Usai waktu magrib, kami memulai memanaskan arang menjadi bara. Bumbu cocolan sate ayam berupa irisan bawang merah, cabe rawit dan kecap mulai di persiapkan. Olesan bumbu bakar berupa bumbu marinasi instan, kecap dan saus tiram pun telah siap sedia. Begitu juga olesan mentega untuk jagung bakar.
Keseruan pun dimulai. Ada ribut kecil, ada cerita mengalir. Ada nasihat tersampaikan, ada kelucuan kisah. Sambil menggunakan kipas kondangan agar bara api terus menyala, kakak dan suami saya terus semangat mengipas-kipas bakaran.
Asap yang ditumbulkan dari pembakaran tentu saja masuk ke dalam rumah. Beruntung, angin sepoi-sepoi membantu membuyarkan kepekatan asap.
Kami tertawa riang saat menyadari ada satu buah jagung yang satu sisinya gosong, terlupa menggulirkan bagian lain agar turut terpanggang bara. Tak mengapa. Toh bagian lain bisa kami makan.
Tepat adzan isya berkumandang di masjid perumahan kami, bakar sate ayam dan jagung sudah selesai.
Segera saya susun sate ayam di atas piring saji berteman sayur lada, irisan tomat dan mentimun. Ala kadarnya tapi tetap menggugah selera.
Alhamdulillaah, sate ayam terhidang di meja makan kecil rumah kami. Suami langsung menyantapnya usai pulang dari sholat isya berjamaah di masjid.
Saya tersenyum bahagia, menyaksikan suami, putri dan kakak bersantap bersama.