Saya turut prihatin dengan adanya kasus perundungan yang dialami anak remaja hingga berakhir pada pembakaran sekolahnya sendiri, sebagai pelampiasan rasa sakit hati atas apa yang menimpa pada dirinya tersebut.
Bisa jadi itu hasil tumpukan rasa yang terpendam sekian lama dan meledak bagai bom waktu dengan melakukan hal seperti itu.
Memang sangat disayangkan, tapi semua sudah terjadi. Berbagai pihak pun turun tangan, mulai dari yang mengkaji hal tersebut dari sudut pandang parenting, psikologi dan pola asuh anak di rumah, pengawasan di sekolah dan lain-lain. Hingga kemudian mengusahakan solusi yang tepat dalam menangani emosi anak.
Saya bukanlah pakar soal itu. Namun sebagai seorang wanita dewasa yang kini menjadi ibu dan memiliki anak remaja, masa kanak saya pun tak lepas dari perundungan. Pengalaman tak nyaman tersebut, saya ceritakan kepada putri saya agar ia tak merasa sendiri. Saya aebagai ibunya juga pernah mengalami hal tersebut.
Inilah sekilas kisah perundungan yang pernah mampir dalamnepiaode kehodupan saya.
***
Ya, saya pernah mengalami perundungan semasa kanak hingga sekira usia sekolah dasar. Perundungan yang saya terima lebih pada bahasa verbal seperti caci maki atau kata-kata kasar yang dilontarkan oleh dua orang kawan.
Entahlah, mengapa mereka berdua tak menyukai dan tidak mau berteman dengan saya, sedangkan kawan lainnya asyik saja bermain dan bergaul dengan saya.
Sempat saya berpikir, kok mereka suka sekali mengumbar kebencian melalui kata-kata. Padahal kami masih anak kecil -- saat itu. Jika kata-kata buruk keluar dari mulut mereka, otomatis mimik saya berubah sedih, menahan tangis, ujung-ujungnya saya misek-misek di bangku tempat duduk belajar di sekolah.
Bergaya cool memang bisa, tapi saya tak bisa menahan lama-lama. Lebih baik nangis dah, dibilang cengeng ya cuek saja. Tambah di-bully, silakan. Toh saya takkan membalasnya.Â
Satu kalimat ajaib yang selalu tersemat di hati saya setiap hal itu terjadi: "Lihat saja nanti, uripmu mbesuk dadi opo! Titeni wae!"
Ya, yang kerap melakukan perundungan itu hanya dua anak saja. Selebihmya, kawan-kawan ada yang membela, ada yang diam saja, atau mau dekat di saat saya menang lomba. Karena di saatb tulah, saya bagai anak viral.yang sedang diperbincangkan guru, kawan dan terdengar ke telinga orang tua di pergaulan komplek rumah.
***
Saya bertahan dengan ketidaksukaan mereka hingga mereka berdua pindah sekolah, mengikuti kepindaham tugas orang tuanya. Saya cukup bernafas lega. Lumayan, orang yang saya anggap musuh, sudah tidak lagi resek menguliti telinga.
Namun ternyata, perundungan tetap terjadi. Komentar miring, ejekan yang terang-terangan dan beberapa perlakuan diskriminasi dari kawan lain yang awalnya teman biasa dan aman-aman saja dalam bergaul.
Saya nggak boleh gabung dengan kelompok ini, nggak boleh ikutan bermain dengan kelompok itu. Dipasangin permen karet di sela kursi. Kalau nempel di rok seragam sekolah, susah banget membersihkannya. Kadang buku tugas sekolah yang sudah dikumpulkan, Â diumpetin hingga saya dapat hukuman dari guru. Buku tetiba muncul di meja guru jika hukuman sudah saya lakukan. Macam-macam lah.
Baiklah, justru hal tersebut memotivasi saya bahwa saya lebih baik melakulan kegiatan positif dan mendulang prestasi.
