Saya tulis artikel ini karena terinspirasi dengan unggahan cerita Mbak Hennie Triana Oberst tentang Bagasi Hilang. Saya setuju dengan beliau bahwa setiap perjalanan meninggalkan pengalaman yang berbeda. Maka teringatlah saya pada kejadian sekian tahun lalu -- sekira masih usia lajang.
***
Di masa itu, saya berencana merayakan lebaran di rumah Tante di Kota Semarang bersama kakak perempuan dan kakak ipar juga yang sama-sama tinggal di Samarinda. Namun kami berbeda jadwal keberangkatan.
Saya berangkat lebih dulu menyesuaikan hak cuti yang diperbolehkan oleh kantor tempat saya bekerja, ditambah hak cuti tahunan sebagai karyawan. Begitu juga drngan kedua kakak saya tersebut, menyesuaikan hak cuti bersama dan tahunan sebagai ASN.
Ini adalah pengalaman pertama saya untuk melakukan perjalanan transit menggunakan pesawat yaitu Balikpapan - Semarang transit Surabaya. Biasanya saya ambil  direct flight (satu kali terbang langsung kota tujuan). Sehubungan tidak ada jalur langsung, maka penerbangan transit harus dipilih.
Alhamdulillah dalam jadwal penerbangan kali itu, saya dan teman sekantor berada dalam satu pesawat keberangkatan. Setiba di Surabaya, kami berpisah rute. Teman meneruskan perjalanan ke Jogjakarta dan saya meneruskan ke Semarang. Kami berpisah dan berbeda pintu keberangkatan.
Saya sempat bertanya pada petugas untuk penumpang transit musti melakukan apa saja. Beliau memberikan penjelasan agar saya menemui petugas di bagian transit menuju Semarang. Saya pun melakukannya. Setelah nelaporkan bahwa saya penunpang dari Balikpapan dan akan meneruskan perjalan ke Semarang, petugas mempersilakan saya menunggu di area yang sudah ditentukan sesuai label tiket, karena hasil cek ulang mereka atas nama saya sudah sesuai daftar yang ada.
Sependek ingatan saya, beberapa menit menunggu, akhirnya penumpang dipersilakan naik ke pesawat. Saya agak terkejut juga, duduk di kursi barisan nomer dua, dengan jajaran bangku dua-dua dan agak lebar, disertai pernak pernik layaknya kelas bisnis. Padahal saya merasa membelj tiket ekonomi saja.
 Jadilah untuk pertama kalinya saya mendapat pelayanan lebih dari pramugari. Mulai dari handuk lipat basah untuk membasuh muka dan tangan, segar rasanya srtelah menunggu beberapa saat di bandara trasit. Berlanjit oelayanan makanan dan minuman, gratis. Alhamdulillaah. Selama pengalaman bolak balik mudik pakai pesawat, biasanya hanya dapat suguhan minum air mineral saja di masa itu. (Di kemudian hari ketika bertanya agen penjualan tiket langganan saya, ternyata saya tetap beli dengan harga ekonomi. Yo wes, lagi bejo tho yo.)
Tak terasa, sampailah saya di Bandara Ahmad Yani Semarang di waktu bakda Isya. Sesaat setelah mendarat, saya pun bergegas bersiap menuju tempat pengambilan bagasi sesuai petunjuk layar kedatangan.
Dengan sabar menanti, mengamati koper-koper dan bungkusan yang berjalan melalui konveyor, saya amati seksama untuk menemukan koper milik saya.
Jantung berdebar, mulai merambat panik, hingga tiga kali konbeyor berputar, koper saya belum ketemu juga. Hingga akhirnya konveyor pengangkut koper berhenti. Waduh, kemana koper saya?
Dengan agak lemas dan panik, saya keluar menemui tante dan oom yang sudah menunggu untuk menjemput. Dengan ditemani mereka berdua, saya melaporkan kehilangan koper kepada maskapai penerbangan yang tumpangi di bagian 'lost and found'
Saya sampaikan detail rute penerbangan, data diri, nomer telpon yang bisa dihubungi, dan ciri-ciri koper. Petugas berjanji akan menindaklanjuti laporan tersebut dan akan segera berkabar jika koper milik saya ditemukan.
Akhirnya saya pulang bersama Oom dan tante, dan menyempatkan diri mampir ke toko guna membeli perlengkapan dan peralatan yang saya butuhkan, sehubungan beberapa diantaranya ada di koper tersebut. Sementara soal baju rumahan, saya pinjam sepupu. Yah, berkurang deh uang saku selama lebaran dan liburan, haha.
***
Selang dua hari setelah kedatangan saya, di malam takbiran dengan suasana hujan gerimis, dua petugas maskapai datang ke rumah tante, menyerahkan koper saya yang telah ditemukan.
Singkat cerita, koper tersebut 'ketlingsut' menuju ke Jogjakarta, saat transit di Surabaya. Dari label koper yang tersemat, saya tertawa kecil. Label-label tersebut menunjukkan kode Kota Semarang (yang memang menjadi tujuan akhir saya saat itu sesuai tanggal), Jogjakarta, Ujung Pandang (Makassar), Jakarta dan Semarang  sesuai tanggal di hari koper diantar.
Lha, padahal pemilik koper saja belum pernah ke Ujung Pandang, eh, si Koper malah 'jalan-jalan' sampai ke sana.
