerna, biasa digunakan dalam obrolan sehari-hari, meski sebagai orang yang berasal dari Jawa Tengah dengan kebiasaan bahasa jawa halus, guyon ala ceplas ceplos bahasa jawa timuran membuat saya dan penonton lainnya terpingkal-pingkal.
Ditengah mencekamnya suasana horor selama mereka melakukan pendakian di Gunung Madyopuro, penonton dibuat ngakak tanpa jeda gegara ceplas-ceplosan para pemainnya.
Saya paham saja, bahwa ocehan mereka itu 'kasar' bagi telinga orang jawa yang terbiasa menggunakan bahasa ngoko alus. Tapi disitulah kocaknya, clethukan 'kasar' yang mewarnai dialog mereka berlima, bisa jadi mewakili orang yang pengen ngumpat tapi tak sanggup mengucapkannya dari mulut sendiri.
Bahkan ada obrolan yang njijik'i bagi saya tentang Juna yang mau, sedang atau selesai buang air besar di pendakian, toh saya tetap ngakak lepas tanpa bisa ditahan gegara makian teman-teman Juna yang berbahasa jawa timuran itu.