Ya, masa-masa itu semangat dan ego belajar sangat tinggi. Meski tak selalu rangking satu, minimal saya masuk jajaran lima besar. Selain prestasi akademik, bersyukur pihak sekolah hampir selalu mengikutsertakan saya dalam berbagai lomba. Kalah atau menang bukan tujuan saya, tetapi kepercayaan dari sekolah membuat saya bangga dan terharu.Â
Membawa pulang piala atau sertifikat kejuaraan buat sekolah, sedikit demi sedikit meluruhkan perundungan kepada saya. Hal itu terbawa hingga saya menjalani kehidupan masa remaja di SMP dan SMA. Berusaha memberikan dan melakukan yang terbaik untuk membungkam mulut-mulut usil.
***
Apa yang membuat saya bertahan dengan rasa sakit hati dengan perundungan? Bisa jadi karena kalimat ajaib yang saya ucapkan dalam hati semenjak kanak-kanak itu tadi.
Saya percaya, apa yang kita tebar, kita tanam, maka kita akan menuai hasilnya.
Jika saya membalas dengan kebemcian pada mereka, lalu apa bedanya saya dengan mereka? Klise, tapi memang demikian saya tanamkan bahwa saya harus berbeda dalam berperilaku kepada kawan-kawan. Saya membungkam mereka dengan prestasi yang bisa saya raih.
Saya bisa kuat karena pelukan Ibu dan kakak-kakak perempuan yang mendampingi tumbuh kembang saya. Ayah mendampingi masa kehidupan saya hingga usia sembilan tahun, karena beliau berpulang ke rahmatullaah sepekan setelah saya merayakan ulang tahun yang ke-9 saat itu.
Fatherless? Saya pernah merasakan, tapi tak membuat saya melemah. Karena ada sosok ibu yang kuat, kakak yang penuh kasih sayang, guru-guru yang welas asih, dan sahabat-sahabat satu frekuensi, senantiasa mendukung dan mendoakan saya.
***
Masing-masing anak memiliki daya tahan psikologis dalam mengelola emosinya, baik itu rasa marah, kecewa, sedih dan lain-lain.
Saya pribadi lebih mengarahkan diri untuk selalu bersyukur bahwa Tuhan senantiasa melindungi saya dan keluarga.
Terhenyak membaca salah satu tulisan motivasi dari kanal Telegram One Day One Juz, membuat saya merenung dan lagi-lagi bersyukur kepada Allah Swt. Kurang lebih, saya kutip seperti ini:
Salihin/Salihat, prestasi kita saat dulu sekolah itu tetap jadi prestasi yang membanggakan. Tetap jadi tabungan amal shalih sebab kesungguhan kita belajar, dan bisa menjadi motivasi yang baik buat anak-anak kita.
Sedang kesuksesan di masa depan; baik itu karir, ekonomi, popularitas, dan apapun itu yang cenderung materialistik, bukan merupakan tujuan utama dari kita bersekolah.
Tujuan utama bersekolah adalah mendapatkan ilmu. Kalau kata ulama, harta itu rezeki yang paling kecil. Rezeki yang paling besar itu adalah kesehatan. Sedang seutama-utama rezeki adalah ilmu.
Maka, dengan ilmu-lah yang tidak hanya membawa kita pada kesuksesan dunia saja, tapi juga membawa kita pada kesuksesan akhirat.
Jika ilmu itu dibawa dengan bekal iman dan taqwa.
Semoga apa yang saya sampaikan dalam artikel ini, bisa memberikan motivasi kepada para remaja dan orang tua dalam mendukung anak-anak kita menjalani proses kehidupannya. Duka suka adalah pasang surut rasa yang dialami setiap insan. Tinggal bagaimana masing-masing mengelolanya tanpa harus melakukan tindakan yang merugikan.
Salam sehat dan senantiasa bahagia!
***
Tulisan ini tersaji berkat obrolan dan dorongan dari Dr. Fera Andriani Djakfar, Lc.,M.Pd.I, sahabat online saya di komunitas Pencinta Literasi, dosen tetap dan menjabat Kepala Program Studi (Kaprodi) Pendidikan Bahasa Arab (PBA), Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Syaichona Moh. Cholil Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
Matur nuwun, mbakyu.
***
Artikel 66 - 2023
#Tulisanke-511
#ArtikelDiary
#Perundungan
#SiswaBerprestasi
#KomunitasPencintaLiterasi
#NulisdiKompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H