Saya mengucapkan terima kasih kepada petugas. Koper telah ditemukan dalam keadaan utuh dan diserahkan langsung ke rumah di jam-jam malam takbiran pula. Bahkan ketika saya buka, kondiai dan keadaan isinya tidak berubah. Aman dan tidak ada yang hilang. Alhamdulillaah
Petugas juga menyampaikan maaf mewakili maskapai atas kejadian yang kurang nyaman tersebut. Meski label sudah tersemat, demikianlah manusia, ada kelalaian atau kurang teliti dalam pengecekan. Saya memaafkan dan menganggap masalah sudah selesai. Mereka pun berpamitan.
***
Berdasarkan pengalaman di atas, pada penerbangan berikutnya, saya lebih berhati-hati dan memberikan label tersendiri pada koper yang saya bawa. Seperti memberi tanda dengan pita berwarna mencolok, atau menyematkan nama dan nomer telpon pada label bawaan dari merek koper yang terpasang permanen di bagian pegangan. Bentuknya seperti gantungan kunci tipis, di dalamnya ada kertas yang bisa diganti sesuai kebutuhan untuk nama.
Nah, kali ini saya ceritakan kejadian koper tertukar milik calon suami saya -- jelang kami mau menikah saat itu. Ya, beliau sekarang sudah jadi suami saya, dong.
Begini, pembaca.
Kami berdua terbang dari Balikpapan menuju Surabaya, guna menjalani proses pernikahan yang akan melibatkan keluarga besar masing-masing. Keluarga kami hampir semuanya berdomisili di Pulau Jawa dengan kota yang berbeda-beda.
Setiba di Bandara Juanda Surabaya, saya dengan harap-harap cemas menanti koper di konveyor bagasi. Alhamdulillaah, koper saya ada. Tapi, sudah tiga kali putaran, koper calon suami yang tidak ketemu. Nah, loh! Panik lagi deh saya.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, saya dan calon suami sudah memberikan label khusus pada koper kami masing-masing  agar bisa langsung ketahuan terlihat dari jauh saat berada di konbeyor bagasi.
Akhirnya kami menuju ruangan lost and found untuk melaporkan kepada petugas. "Kira-kira kapan bisa ketemu, ya Pak? Soalnya, isi koper adalah perlengkapan dan peralatan baju-baju untuk acara pernikahan saya," demikian calon suami bertanya.
"Kami belum dapat memastikan dan menjanjikan kapan, Pak. Namun begitu sudah ketemu, kami segera info ke Bapak."
Calon Suami terdiam dan wajahnya agak cemas. Maklum, kami harus melanjutkan perjalanan darat ke kota kelahiran beliau. Dan esok hati kami melanjutkan perjalanan ke kota acara pernikahan dengan kereta api. Terbayang bagaimana menangani koper yang hilang ini.
Sembari duduk di ruangan menunggu petugas berkoordinasi dan berkomunikasi melalui handy talky dengan petugas lain soal koper, tetiba datang seorang wanita paruh baya menyeret koper beroda menuju ruangan.
"Pak, mohon maaf, saya salah ambil koper. Untung belum masuk jalur tol. Saya mau ke Malang. Pas di mobil, saya berusaha buka koper. Lha, tak pikir iki koperku. Tibakno dudu jeee. Pas  coba buka kode, kok gak iso-iso seh. Baru sadar, ternyata dudu thek-ku." Si Ibu menjelaskan dengan terengah (saat itu ia menggunakan logat jawa timur-an yang medhok banget).
"Sepertinya itu koper saya, Bu. Kenapa ibu tidak periksa labelnya? Kok langsung main ambil dan bawa keluar?" Calon suami mencecar pertanyaan padanya.
"Kok ya bisa keluar dari area kedatangan penumpang? Apa petugas tidak cek nama dan nomer barcode tertera di label dengan yang ditempel di tiket pesawat?" Saya ikutan bertanya dengan sedikit kesal.
"Maaf, saya yang kurang teliti," jawab si Ibu dengan wajah memelas.Â
Dan, ternyata koper calon suami dan si Ibu memang sama persis, pun merek-nya. Bedanya, koper milik calon suami saya sudah ada label yang telah ditandai.
Petugas di ruangan meminta maaf atas kejadian itu dan mengingatkan petugas di bagian pintu keluar untuk lebih teliti dalam pemeriksaan.
Kami pun bernapas lega. Untung kopernya tidak ikut si Ibu ke kota tujuannya. Lebih baik jangan deh, masa kopernya 'jalan-jalan' lagi.
Ikut jalan-jalannya pas bareng kami sudah akad nikah dan honeymoon, uhuy!
Nah, demikian pengalaman saya soal koper bagasi yang masih terkenang hingga kini.Â
Syukurlah, perjalanan kami berikutnya aman dan tidak mengalami masalah dengan bagasi. Kami benar-benar memperhatikan label dan pengamanan koper. Pula memastikan nama, nomer tiket dan penerbangan, barcode dan label pribadi yang tersemat agar tidak tertukar dengan pemilik atau penumlang lain.
Bagaimana dengan pembaca? Punya pengalam unik dan menarik tentang koper bagasi?
Silakan berbagi di kolom komentar, ya.
Salam sehat dan selalu ingat bahagia!
***
Artikel 59 - 2023
#Tulisanke-504
#ArtikelTravelStory
#KoperBagasi
#KomAir
#KompasianerAir
#komairjuni
#NulisdiKompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H